Kejadiannya pada tahun 2000 lalu, ketika itu aku sedang jalan-jalan di malam hari di dekat pantai dengan mengendarai sepeda motor. Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat seorang wanita sedang berjongkok-jongkok di pinggir sebuah Maestro putih. Langsung saja kuhampiri dan diketahui kalau ban mobil sebelah kanan bocor. Untunglah dia memiliki ban serep, sehingga aku menawarkan diri untuk membantu. Singkatnya, dari pembicaraan ringan selama membantu ganti ban tersebut, kuketahui bahwa dia seorang yang sudah berkeluarga, berumur 34 tahun, keturunan Chinese, dan (untuk bentuk fisik, aku sudah ada pengalaman dari kejadian sebelumnya), tinggi kira-kira 160 cm, seperti kebanyakan Chinese berkulit kuning, mata (nah ini dia) tidak terlalu sipit (mirip mata di film kartun Jepang), rambut hitam sebahu, ukuran dada 34B.
Karena berbincang-bincang, tidak terasa ban serep sudah terpasang. Dan dia memperkenalkan diri bahwa namanya Vian (seperti nama cowok?), dan ketika dia menyodorkan uang dua lembar puluhan ribu sebagai tanda terima kasih, dengan halus aku menolaknya, “Begini saja Mbak, bagaimana kalau lain waktu aku boleh main ke rumah, kebetulan aku tidak ada saudara di kota ini.” Aku mulai mengeluarkan jurus perkenalan yang berkelanjutan (seperti film silat saja). “Oh tentu saja.. ini alamatku,” sambil menyodorkan kartu nama lengkap dengan nomor HP-nya. “Tapi jangan minggu ini, karena aku akan berpergian ke Jakarta, menengok saudara,” lanjutnya lagi. “Oh kebetulan aku juga dari kota Jakarta, dan di sini aku kuliah.. mungkin kalau ke sana bisa main Mbak.” “Tentu saja.. eh terima kasih lho Dik, jarang lho yang mau nolong dan tidak mau terima uang.. maaf ya..” sambungnya sambil nyelonong masuk mobil. “Sakti.. panggil saja aku Sakti”.
Dua minggu kemudian, setelah selama ini berjalan apa adanya, aku memberanikan diri telepon ke HP-nya. “Mbak Vian.. ini Sakti.. masih ingat kan?” “Sakti.. sebentar.. yang mana ya.. oh iya yang bantu aku betulin ban itu ya, dimana nih, kok kode areanya bukan di sini?” “Oh.. kebetulan aku sedang di Malang, main-main saja kok, nanti sore pulang, besok boleh main ke sana nggak?” “Lho kenapa tunggu besok? Perjalanan ke sini kan nggak sampai 3 jam, langsung mampir aja ke rumah Mbak, pasti capek kan. Nah kita bisa makan malam sama-sama, kebetulan ada suami Mbak di sini, sekalian kenal, gitu lho.” “Ok deh, kalau sempat aku ke sana.” Empat jam kemudian, setelah mampir dulu ke tempat kos, mandi, dan berpakaian agak rapi, aku berangkat ke rumah Mbak Vian. “Lho kok rapi amat, kenapa nggak mandi di sini saja, atau bisa langsung renang sekalian membersihkan badan,” jawab Mbak Vian setelah aku tiba di pintu rumahnya, sekilas tampak sebuah rumah yang cukup besar dengan halaman yang lebih luas dari rumahnya, kolam renang ada di sebelah kanan. “Nah ini Om Candra, suami Mbak.. untung Om ada di Surabaya, biasanya ada di Jakarta, dua minggu sekali datang ke sini, dan besok sudah pergi ke Jakarta lagi.” Acara perkenalan dan makan malam ini berlangsung hingga jam 10 malam dan dilanjutkan dengan acara santai. Mbak Vian mengajak renang. Sepertinya Mbak Vian biasa renang karena dari bodinya yang aduhai.
“Wah aku nggak bawa celana renang Mbak.” “Lho buat apa pakai celana renang, ini kan di rumah, siapa yang mau lihat.. kita mau jungkir balik di kolam ini, juga nggak ada siapa-siapa, kecuali Om.” Memang benar sih, rumah sebesar ini tidak ada siapa-siapa, pembantu pun datangnya hanya pagi hingga sore, setelah itu pulang. Belum sempat aku melihat suasana, tiba-tiba Mbak Vian sudah nyebur ke kolam, sementara Om Candra asyik dengan Play Station di ruang tengah. “Ayo nyebur aja! Mbak sudah kedinginan nih..” Karena sudah pengalaman dengan wanita, maka aku langsung nyebur saja, dengan sebelumnya menanggalkan semua bajuku. Benar saja, kolam renang di malam hari ini sangat dingin, dan aku cukup menggigil. Untung saja aku pandai renang (dulu sejak kecil aku ikut klub renang, dan semua gaya aku kuasai).
Sedang asyik-asyiknya mengapung, Mbak Vian menyelam dan menyilang di bawahku, semilir gerakan air akibat reflek Mbak Vian membuat tubuhku bergetar. “Dik, burungmu bagus juga.. sayang kedinginan tuh..” Sialan, aku lupa ketika dia lewat di bawahku, tentu saja semua tampak nyata baginya, justru aku yang belum memperhatikan Mbak Vian. “Nggak usah malu.. dari awal aku punya firasat kalau Dik Sakti sudah pengalaman dengan wanita dan boleh dong sekarang kita main di kolam ini,” sambil bercanda memercikkan air kolam. “Om Candra gimana?” “Oh dia itu orangnya ‘free life style’, dan Mbak Vian ini istri keduanya.”
Akhirnya gantian aku yang menyelam dan menyerempet ke tubuh Mbak Vian. Ternyata Mbak Vian sangat seksi, baru kali ini aku melihat wanita Chinese telanjang, dan bulunya tidak terlalu lebat, sepertinya rajin merawat dan mencukur. Tanpa dikomando, masih di kolam renang, kami saling merapatkan diri dan mulai mencumbu Mbak Vian. Ternyata Mbak Vian termasuk penikmat seks sejati. Lebih hebat dari wanita yang dulu pernah main denganku. Bisa pembaca bayangkan, kami saling berguling-guling di kolam renang, kadang aku di atas, kadang Mbak Vian di atas. Karena suasana semakin hot, maka kami naik dan rebahan di pinggir kolam. Batang kemaluanku segera dikulumnya. Sangat dahsyat, “Ohkk.. Mbak.. teerrus Mbak..” Karena aku tidak ingin ketinggalan moment, kami mengambil posisi 69, dan segera kulumat habis lubang kemaluan Mbak Vian. Baru kali ini aku merasakan kemaluan cewek Chinese, dan kemaluan Mbak Vian cepat banjir, tidak seperti cewek Indonesia.
“Dik.. masukin dong.. uuhh.. ayo Dik masukin.. aku sudah mau keluar nih.. oohkk..” Batang kemaluanku sudah tegak berdiri dan kuarahkan ke lubang kenikmatan Mbak Vian. Wow, lubang cewek Chinese sangat sempit dan batang kemaluanku terjepit rapat, suatu perasaan yang sensasional kurasakan tidak karuan. Padahal aku belum memompa dengan sekuat tenaga. “Mbak.. gimana rasanya.. mmhh..” desahku menahan nafas (dan mengatur posisi). “Ohkkhh.. Dik, baru kali ini aku main dengan pria pribumi.. ohkk pelan-pelan..” ucapnya terputus-putus. “Oh yes, yes.. terus Dik.. yes teruss kkhh.. Ohh.. ohh.. ohh..” suaranya makin meninggi (beda dengan wanita yang pernah kuhadapi). “Mmhh oohh.. ohh push.. push.. Dik.. terus yang keras Dik.. terus.. lebih dalam.. aauuhh..” Mbak Vian melengking, menandakan dia orgasme. Dan.. “Aakkhh..” reflek aku memuncratkan air maniku, sekali lagi kemaluan cewek Chinese terasa lebih sempit dan sangat basah, sehingga menimbulkan gelora yang luar biasa.
“Dik, pernah main di dalam air nggak..” Belum selesai bicara aku sudah ditarik ke kolam renang. Pembaca bisa membayangkan, sambil mengapung, kami saling tarik dorong, menggoyangkan pinggul. Meskipun sudah klimaks, tidak perlu menunggu waktu lama, burungku sudah tegang, dan yang kali ini lebih tegang lagi. Meskipun di air, kemaluan Mbak Vian masih terasa basah dan hangat, semilir air yang bergerak menambah nafsu kami berdua dan gerakan kami saat ini lebih lambat dan terkontrol. Gerakan air seirama dengan gerakan batang kemaluanku yang maju-mundur kelubang kemaluan Mbak Vian. Teriakannya kini lebih teratur. Mbak Vian menikmati permainan yang kedua. Tidak sampai 15 menit kami sudah lemas menyambut datangnya orgasme yang kedua, dan air maniku bercampur dengan air kolam. “Ohh Dik Sakti, baru kali ini aku merasakan nikmat yang luar biasa, mungkin karena Dik Sakti orang Jawa, ini pengalamanku yang pertama. Mmmhh, mau kan mengulangi lagi kapan-kapan?”
Karena berbincang-bincang, tidak terasa ban serep sudah terpasang. Dan dia memperkenalkan diri bahwa namanya Vian (seperti nama cowok?), dan ketika dia menyodorkan uang dua lembar puluhan ribu sebagai tanda terima kasih, dengan halus aku menolaknya, “Begini saja Mbak, bagaimana kalau lain waktu aku boleh main ke rumah, kebetulan aku tidak ada saudara di kota ini.” Aku mulai mengeluarkan jurus perkenalan yang berkelanjutan (seperti film silat saja). “Oh tentu saja.. ini alamatku,” sambil menyodorkan kartu nama lengkap dengan nomor HP-nya. “Tapi jangan minggu ini, karena aku akan berpergian ke Jakarta, menengok saudara,” lanjutnya lagi. “Oh kebetulan aku juga dari kota Jakarta, dan di sini aku kuliah.. mungkin kalau ke sana bisa main Mbak.” “Tentu saja.. eh terima kasih lho Dik, jarang lho yang mau nolong dan tidak mau terima uang.. maaf ya..” sambungnya sambil nyelonong masuk mobil. “Sakti.. panggil saja aku Sakti”.
Dua minggu kemudian, setelah selama ini berjalan apa adanya, aku memberanikan diri telepon ke HP-nya. “Mbak Vian.. ini Sakti.. masih ingat kan?” “Sakti.. sebentar.. yang mana ya.. oh iya yang bantu aku betulin ban itu ya, dimana nih, kok kode areanya bukan di sini?” “Oh.. kebetulan aku sedang di Malang, main-main saja kok, nanti sore pulang, besok boleh main ke sana nggak?” “Lho kenapa tunggu besok? Perjalanan ke sini kan nggak sampai 3 jam, langsung mampir aja ke rumah Mbak, pasti capek kan. Nah kita bisa makan malam sama-sama, kebetulan ada suami Mbak di sini, sekalian kenal, gitu lho.” “Ok deh, kalau sempat aku ke sana.” Empat jam kemudian, setelah mampir dulu ke tempat kos, mandi, dan berpakaian agak rapi, aku berangkat ke rumah Mbak Vian. “Lho kok rapi amat, kenapa nggak mandi di sini saja, atau bisa langsung renang sekalian membersihkan badan,” jawab Mbak Vian setelah aku tiba di pintu rumahnya, sekilas tampak sebuah rumah yang cukup besar dengan halaman yang lebih luas dari rumahnya, kolam renang ada di sebelah kanan. “Nah ini Om Candra, suami Mbak.. untung Om ada di Surabaya, biasanya ada di Jakarta, dua minggu sekali datang ke sini, dan besok sudah pergi ke Jakarta lagi.” Acara perkenalan dan makan malam ini berlangsung hingga jam 10 malam dan dilanjutkan dengan acara santai. Mbak Vian mengajak renang. Sepertinya Mbak Vian biasa renang karena dari bodinya yang aduhai.
“Wah aku nggak bawa celana renang Mbak.” “Lho buat apa pakai celana renang, ini kan di rumah, siapa yang mau lihat.. kita mau jungkir balik di kolam ini, juga nggak ada siapa-siapa, kecuali Om.” Memang benar sih, rumah sebesar ini tidak ada siapa-siapa, pembantu pun datangnya hanya pagi hingga sore, setelah itu pulang. Belum sempat aku melihat suasana, tiba-tiba Mbak Vian sudah nyebur ke kolam, sementara Om Candra asyik dengan Play Station di ruang tengah. “Ayo nyebur aja! Mbak sudah kedinginan nih..” Karena sudah pengalaman dengan wanita, maka aku langsung nyebur saja, dengan sebelumnya menanggalkan semua bajuku. Benar saja, kolam renang di malam hari ini sangat dingin, dan aku cukup menggigil. Untung saja aku pandai renang (dulu sejak kecil aku ikut klub renang, dan semua gaya aku kuasai).
Sedang asyik-asyiknya mengapung, Mbak Vian menyelam dan menyilang di bawahku, semilir gerakan air akibat reflek Mbak Vian membuat tubuhku bergetar. “Dik, burungmu bagus juga.. sayang kedinginan tuh..” Sialan, aku lupa ketika dia lewat di bawahku, tentu saja semua tampak nyata baginya, justru aku yang belum memperhatikan Mbak Vian. “Nggak usah malu.. dari awal aku punya firasat kalau Dik Sakti sudah pengalaman dengan wanita dan boleh dong sekarang kita main di kolam ini,” sambil bercanda memercikkan air kolam. “Om Candra gimana?” “Oh dia itu orangnya ‘free life style’, dan Mbak Vian ini istri keduanya.”
Akhirnya gantian aku yang menyelam dan menyerempet ke tubuh Mbak Vian. Ternyata Mbak Vian sangat seksi, baru kali ini aku melihat wanita Chinese telanjang, dan bulunya tidak terlalu lebat, sepertinya rajin merawat dan mencukur. Tanpa dikomando, masih di kolam renang, kami saling merapatkan diri dan mulai mencumbu Mbak Vian. Ternyata Mbak Vian termasuk penikmat seks sejati. Lebih hebat dari wanita yang dulu pernah main denganku. Bisa pembaca bayangkan, kami saling berguling-guling di kolam renang, kadang aku di atas, kadang Mbak Vian di atas. Karena suasana semakin hot, maka kami naik dan rebahan di pinggir kolam. Batang kemaluanku segera dikulumnya. Sangat dahsyat, “Ohkk.. Mbak.. teerrus Mbak..” Karena aku tidak ingin ketinggalan moment, kami mengambil posisi 69, dan segera kulumat habis lubang kemaluan Mbak Vian. Baru kali ini aku merasakan kemaluan cewek Chinese, dan kemaluan Mbak Vian cepat banjir, tidak seperti cewek Indonesia.
“Dik.. masukin dong.. uuhh.. ayo Dik masukin.. aku sudah mau keluar nih.. oohkk..” Batang kemaluanku sudah tegak berdiri dan kuarahkan ke lubang kenikmatan Mbak Vian. Wow, lubang cewek Chinese sangat sempit dan batang kemaluanku terjepit rapat, suatu perasaan yang sensasional kurasakan tidak karuan. Padahal aku belum memompa dengan sekuat tenaga. “Mbak.. gimana rasanya.. mmhh..” desahku menahan nafas (dan mengatur posisi). “Ohkkhh.. Dik, baru kali ini aku main dengan pria pribumi.. ohkk pelan-pelan..” ucapnya terputus-putus. “Oh yes, yes.. terus Dik.. yes teruss kkhh.. Ohh.. ohh.. ohh..” suaranya makin meninggi (beda dengan wanita yang pernah kuhadapi). “Mmhh oohh.. ohh push.. push.. Dik.. terus yang keras Dik.. terus.. lebih dalam.. aauuhh..” Mbak Vian melengking, menandakan dia orgasme. Dan.. “Aakkhh..” reflek aku memuncratkan air maniku, sekali lagi kemaluan cewek Chinese terasa lebih sempit dan sangat basah, sehingga menimbulkan gelora yang luar biasa.
“Dik, pernah main di dalam air nggak..” Belum selesai bicara aku sudah ditarik ke kolam renang. Pembaca bisa membayangkan, sambil mengapung, kami saling tarik dorong, menggoyangkan pinggul. Meskipun sudah klimaks, tidak perlu menunggu waktu lama, burungku sudah tegang, dan yang kali ini lebih tegang lagi. Meskipun di air, kemaluan Mbak Vian masih terasa basah dan hangat, semilir air yang bergerak menambah nafsu kami berdua dan gerakan kami saat ini lebih lambat dan terkontrol. Gerakan air seirama dengan gerakan batang kemaluanku yang maju-mundur kelubang kemaluan Mbak Vian. Teriakannya kini lebih teratur. Mbak Vian menikmati permainan yang kedua. Tidak sampai 15 menit kami sudah lemas menyambut datangnya orgasme yang kedua, dan air maniku bercampur dengan air kolam. “Ohh Dik Sakti, baru kali ini aku merasakan nikmat yang luar biasa, mungkin karena Dik Sakti orang Jawa, ini pengalamanku yang pertama. Mmmhh, mau kan mengulangi lagi kapan-kapan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar