Turun dari bus diikuti oleh Iswani tepat dibelakangku, kulihat jamku menunjukkan 8.45. Bergegas menghindar dari calo-calo angkutan umum dan ojek, kearah warung di pinggir terminal lalu duduk sambil memesan kopi panas. Setelah duduk baru aku sadar bahwa Iswani tertinggal agak jauh dan berjalan menuju tempatku dengan agak kesulitan karena tasnya kelihatan berat. "Tok, gimana sih kamu kok ninggal?", kata Iswani dengan nada tinggi. "Bantu bawain tasku juga nggak, kok malah lari!", lanjutnya. "Sorry Mbak, aku kan kepingin cepat-cepat minum kopi biar nggak keburu pusing", sangkalku dengan santai sambil tersenyum kecut. "Ah, alasan aja kamu, malu ya jalan sama aku?", tanya Iswani. "Nggak, malah senang kok Mbak, seperti punya pengawal pribadi", candaku. "Eh, enak aja! Habis ini pokoknya kamu bantuin bawa tasku ya!", dengan nada memaksa. "Lho Mbak, terus tasku siapa yang bawa?", tanyaku dengan lagak bodoh. "Ya kamu bawa sendiri!", jawabnya bernada cuek. "Wah capek Mbak!", rengekku menggoda. "Gampang, nanti kupijitin, gitu aja kok repot!", jawab Iswani dengan keras dan bersungut.
Bagai tersambar petir atas reaksinya aku terdiam agak lama, beruntunglah kopiku segera tiba dan kusibukkan diriku dengan kopi panas sambil menghisap rokok. Sementara itu Iswani memesan teh panas dan menuju wastafel lalu membersihkan muka, menyisir rambut dan bersolek dengan santai. Setelah tehnya datang ia kembali ke mejaku dengan wajah lebih segar dan tampak cantik.
Memandang wajah dan tubuhnya yang seksi, terbitlah lamunanku bermesraan dengannya. Bibirnya yang mungil menempel pada bibirku, saling bercumbu dan saling menghisap. Tanganku mengusap payudaranya yang menegang, jari jemariku merasakan puntingnya yang makin mengeras. Tak kuasa menahan godaan dari dadanya kulepaskan cumbuanku dan kuarahkan pada kedua payudaranya. Desahannya makin menjadi, tangannya mendorong kepalaku kearah lebih bawah lagi. Pelan tapi pasti, hisapan bibirku akhirnya sampai pada daerah kemaluannya. Bulu-bulu kemaluannya yang rimbun tak mampu menahan juluran lidahku menembus bibir vaginanya. Hisapan dan juluran lidahku yang bergantian menghasilkan pola rangsangan yang tak terbatas nikmatnya pada tubuh Iswani. Erangan dan desahannya bagaikan alunan nada yang membuatku semakin liar. Kedua kakinya semakin membuka, lidahku masuk semakin dalam, tarikan tangannya pada kepalaku semakin kuat untuk menahan bibir dan lidahku agar tak lepas dari lubang kenikmatannya.
Gelinjang di tubuh Iswani makin menjadi dan teriakan keras, "Oh..", dan.. tenggelamlah lamunanku yang baru terbit oleh tendangan kaki Iswani pada kakiku. "Ada apa sih Mbak pakai nendang-nendang segala?", tanyaku jengkel. "Diajak omong malah ngelamun. Setelah ini kamu kemana, Tok?", tanya Iswani sambil minum tehnya. "Cari penginapan di daerah Cempaka, Mbak!", jawabku kalem. "Mampir ke Pasar Antasari dan Pasar Baru dulu, ya!", ajaknya. Dengan mengangguk aku menghela napas panjang, dalam hati aku mengeluhkan ajakannya. Tapi rupanya Iswani dapat membaca raut mukaku. "Kalau nggak mau, nggak apa-apa kok!", katanya dengan nada tinggi lagi. "Mau, mau Mbak, gitu aja sewot!", godaku sambil tersenyum.
Keluar dari warung, kami berjalan menuju ke pangkalan angkutan umum. Kali ini aku berjalan dibelakang Iswani dan sering ketinggalan darinya karena selain membawa tasku sendiri aku juga membawa tasnya yang ternyata lebih berat dari dugaanku. "Ayo cepat, jalanmu kok loyo sih!", ujar Iswani. Aku cuma bisa mengumpat dalam hati tanpa mengucapkan sepatah katapun karena tangannya segera meraih pergelangan tangan kiriku dan menariknya masuk ke angkutan umum.
Setelah sampai didepan Pasar Antasari kami turun dari angkutan umum. Kuikuti saja langkah Iswani tanpa menghiraukan apa yang dibelinya. Satu jam berputar-putar didalam pasar membuat bajuku terasa basah kuyup karena keringatku. "Yuk ke Pasar Baru, jalan kaki saja ya, dekat kok!", kata Iswani padaku. Sambil melongo aku geleng-gelengkan kepala tak percaya pada pendengaranku, "Aduh Mbak, capek nih, apa Mbak belum pernah dimaki-maki orang bisu ya?", umpatku padanya. Beruntung pasar lagi ramai sehingga dia tak seberapa mendengarkan umpatanku.Berjalan menyisir jalanan kota Banjarmasin yang panas dan padat, kuikuti langkah Iswani menuju Pasar Baru. Lewat jembatan yang menyeberangi sungai besar kuhentikan langkahku karena kurasakan kesegaran angin sungai. Belum puas merasakan udara sungai, Iswani memanggilku, "Ayo Tok, cepatlah!". "Sabar dong Mbak, lagi cari angin nih!", jawabku sambil berjalan kearahnya. Sesampainya di Pasar Baru Iswani melanjutkan belanjanya. Keletihanku tertutupi oleh wajah-wajah cewek yang lalu lalang disekitarku. Tanpa kusadari ternyata caraku menatap cewek-cewek tersebut diperhatikan oleh Iswani. Cubitannya di tanganku membuatku terhenyak kaget, "Aduh, ada apa sih Mbak?". "Ayo cari makan.", jawabnya santai.
Setelah duduk di meja makan sebuah restoran seberang pasar, kuletakkan kedua tas dibawah meja, lalu kuusap-usap bekas cubitan Iswani di pergelangan tangan kiriku. "Kenapa Tok? Panas ya?", tanya Iswani padaku sambil tertawa. "Mbak keterlaluan! Ngajak makan saja pakai nyubit", gerutuku tanpa didengarkannya karena sibuk memesan makanan. Selesai makan Iswani mengajakku naik angkutan umum lagi untuk mencari penginapan. Sesampai didaerah Cempaka, kami turun. "Mana Tok penginapannya?", tanya Iswani. "Masuk kejalan sebelah sana Mbak, angkutannya nggak lewat jalan itu", jawabku. "Jauh nggak? Aku udah capek dan ngantuk nih!", kata Iswani. "Aku sudah sejak tadi capek dan ngantuk!", balasku. "Aku nggak tanya!", jawab Iswani dengan ketus lalu mempercepat jalannya. Belum sempat membalas ucapannya terakhir, aku tergopoh-gopoh berusaha menyusulnya.
Sesampai di penginapan Iswani langsung menuju penerimaan tamu dan memesan sebuah kamar. Petugas penginapan yang agak curiga bertanya pada Iswani tentang aku. Dengan nada yang meyakinkan dikatakannya bahwa aku adalah adiknya. Dengan napas yang masih terengah-engah karena berjalan cepat dengan beban berat, aku mengannguk saja apa yang ia yakinkan pada pegawai penerima tamu. Akhirnya bualan Iswani menghasilkan sebuah kamar dengan 2 tempat tidur yang terpisah.
Bergegas masuk kamar lalu kuletakkan 2 tas yang membaniku, kemudian kulepas jaket, sepatu, celan jeans dan bajuku yang masih basah kuyup oleh keringatku. Dengan hanya ber-celana dalam kubaringkan badanku terlentang diatas ranjang menikmati sejuknya AC kamar. Di pojok ranjang yang satunya, Iswani duduk menatap bagian depan celana dalamku yang menonjol."Lihat apa Mbak?", tanyaku mengagetkannya. Menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah yang agak merah dia berdiri dan masuk ke kamar mandi. Rupanya Iswani mandi dengan singkat lalu keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang menutupi payudara sampai ke bagian paha. Tercengang oleh pemandangan tersebut, aku langsung tengkurap tak berani menatapnya. Kupikir dengan tengkurap tonjolan di celana dalamku dapat tertutupi sekaligus mengurangi daya tonjolnya karena melihat tubuh wanita molek lagi mulus walau berumur 35 tahunan. "Kenapa Tok?", tanya Iswani menggoda sambil mengaduk-aduk isi tasnya. "Mbak, isi tasnya apa aja sih kok rasanya berat sangat", tanyaku berusaha mengalihkan pikiranku dari tubuhnya. "Pingin tahu aja!", jawab Iswani sambil tersenyum. "Bukannya gitu Mbak, tapi tasnya Mbak bikin leherku pegal", kataku berkilah.
Tanpa menjawab lagi Iswani beranjak kearahku dan tanpa kusadari kedua tangannya sudah ada dipundakku. Tentu saja aku kaget karena tak mengira kalau dia sudah ada diatas punggungku. Belum habis rasa kagetku, cengkeraman kedua tangannya memijat pundakku tepat didaerah yang pegal hingga aku mengaduh. "Aduh, Mbak! pelan-pelan..". Tanpa mendengarkan kata-kata dia tetap memijat tengkuk hingga punggungku. Otot-ototku didaerah tengkuk hingga punggung mulai melemas dan berangsur-angsur berkurang rasa sakit dari pijatannya. Pegal-pegal yang kurasakan mulai berkurang. Pijatannya bergerak kebawah ke arah pantat. Kedua pahaku bagian belakang diapit oleh pahanya.
Sensasi pergesekan kulitku dengannya bagai mencapai ubun-ubun. Bersamaan dengan itu ketegangan batang kemaluanku makin bertambah hingga bak dongkrak mengangkat pantatku. Pijatan Iswani mencapai titik-tik sensitifku, selakangan hingga paha bagian dalam. Jari jemarinya berusaha masuk kedalam celana dalamku untuk menyentuh langsung dan mencekeram otot-otot pantatku. Tak lama kemudian rupanya kesabaran Iswani habis, tanpa isyarat ia menarik celana dalamku hingga lepas sementara aku masih tengkurap keenakan. Beruntung senjataku masih tegang dan menekuk kearah perutku sehingga masih tak dapat langsung diraihnya. Tapi kedua bola kemaluanku benar-benar terbuka dan langsung menjadi sasaran jari-jemarinya yang lentik. Usapan-usapanya pada kantong bola kemaluanku hingga pangkal paha membuatku tak tahan. Jari jemarinya terus bergerilya dan akhirnya mendapatkan yang dimauinya.
Tanpa melawan kubalikkan badanku. Batang kemaluanku yang telah berdiri tegak menjadi bulan-bulanan cengkeraman kedua tangannya. Walau begitu pertahananku belum sepenuhnya hancur. Tanpa mengenal rasa lelah digosok-gosokkan kedua telapak tangannya pada batang kemaluanku, keatas-kebawah. Cairan semenku bagai pelicin yang mempercepat gerakan tangannya. Batas nafsu Iswani ternyata juga telah mencapai titik kritis. Dilepaskannya handuk yang membungkus tubuhnya. Terlihat kedua payudaranya yang berukuran cukupan itu tampak tegang dengan ujung yang sedikit mendongkak. Dengan hati-hati ia memegang batang kemaluanku untuk dimasukkan pada liang kenikmatannya. Usaha awalnya belum cukup memasukkan seluruh batangku. Kurasakan jepitan batangku oleh liang kenikmatannya yang belum licin benar. Ditariklah badannya sedikit keatas, sambil melempangkan kedua kakinya, ia menghujamkan kembali badannya hingga seluruh kemaluanku terbenam dalam kemaluannya yang diikuti oleh erangannya, Iswani kemudian membungkukkan badannya hingga kedua bibir kami dapat saling bercumbu. Kedua payudaranya menempel diatas dadaku.
Kedua tanganku mulai bergerak mengusap punggung hingga mencekeram kedua pantatnya yang bahenol. Sementara kedua lidah kami bertautan yang dibarengi dengan saling hisap, Iswani mulai menggerak-gerakkan pinggulnya. Kurasakan cairan pelicin alaminya mulai membasahi seluruh batang kemaluanku. Makin lama gerakan pinggulnya makin menjadi hingga terlepaslah cumbuannya. Dengan bibir yang masih membuka Iswani mengeluarkan desahan-desahan kecil seiring dengan gerakan pinggulnya. Kecepatan naik turun pinggulnya makin lama makin cepat. Ketika sampai puncaknya, gerak tubuh Iswani terhenti, semua ototnya menegang, tangannya mencekeram erat pundakku, gelinjang tubuhnya mulai kurasakan, liang kenikmatannya bagai meremas batang kemaluanku, cairan hangat dalam kemaluannya mulai terasa. Tak kuasa menahan sensasi kenikmatan yang diberikan Iswani padaku, akhirnya burungku ikut memuntahkan isinya dalam lubang kenikmatannya. Tubuh Iswani kini melemas dan lunglai diatas tubuhku, meski begitu denyutan dinding liang kemaluannya masih kurasakan hingga batang kemaluanku selesai melepaskan sisa-sisa isinya. Tanpa ada usaha melepaskan burungku dari lubang vaginanya akhirnya burungku yang sudah sangat lemas lepas dengan sendirinya.
Sambil terpejam, Iswani yang masih lunglai diatas tubuhku berkata, "Tok, aku tidur disini aja ya..". Tanpa menjawab kata-katanya akupun terlelap dalam pelukan Iswani. Satu jam lebih kami tidur dalam keadaan yang tak berubah. Panggilan alam membangukanku, kugeser tubuh Iswani kesampingku lalu kulepaskan genggaman tangannya pada tubuhku. Dalam keadaan bugil aku langsung bergegas masuk kedalam kamar mandi tanpa menutup pintunya. Setelah buang air kecil, kusiramkan air hangat dari shower ke seluruh tubuhku. Membayangkan dengan mata terpejam dibawah siraman air hangat akan kejadian yang baru saja kualami, rasanya tak dapat kupercaya. "Sini Tok, kumandiin", kupandang suara Iswani tersebut sangat mengagetkanku hingga hampir-hampir membuatku terpeleset. "Aduh, Mbak ngagetin aja!", kataku jengkel.Dengan tubuh yang juga masih bugil ia mengambil sabun dan menggosokkan ketubuh bagian depanku. "Mbak, Mbak, nggak usah, saya bisa mandi sendiri", kataku. Tanpa menghiraukan kata-kataku, ia menyabuni pangkal paha serta batang kemaluanku. Sebelum terjadi hal-hal yang kuinginkan tanganku bereaksi dengan meremas-remas payudaranya. Kepalanya menengadah kearahku dan berkata, "Jangan Tok, aku masih capek..". Tanpa menghiraukan kata-katanya, bibirku sudah melumat bibirnya. Setelah melepas bibirnya, kuraih sabun ditangannya tanpa perlawanan dan ganti kusabuni payudaranya, pinggulnya, serta daerah kemaluannya. Sabun kuletakkan kembali pada tempatnya, kuusap seluruh tubuhnya dengan tanganku dibawah guyuran air hangat dari shower, lalu kumatikan showernya setelah tubuh Iswani bersih dari sabun.
Berhadap-hadapan, kuciumi tubuhnya mulai dari leher, dada, perut dan berhenti di daerah kemaluannya. Dengan pasrah kedua tangan Iswani memegang pipa ledeng diatasnya untuk menjaga tubuhnya agar tak terpelset. Kujongkokkan tubuhku hingga tepat dibawah daerah kemaluannya. Kujilati pangkal paha kirinya lalu bergerak ke paha kanan, bolak-balik, dan agak berlama-lama ditengahnya. "Antok.. Oh.. oh..", desahnya membuat perhatianku memusat pada vaginanya. Kedua tanganku membuka bibir vaginanya dan kemasukkan lidahku sedalam-dalamnya. Ketika lidahku merasa lelah bibirku ganti bereaksi dengan menghasilkan hisapan-hisapan sensual. "Mmh.. shh.. oh..", desahan Iswani makin menjadi-jadi. Lidahku terus bergerak dan mulai bermain-main dengan klistorisnya. "Ahh..!", erang Iswani.
Bibirku tak mau kalah, hisapan kecil pada klistorisnya membuatnya tergelinjang hingga hampir terpeleset. Tanganku yang sedari tadi mengusap-usap pantat dan pahanya mulai kualihkan perannya. Jari telunjuk tangan kanan mulai memasuki liang kenikmatannya dengan hati-hati. Tangan kanan Iswani melepas pegangannya dari pipa ledeng dan menarik kepalaku untuk masuk lebih dalam keliangnya. Akhirnya tubuhnya bergelinjang hebat, menegang dan kurasakan keluarnya cairan hangat dari dalam liang kenikmatannya di jari telunjukku. "Aduh Tok, lemas nih", nadanya memelas. Kubantu ia berjalan keluar kamar mandi menuju ranjangnya. Setelah kududukkan, aku mengambil handuk dan mebersihkan sisa-sisa air di bagian depan tubuhnya. Lalu kuminta ia tengkurap untuk membersihkan bagian belakang tubuhnya.
Sewaktu mengusap bagian pangkal paha dengan handuk, kulihat tubuh Iswani mulai menikmatinya. Usapan handuk kuganti dengan usapan permukaan tanganku. Tanpa berpikir lagi, kuciumi bagian belakang tubuhnya untuk merangsangnya kembali karena burungku sudah tak sabar lagi. Entah berpura-pura atau tidak, Iswani masih tetap memejamkan matanya. Tapi ketika ciumanku sampai pada tengkuk leher sebelah kirinya, ia mengerang lemah. Bersamaan dengan itu batang kemaluanku yang telah berdiri tegak kutempatkan saling bergesaran dengan bibir vaginanya.
Kurasakan kehangatan pada burungku di dalam kamar yang sejuk oleh AC. Sensasi gesekan antar kulit merangsang keluarnya zat pelicin alami dari liang kemaluan Iswani. "Jangan main-main Tok!", kata Iswani yang sedikit mengejutkanku dan banyak membingungkanku akan maksudnya. Bersamaan dengan keluarnya kata-kata tersebut Iswani mulai mengangkat sedikit tubuhnya dan bertumpu pada sepasang siku dan lututnya. Setelah kulihat lubang kemaluannya terbuka lebih lebar baru aku mengerti maksud kata-katanya. Langsung saja tanpa basa basi kumasukkan batang kemaluanku kedalam vaginanya lewat belakang. Dorongan pertama telah cukup membenamkan seluruh batang kemaluanku. "Ahh..shh..", desah Iswani. Kupegang kedua pinggul Iswani lalu kubuat gerakan maju mundur yang semakin lama semakin cepat. Tak beberapa lama tangan kanan Iswani mengarah kebelakang dan menarik pinggulku agar berhenti pada doronganku yang terdalam. "Ah..!", ia menggelinjang tanda telah sampainya puncak kenikmatannya tapi aku masih dapat menahan puncakku.
Kulepas pegangan tanganku pada pinggulnya lalu bergerilya mengusap perut dan payudaranya. Kucoba kembali merangsanya dengan menumpangi bagian belakang punggungnya dengan dadaku. Kucium kembali tengkuknya dan kuhisap leher kirinya. Batang kemaluanku yang basah oleh cairan kehangatan Iswani mulai merasakan kembali gesekan-gesekan dengan dinding kemaluannya. Kali ini Iswani berinisiatif untuk menggerak-gerakkan pantatnya maju dan mundur. Kusambut pula dengan gerakan yang mendukung gerakannya. Dekapanku makin erat ketika mendekati klimaks. Dengan napas berat kuucap bisikan lirih ditelinga kirinya "Mbak, aku mau keluar..". Tanpa bisa kutahan lagi, penisku mengeluarkan seluruh isinya. Dalam keadaan otot-ototku yang masih menegang kurasakan tubuh Iswani ikut bergelinjang. Kemudian kucabut batang kemaluanku dari liang kenikmatannya setelah menunggu beberapa saat. Setelah terbaring terlentang di samping Iswani yang tertelungkup, aku menghela napas panjang berulang kali.
Bangun dari pembaringan, aku bergegas ke kamar mandi. Kali ini aku tak lupa menutup pintunya. Setelah mandi dan berpakaian aku merasa segar untuk kembali ke ranjangku dan tidur dengan nyenyak.
Rasa lapar membangunkanku, kulihat Iswani menonton TV dengan memakai daster. "Mbak jam berapa ini?", tanyaku padanya. "Sudah jam 9 malam", jawabnya. "Yuk cari makan malam!", ajakku padanya. "Buka saja bungkusan itu, tadi sudah kubelikan, makan aja sendiri, aku sudah", kata Iswani. "Tumben, Mbak kok baik banget, makasih ya", kataku memujinya sambil membuka bungkusan makanan yang berisi nasi sambal dan ayam goreng. Karena sangat lapar maka aku makan dengan lahap dan cepat bak orang rakus. Setelah habis baru kurasakan pedasnya menempel di bibir tak mau segera hilang. "Ssh huah, kok pedes banget sih Mbak, sambel apa itu tadi?", tanyaku penasaran. "Cuma sambel biasa, masa pedas sih, tadi aku tambahin semua sambalku ke bungkusanmu, kukira kamu suka pedas", jawab Iswani sambil tertawa. Kucoba gosok gigi dan mendekatkan bibirku dengan lubang keluarnya angin dari AC untuk segera menghilangkan rasa pedas dibibirku juga tak berhasil. Iswani yang melihat tingkah polahku semakin tertawa. Karena jengkel aku keluar kamar dan merokok diluar, pasrah dengan keadaan bibirku yang masih kepanasan.
Satu jam mengangin-anginkan bibir di teras kamar, aku merasa lebih baik. Kembali ke kamar kulihat Iswani masih rebahan di ranjangnya melihat acara TV. Melihat botol aqua yang masih ada isinya diatas meja kamar, aku jadi teringat vitamin C yang ada di tasku. Kuambil sebutir vitamin C dari dalam tas lalu kuambil gelas dan kumasukkan vitamin tersebut kedalamnya setelah kutuangkan aqua. "Kamu minum apa Tok?", tanya Iswani ingin tahu. "Vitamin C Mbak, mau?", tanyaku kembali sambil menenggak habis vitamin C-ku. Iswani hanya menggelengkan kepala tanda tak berminat. Tergoda oleh panggilan kasurku yang kosong, aku segera merebahkan diri keatasnya dan kutarik selimutku. "Keterlaluan kamu Tok, baru bangun sudah mau tidur lagi!", komentar Iswani. "Habis mau apa lagi Mbak jam segini, jalan-jalan juga sudah sepi, toko-toko sudah tutup, pasar juga belum buka", jawabku santai. "Ya ngobrol ini itu kan bisa!", jawab Iswani serius. "Mbak, ngobrol itu makanan apa? bahannya dari apa?", tanyaku bercanda. Bukannya menjawab Iswani malah melompat ke ranjangku yang hanya berjarak setengah meter dari ranjangnya dan tepat berada sisi kiriku. Iswani memasukkan tubuhnya kedalam selimutku dan meremas batang kemaluanku dengan tangan kirinya. "Mau tahu ngobrol? Eh gemas aku sama kamu, diajak ngomong serius malah bercanda". "Aduh, Mbak jangan diremas nanti bisa putus", cegahku.
Kedua kaki Iswani mengapit kaki kiriku dan wajahnya tepat dimuka wajahku hingga bibirnya berada hanya bebera sentimeter dari bibirku. Pandangan matanya menembus tatapanku menggugah gairahku. Hembusan nafas beratnya sangat terasa oleh bibirku. Tangan kananku yang bebas meremas payudaranya yang masih tersimpan dalam daster tanpa memakai BH. Serangan balasanku dibalasnya dengan memasukkan tangannya kedalam celanaku dan menggegam erat batang kemaluanku. Bibirnya mencumbui bibirku dibarengi dengan hisapan dan permainan lidah. Iswani juga menggeser-geserkan daerah kemaluannya pada paha kiriku. Tanganku melepas cengkeraman pada payudaranya lalu melepas kedua kancing depan dasternya hingga terbukalah kedua payudaranya. Kupindahkan cumbuanku dari bibir ke leher dan akhirnya ke payudaranya. Kukulum kedua punting susunya bergantian. "Oh.. Tok, ayo lepas pakaianmu", desah Iswani.
Dalam sekejap tubuhku kubuat bugil, Iswanipun demikian meski masih berlindung terlentang dalam selimutku. Akupun kembali masuk kedalam selimut. Dan dalam kegelapan selimut, kucumbui seluruh tubuhnya hingga terhenti didaerah kemaluannya yang sudah agak basah. Hisapan dan jilatan lidahku menghujani seluruh bagian kemaluannya. Terobosan lidahku masuk ke liang kenikmatannya. "Mmh.. ah.. ssh..", terdengar suara Iswani pelan. Disingkapnya selimut yang menutupiku dan ditarik-tariknya kepalaku kearah lobang kenikmatannya yang terdalam."Tok,..", desah Iswani dengan otot-otot paha menegang lalu tubuhnya menggelinjang dan akhirnya terlentang lemas.
Dengan posisi agak duduk bertumpu dengan kedua lutut, kugenggam kedua pergelangan kaki Iswani keatas lalu kuletakkan diatas pundakku sampai pantatnya agak terangkat. Dengan posisi kaki Iswani pada pundak kumasukkan batang kemaluanku yang berdiri tegang kedalam lobang kemaluannya. Dengan mudah batangku masuk seluruhnya kedalam liang kenikmatannya dan rasanya sampai diubun-ubun. Satu dua gerakan maju mundur pelan kuteruskan dengan puluhan gerakan maju mundur cepat dan semakin cepat. Terus dan terus.. hingga Iswani mengerang. Kuhentikan gerakanku dan kuturunkan kedua kakinya terlentang diatas ranjang tanpa mencabut batang kemaluanku dari lobang kemaluannya. Dengan posisiku yang masih sama kupegang erat pinggulnya dengan tangan kiri. Dengan gerakan mundur pelan kulepas batang kemaluanku dari vaginanya. Tangan kananku kupakai untuk mengarahkan penisku kembali memasuki vaginanya.
Kubuat gerakan maju mundur lagi tapi kini hanya ujung penisku saja yang keluar masuk lobang kenikmatannya. Kutambah kecepatanku setahap demi setahap dan sesekali kubenamkan seluruh batang kemaluanku sedalam-dalamnya. Pantat Iswani ikut mengimbangiku dengan gerakan naik turun menginginkan tancapan batang kemaluanku lebih dalam lagi. Sedikit demi sedikit kurebahkan dadaku menindih payudaranya. Kedua kaki Iswani yang terlentang diapitkan pada ke kedua kakiku yang berada diatara kedua kakinya. Kuncian kakinya pada kakiku turut membuat otot-otot kemaluannya terasa mengapit penisku. Gesekan kulit penisku dan dinding kemaluannya menghasilkan efek rangsangan yang luar biasa. Sambil terus menggerakkan pinggulku kucumbu lehernya, kuhisap, dan kukulum telinga kirinya. Puncak demi puncak dicapai Iswani dengan beberapa cara yang berbeda-beda.
Melemasnya Iswani membuat kuncian kakinya pada kakiku terbuka. Kubuka kakiku hingga terlentang untuk ganti mengapit kedua kakinya. Manuverku ini membuat lubang vaginanya menyempit seakan-akan mencekeram batang kemaluanku. Cumbuan bibirku pada bibirnya terjadi tanpa terelakkan. Bibir bertemu bibir, lidah bertemu lidah dan hisapan disambut hisapan. Kedua tangannya memelukku erat-erat. Payudaranya merangsek dadaku. Gerakan naik turun pinggulku diimbanginya dengan serasi. Tanpa bisa kutahan lagi, sebuah denyutan terasa di penisku, meletuslah puncak kenikmatanku. Seketika itu lepaslah cumbuanku padanya. Dengan sisa tenaganya Iswani makin erat memelukku sambil membuat gerakan bak cacing kepanasan demi mengejar puncakku. Otot-ototnya menegang hebat mengundang denyutan-denyutan susulan dari penisku dan disambut dengan meriah oleh gelinjang tubuhnya. Meskipun tubuh kami berdua sudah tak bertenaga namun penisku tak segera ingin meninggalkan liang kenikmatan Iswani. Sisa-sisa denyutanku rupanya masih ditunggu hingga terkuras habis. Setelah mencabut penisku dari lobang vagina Iswani, aku terlentang disampingnya tertidur kelelahan hingga pagi, begitu pula Iswani.
Pagi sekali aku sudah bangun, kulihat Iswani masih tertidur pulas. Setelah membasuh muka, gosok gigi dan berpakaian, aku keluar kamar untuk jalan-jalan disekitar penginapan sambil menghirup udara pagi kota Banjarmasin. Kabut tipis masih menyelimuti beberapa permukaan jalan. Setengah jam kemudian aku balik ke penginapan. Sampai di penginapan aku menuju ke kafetaria untuk melakukan ritual pagiku, yaitu kopi panas dan sebatang rokok. Selesai ngopi aku kembali ke kamar, kulihat Iswani mulai terbangun. Dengan mata yang yang masih terpejam Iswani bertanya, "Jam berapa Tok?" "Baru jam 6 Mbak, tidur lagi aja", jawabku. "Sini Tok, temanin aku", ajak Iswani dengan nada manja. Ajakannya benar-benar menggoda karena kulihat tubuh Iswani terlentang telanjang dibalut selimut sehingga lekuk-lekuk tubuhnya yang elok masih dapat kuamati. Kuperhatikan Iswani belum juga mampu membuka matanya tapi gerakan tubuhnya menunjukkan kalau ia sudah tidak dapat tidur lagi. Gerakannya kekiri dan kekanan yang entah disengaja atau tidak menyingkap sebagian selimutnya. Pahanya yang putih mulus terpampang jelas oleh penglihatanku.
Mencoba tak tergoda aku membuka sedikit korden jendela untuk melihat-lihat pemandangan luar kamar. "Diluar ada apa Tok?", tanya Iswani membuka sebelah matanya. "Ada pemandangan bagus Mbak, ternyata di penginapan ini ada pelayan cewek yang cakep", jawabku bercanda. Buk, sebuah bantal melayang tepat mengenai belakang kepalaku dan menghantukkannya ke kusen jendela. "Aduh, pagi-pagi kok buat perkara", kataku dengan memegang hidungku yang agak kesakitan setelah terhantuk kusen jendela. "Memangnya ada apa?", tanya Iswani tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Nih hidungku nabrak kusen", jawabku jengkel. "Siapa yang suruh menabrakkan hidung ke kusen?", jawab Iswani santai. Kuambil bantal yang mengenai kepalaku dan berjalan ke ranjang Iswani, sambil berkata, "Gara-garanya bantal yang Mbak lempar ke saya", kataku sambil menunjukkan bantal tersebut.
Menatapku dengan senyum nakal, Iswani menarik bantal yang masih kupegang erat hingga aku terjerembab ke arahnya kehilangan keseimbangan karena tak mengantisipasinya. Tubuhku terjatuh menindih tubuhnya yang masih terbalut selimut. "Aduh, apa-apaan Mbak", tanyaku dengan mulut tepat diatas mulutnya. "Terus maumu apa?", tantangnya dengan napas berat sambil memegang kepalaku dengan kedua tangannya. "Apa-apa mau", balasku menggoda.Dengan serta merta Iswani menarik kepalaku dan mencumbu mulutku. Sambutanku tak kalah cepatnya, kuimbangi cumbuannya bagaikan adegan foreplay dalam film-film biru.
Dalam pengaruh rangsangan nafsu yang hebat, otakku memberi komando pada kedua tanganku untuk terjun pada daerah pegunungan yang berselimut. Diikuti oleh gerakan gerilya kedua tanganku memberi serangan frontal dengan remasan-remasan pada payudara Iswani. Serangan kilat yang kulakukan membuat Iswani terbelalak. Tanpa melepas ciuman antar mulut, Iswani melakukan serangan balasan. Dua tangannya melepaskan kepalaku dan bergerilya mengusap punggungku dan terus melaju ke bawah. Kedua tangannya dengan mudah menyusup masuk kedalam bagian belakang celanaku dan meremas-remas pantatku. Tak cukup dengan meremas pantat, beberapa jarinya juga menekan-nekan daerah sensitif di daerah selakangan. Saat ini batang kemaluanku sudah mengeras bagai moncong meriam yang siap menembakkan mesiunya setiap saat. Khawatir akan kehabisan peluru saat perang sesungguhnya terjadi, maka kuajukan genjatan senjata dalam bercumbu. Ternyata ajakanku diterima tanpa syarat.
"Ayo Tok cepat lepas pakaianmu!", perintah Iswani. Dalam sekejap akupun telanjang bulat. Dan dalam kejapan berikutnya kutarik selimutnya, kutindih badannya dan kutangkap kedua pergelangan tangannya dengan kedua tanganku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha memegang tangannya terlentang keatas kepalanya. Batang kemaluanku kugesekkan pada daerah kemaluannya yang telah licin. Dadaku menindih dan bergesek pada kedua payudaranya seirama dengan gerakan bagian bawah perutku. Ciuman yang disertai hisapan mulutku pada daerah lehernya menghasilkan desahan dan erangan. Iswani membuka kakinya makin lebar membuat lobang kenikmatannya lebih terbuka bagi batang kemaluanku. Dengan usaha beberapa kali akhirnya batang kemaluanku dapat memasuki lubang kenikmatannya tanpa bantuan tanganku ataupun tangan Iswani.
Seiring dengan masuknya batang kemaluanku menuju liang kenikmatannya, timbullah rasa nikmat pada sekujur tubuh kami berdua. Jari-jari kedua tanganku terbuka, lepaslah genggamanku tapi jari-jari kedua tangannya mengisi ruang diantara jari-jariku hingga bersatu saling genggam. Sementara itu bagain bawah tubuhku membuat gerakan maju mudur dan keatas kebawah. Sesekali kuhentikan gerakanku dan Iswani menggantikannya dengan menggerakan pinggulnya berputar. Selang beberapa waktu kedua kakinya mengunci kakiku, kupandang wajahnya dengan mulut terbuka menghembuskan nafas-nafas berat pada bibirnya. Seolah menembus batas birahiku, tatapan matanya yang beradu pandang denganku mendorong ledakan klimaksku yang tak dapat kubendung. Cairan hangat yang keluar dari batang kemaluanku menerjang dinding liang kenikmatannya dan mengundang klimaksnya. Diikuti oleh tubuh Iswani yang mengejang dalam bebera saat, muncullah beberapa denyutan dari batang kemaluanku. Berangsur-angsur tubuhku terasa lemas dan lunglai dalam dekapan tubuh Iswani. Sebuah ciuman kulayangkan pada bibirnya sebelum menarik tubuhku dan terlentang disebelahnya. Terlelap beberapa waktu kudengar gemericik suara shower dari kamar mandi.
Semerbak bau harum sabun mandi menyebar dalam kamar menerpa hidungku dan membangunkanku dari pembaringan ketika Iswani keluar dari kamar mandi. Kamar mandi yang ditinggalkan Iswani segera kumasuki. Selesai mandi kudapati Iswani tengah bersolek mengenakan kaos lengan panjang warna merah menyala dan celana jeans yang ketat. Kupandangi tingkah laku Iswani sambil berbaring santai diatas ranjangku. "Mbak, bisa cakep seperti itu makan apa saja sih?", tanyaku penasaran melihatnya. Sambil memasukkan alat-alat pesoleknya, ia menjawab dengan senyum genit, "Kan habis makan kamu". "Pagi ini aku udah habis Mbak, terus mau makan apa lagi?", tanyaku lagi. "Aku juga udah kenyang kok", jawabnya santai sambil membongkar sebagian isi tasnya.
Tak lama kemudian Iswani memasukkan semua barang yang dibelinya di pasar kemarin kedalam tasnya. "Tok, pagi ini aku mau ketempat saudara-saudaraku yang ada di Banjar Baru, mungkin sampai sore dan nanti malam kita bisa ketemu lagi, kamu masih mau nginap disinikan malam nanti?", tanya Iswani dengan menutup tasnya. "Aku juga mau putar-putar kota Banjarmasin, paling-paling sore sudah balik, tapi malamnya aku mau cari makanan yang khas", jawabku. "Kalau gitu berapa nomer HPmu, biar kusimpan dalam HPku? Andaikata aku balik sini kamu masih jalan kan bisa kususul", tanya Iswani dengan memegang HPnya. Setelah kuberitahu nomer HPku pada Iswani, aku baru teringat kalau HPku kumatikan sejak berangkat dari tempat pemberangkatan bus di Balikpapan. Kuambil HPku dari saku jaket dan beberapa detik setelah kunyalakan sebuah panggilan terdengar. "Ini nomernya Mbak?", tanyaku padanya sambil kuperlihatkan nomer yang muncul di HPku padanya. "Iya", jawabnya singkat lalu berkemas dan keluar dari kamar tanpa mengucapkan kata pamitan. Tak lama kemudian Iswani menghilang dari pandangan jendela kamarku.
Berbaring tiduran sambil nonton TV kutunggu waktu hingga pukul 10 pagi. Setelah berganti pakaian aku keluar kamar dan memulai jalan-jalan tanpa arah yang jelas. Kususuri jalan-jalan di kota Banjarmasin dibawah naungan mendung. Bermodal selembar foto kopi peta kota Banjarmasin yang kuperoleh di Balikpapan, aku takkan khawatir tak dapat kembali ke penginapan. Kunjunganku ke kota ini adalah yang ke-2 kalinya setelah kurun waktu yang cukup lama, akibatnya aku samasekali tak tahu jalan.
Tersesat adalah bagian dari rencana jalan-jalanku ini, yang penting adalah bisa kembali balik dan tak menjadi soal berapa lama waktu yang kuperlukan untuk menemukan kembali jalan yang benar. Semakin aku tersesat, semakin lama pula aku menemukan jalan yang benar meskipun sudah ada peta di tanganku, tapi itulah asyiknya rencanaku ini. Entah petanya yang salah atau aku yang keliru memilih jalan tapi yang jelas banyak jalan kecil yang kulalui tak tercantum di peta. Bila cuma mengikuti jalan besar yang ada di peta bisa kupastikan aku takkan tersesat tapi jika kulakukan hal itu berarti membuat jalan-jalanku ini tak ada tantangannya dan menjadi tak menarik.
Waktu luang yang kumiliki benar-benar kunikmati seorang diri untuk memperhatikan kesibukan kota. Pemandangan dan kesibukan orang-orang disekitar sungai yang berada di tengah kota sangat menarik perhatianku karena merupakan hal yang tidak pernah kutemui di kota-kota pulau Jawa. Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 2 siang. Perutku yang hanya terisi kopi sejak pagi terasa lapar. Kulihat sebuah restoran terapung di depan kantor gubernuran yang menghadap ke arah sungai. Keinginanku untuk mencoba makan di restoran berbentuk perahu kayu yang berukuran besar tersebut sudah tak tertahankan lagi. Kulangkahkan kakiku memasuki restoran tersebut dan dapat kurasakan ayunan seperti diatas sebuah perahu dan memang restoran itu awalnya adalah sebuah perahu kayu besar yang sudah diroMbak dalamnya. Kupilih meja yang berada di lantai atas agar dapat melihat lalu-lalang berbagai jenis kendaraan air seperti perahu dan speed boat secara lebih langsung karena lantai ini tidak memiliki jendela sehingga kelihatan terbuka. Tiap kali ada kendaraan air melewati restoran, terasa ayunan akibat dari gelombang yang menghantam lambung restoran. Hal ini benar-benar mengingatkanku pada pekerjaanku 5 tahun yang lalu di sebuah kota kecil di Propinsi Kalimantan Tengah.
Kubaca menu makanan lalu kepesan ikan bakar khas masakan Banjar yang sudah lama tak kurasakan. Tak lama kemudian pesananku tiba dan segera kulahap sampai tak tersisa sedikitpun. Selesai makan kunyalakan rokok dan kunikmati tiap kepulan asap dengan santai sambil merasakan sentuhan angin dari hawa sungai pada wajahku. Cuaca yang sudah mendung sejak siang tadi berubah makin gelap. Tiba-tiba datang angin kencang yang disertai hujan deras. Arah angin mengarah ke dalam perahu dan sebagian masuk membasahiku. Khawatir akan basah kuyup aku pindah ke lantai bawah dan memesan kopi panas sambil menunggu hujan reda. Kurasakan hujan akan lama jadi kusulut kembali sebatang rokok sambil menikmati kopi panas. Tak beberapa lama setelah menghabiskan sebatang rokok dan secangkir kopi, hujan reda. Setelah kubayar aku kembali melanjutkan perjalananku.
Lanjutan perjalananku setelah makan di restoran terapung tadi adalah kembali menuju penginapan. Kali ini aku harus benar-benar memperhatikan langkahku karena banyak genangan air di tepi jalan. Aku mencoba melewati jalan yang lain dari sewaktu aku berangkat tadi. Kusempatkan pula mampir disetiap agen perjalanan yang kulewati untuk mencari informasi harga tiket perjalanan balik ke Surabaya serta jadwalnya.
Langkah demi langkah kuayunkan menuju ke pengipanku. Bayangan Iswani muncul dalam setiap langkahku, mengundang 1001 pertanyaan yang belum pernah kupikirkan sebelumnya. Mengapa suaminya mengijinkan dia pergi seorang diri? Mengapa Iswani berani mengajakku, orang yang belum pernah dikenalnya, menginap bersama? Apakah urusannya di Banjarmasin? dan masih banyak lagi pertanyaan yang tak bisa kutebak kepastian jawabannya. Kecuali satu pertanyaan, Mengapa aku tergoda olehnya? Jawabannya karena aku seorang bujang yang belum pernah punya pacar dan sering sibuk oleh pekerjaan, jadi sebuah kesempatan di waktuku yang luang akan benar-benar kumanfaatkan untuk menikmatinya.
Tak terasa aku sudah kembali masuk ke penginapanku dan berada tepat dimuka kamarku. Kumasuki kamar kulihat tak ada tanda-tanda keberadaan Iswani dan kuanggap dia akan balik malam. Aku menyempatkan beristirahat sebentar sebelum mandi. Setelah mandi kulihat jamku menunjukkan pukul 7 malam, waktuku untuk mencari makan malam yang enak. Bergegas aku keluar dari penginapan dan mencegat sebuah kendaraan umum yang rutenya kuperkirakan akan melewati depot sate kijang di pojok perempatan Jl. MT Haryono. Dugaanku meleset, ternyata angkutan umum yang kutumpangi tidak melewati jalan yang kumaksud dan segera aku minta turun pada sopirnya. Dipinggir jalan yang agak terang kubuka foto kopi peta kota yang selalu terbawa dalam kantong jaketku. Rupanya aku salah pilih angkutan umum, aku berada jauh dari perkiraanku. Disaat aku tidak membutuhkan tantangan, secara tak terduga tantangan itu muncul.Kupikir tak ada gunanya menyesal, bila memang rejeki malam ini aku akan dapat makan sate kijang bila tidak ya cuman makan angin, tapi masih ada hari esok. Aku berjalan sambil sesekali melihat peta. Tiba-tiba HPku berdering dan ternyata Iswani. Dia menanyakan keberadaanku dan kuterangkan dimana aku sesuai dengan tanda-tanda yang ada di jalan. Setelah menutup HPku, kulanjutkan perjalananku. Beberapa menit setelah berjalan kurasakan sebuah kendaran berjalan pelan dibelakangku. Kutoleh kebelakang dan kuhentikan langkahku, lampunya yang menyilaukanku membuatku menghindar dengan menoleh ke arah lain. Tanpa kutahu maksudnya, sedan itu berhenti tepat disampingku. Dengan perasaan terkejut, kulihat orang yang ada dibelakang kemudi ternyata adalah Iswani. "Ayo cepat masuk Tok!" katanya.
Setelah menutup pintu, Iswani langsung tancap gas. Belum sempat membuka omongan, Iswani sudah memberondongku dengan omelan yang tak ada habisnya. "Kamu gila Tok, malam-malam begini kenapa jalan sendirian didaerah rawan seperti itu?".
Setelah omelannya reda kuterangkan semuanya dengan malu-malu lalu terdiam seribu bahasa sambil mendengarkan nasihatnya yang bertele-tele. Perhatianku tertuju pada cara Iswani mengendari sedan yang kutumpangi, sedangkan nasihatnya hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tak lama kemudian Iswani membuat belokan dan langsung parkir, aku yang masih bingung arah bertanya padanya. "Mbak, kita ini berhenti dimana?". "Katanya pingin makan sate kijang!", jawabnya. Dengan rasa tambah bingung kuperhatikan sekeliling jalan tempat Iswani parkir dari kaca depan mobil. Bersamaan dengan Iswani membuka pintu, aku mulai mengerti arah. "Lha bener Mbak, sate kijangnya dibalik situ!", teriakku kegirangan dan tanpa kusadari teriakanku mengagetkan Iswani. Mungkin jengkel oleh teriakanku yang mengagetkannya, Iswani mengurungkan turun dan mencubit lengan yang kupakai untuk menunjukkan letak depot sate kijang. "Aduh Mbak, aduh Mbak, sakit!", keluhku tanpa dihiraukannya. "Rasain kalau suka ngagetin orang!", katanya dengan menambah daya cubitnya. Dengan ratapan meminta belas kasihan aku berkata, "Mbak, Mbak, aduh.. kapok..".
Di meja makan depot sate kijang, aku duduk menjauh dari Iswani, khawatir terkena lagi cubitannya yang sangat menyakitkan kulitku. Aku menunggu pesananku dengan diam seribu bahasa dengan perasaan masih jengkel pada Iswani. "Kemana aja seharian? Kok diam aja Tok! Ngambek ya.. Seperti anak kecil saja", goda Iswani padaku dengan tersenyum. Berpura-pura pulih dari rasa jengkel, kubuka suatu bahan pembicaraan, "Eh, Mbak.. mm.. tadi di penginapan ada cowok yang menanyakan Mbak, katanya pingin sekali kenalan sama Mbak", gurauku dengan nada serius yang sangat meyakinkan. "Ah, kamu ada-ada saja!", balasnya agak tak percaya dengan muka tersipu. "Bener Mbak, kalau nggak percaya ya nggak apa-apa, nanti kubilang saja kalau Mbak sudah punya suami, beres kan", jawabku santai. "Eh.. Jangan bilang seperti itu dong, cakep nggak orangnya Tok?", tanyanya penasaran. "Masih muda, wajahnya mirip bintang TV", jawabku santai. "Aku pernah lihat tampangnya, apa nggak Tok?", tanyanya semakin pingin tahu. "Rasanya pernah, coba deh Mbak ingat-ingat..", jawabku terpotong oleh datangnya pesananku. Sambil mengerutkan dahi mencoba mengingat-ingat, Iswani kembali bertanya, "Terus tadi kamu ngomong apa saja pada dia?". Aku mulai mengaduk bumbu sate sambil berkata, "Aku cuma cerita sedikit kalau Mbak adalah kakakku dan lagi ke Banjar Baru". "Terus..", kejarnya. "Terus aku mau makan dulu soalnya sudah lapar banget", jawabku santai sambil memasukkan sesuap nasi ke mulut. "Uhh..", keluhnya tak sabar.
Dalam hitungan menit aku telah menghabiskan sepiring nasi dan 15 tusuk sate kijang sementara Iswani hanya makan sedikit. Kebiasaanku merokok sehabis makan sulit kuhilangkan, kali inipun demikian. Pada hisapan ke-4 Iswani kembali teringat pada cowok yang kuceritakan. "Siapa sih Tok cowok yang kamu ceritakan tadi?", tanya Iswani. "Itu lho Mbak, Si Sin Chan, bintang acara kartun yang sering muncul di TV", jawabku tanpa rasa bersalah sambil tertawa. Wajah Iswani kembali bersungut dan sudah bersiap mencubitku lagi. "Mbak, Mbak, sudah Mbak, nggak usah pakai nyubit, yang tadi saja masih sakit", bujukku sambil menahan tangannya yang sudah bersiap-siap. "Awas ya!", ancamnya.
Mencoba mengalihkan kemarahannya, aku membuka beberapa pertanyaan yang ada dibenakku tapi tak satupun dijawabnya. "Ngambek ya.. Seperti anak kecil saja", godaku menirukan kalimatnya tadi. Dengan agak tersipu, Iswani berkata, "Oh ceritanya ini tadi membalas ya".Tanpa meladeninya lagi aku langsung berdiri dan menuju ke meja kasir, membayar bon makanan. "Coba lihat bonnya Tok!", pinta Iswani padaku. Setelah melihatnya dia melakukan tanya-jawab dalam logat dan bahasa Banjar pada penjual sate tersebut. Setelah keluar dari depot itu aku mengomentari tanya-jawab yang dia lakukan dengan penjual sate tadi. Dengan keheranan Iswani bertanya, "Darimana kamu bisa bahasa Banjar?". Kujelaskan padanya kalau aku hanya ngerti bahasanya tapi logatnya susah kutiru karena pernah kerja agak lama di Kalimantan Tengah. "Coba Tok kamu bicara bahasa Banjar, aku ingin dengar", kata Iswani.Baru 5 kata dan belum selesai kalimatku dalam bahasa Banjar, Iswani sudah terpingkal-pingkal. Dengan muka masam aku berjalan cepat meninggalkannya, ke arah mobilnya diparkir.
Didalam mobil yang berjalan kearah penginapan, aku tanyakan perihal Toyota Starlet yang dikendarainya. Iswani menerangkan kalau ini mobilnya yang ia titipkan di rumah ibunya di Banjar Baru karena belum sempat membawanya ke Balikpapan. Jalanan kota Banjarmasin sudah sepi padahal waktu masih belum menunjukkan pukul 22. Sesampai di penginapan aku langsung turun dan cepat-cepat menuju kamar untuk segera buang air kecil di kamar mandi. Iswani tampak tertawa melihatku keluar dari kamar mandi. "Untung, kemarin naik bus Balikpapan-Banjarmasin bukan Mbak yang nyetir, kalau Mbak yang nyetir pasti tak hanya sandal yang berserakan tapi penumpangnya juga ikut", ejekku padanya. Iswani hanya melempar senyum tanpa sedikitpun berkomentar lalu masuk ke kamar mandi.
Iswani keluar dari kamar mandi dengan hanya dibalut selembar handuk sebatas dada hingga paha. Seusai melipat pakaiannya dan mengambil body lotion dari dalam tasnya ia memintaku untuk memijatnya karena kecapekan. Dengan serta merta aku meloncat ke ranjangku, menarik selimut hingga ke kepala dan pura-pura tidur. Tapi usahaku menghindar jadi tukang pijat sangat terlambat dan tampak terlalu menyolok. "Ayo, nggak usah pura-pura tidur, atau kepingin kucubit lagi?", ancam Iswani. Mendengar kata "cubit", aku langsung terduduk dan mencari alasan, "Mbak, seharian aku jalan kaki, aku sendiri sudah capek sekali". "Jangan banyak bicara, ayo!", perintah Iswani. Berlagak malas kuterima perintahnya dengan ditandai dengan kuterimanya body lotion yang diulurkan padaku. "Tok, lepasin dulu celanamu!", perintah Iswani berikutnya sambil menelungkupkan tubuh di ranjangnya.
Hanya dengan celana dalam dan kaos oblong, aku mulai memijat kakinya yang indah. Kupijat dulu kedua telapak, tumit dan pergelangan kakinya bergantian. Dengan tenaga yang kuat aku pijat bagian belakang kaki kanannya hingga paha bawah lalu berganti kekaki kiri. Kemudian kutumpahak body lotion secukupnya pada kaki kiri dan meng-urutnya. Aku urut dari bawah hingga ke atas, sampai menerobos pangkal paha yang ada dibalik handuknya. Kaki kanan juga tak ketinggalan. Setiap kali kedua tanganku sampai pada pangkal paha Iswani mendesah, "Mmh, enak Tok!".
Gerakan kedua tanganku yang terbatas oleh balutan handuk bila mencapai pangkal paha dapat dirasakan oleh Iswani, tanpa kuperintah Iswani langsung melepas handuknya hingga telanjang bulat. Seusai bagian lutut kebawah aku pijat, aku pindah ke bagian paha hingga pantat. Tiap kali melewati selakangan, tanganku sengaja kugeserkan dengan daerah kemaluannya meskipun tak menyolok. Pantatnya kuberi pijatan yang menyerupai remasan dan kuurut sampai ke pinggul. Semakin ke arah punngung, posisi duduk yang ada disebelah Iswani agak menyulitkanku. Kuputuskan untuk menindih tubuh belakangnya dengan duduk dipantatnya. Setelah memberi pijatan bertenaga pada bagian pundak hingga punggung, aku tumpahkan lagi body lotion di punggungya lalu kuusap rata. "Tok lepasin pakaianmu biar nggak kena lotion", perintahnya. Sewaktu kulepas pakaian dan celana dalamku, batang kemaluanku sudah dalam keadaan tegang berdiri. Kembali aku duduk diatas pantatnya dan batang kemaluanku merasakan kenyamanan bergeser dengan belahan pantatnya. Sementara tanganku terus memijat tengkuk, pundak dan punggungnya, geseran belahan pantat dengan batang kemaluanku dan pahanya dengan pahaku terus terjadi. "Mmh.. Ssh.. Ssh", desah Iswani.
Merasa cukup, Iswani memintaku untuk memijat lebih kebawah. Kuturuti saja kemauannya dan mengalihakan pijatan lebih banyak ke pinggul hingga paha. Terhenti pulalah gesekan nikmat pada batang kemaluanku tapi aku tak kehabisan akal, kujepitkan batang kemaluanku diatara kedua pahanya yang kutindih dan kukunci diantara kedua pahaku. Batang kemaluanku yang sudah licin terkena lotion dapat bergerak mudah maju-mundur mengikuti arah pijatanku pada pinggul hingga ke paha. Gerak maju yang kulakukan menyebabkan batang kemaluanku yang sudah tegang luar biasa bergesek dengan daerah kemaluannya yang makin lama makin basah. Diikuti oleh desahan Iswani yang makin menjadi membuat semangatku bagai terpompa. Tak lama kemudian Iswani sedikit menaikkan pantat dan tubuhnya bertumpu pada kedua lututnya sambil menoleh padaku dengan pandangan mata berbinar dan bibir yang terbuka. Kutatap pula matanya sambil kuarahkan batang kemaluanku pada liang kenikmatannya.
Keluar desahan panjang dari mulut Iswani sambil memejamkan mata. Pelan tapi pasti batang kemaluanku masuk seluruhnya kedalam liang kenikmatan milik Iswani. Kemudian kutarik pelan dan kudorong masuk kembali, semakin lama semakin cepat, lalu kupelankan kembali untuk mengatur nafas. Sewaktu kuistirahatkan gerakanku, Iswani mengisinya dengan memaju mundurkan pinggulnya. Meredam gerakannya yang dapat mempercepat klimaksku, kutindih punggungnya dengan dadaku. Kumasukkan tanganku kedadanya dan kuremas-remas kedua payudaranya. Kucumbu tengkuk dan punggungnya sambil kubuat lagi gerakkan maju-mundur yang makin lama makin cepat. Dan, "Ahh..aku keluar Tok", desah Iswani menggelinjang.Berusaha menancapkan batang kemaluanku lebih dalam lagi ke liang kenikmatannya akupun tak kuasa menahan klimaksku. Denyut otot-otot vaginanya seakan meremas-remas batang kemaluanku. Dalam keadaan tubuh Iswani yang terkulai lemas, aku mencabut batang kemaluanku yang berangsur-angsur lemas.
Kubalikkan tubuh Iswani lalu kulanjutkan pijatanku kembali ke bagian kaki. Kulihat mata Iswani masih terpejam dengan nafas yang masih berat. Kupijat kedua pahanya yang terlentang dengan posisi dudukku diantara keduanya. Kaki kanan yang kupijat dulu kuletakkan diatas pundak. Dengan kedua tangan berlotion kuurut paha kanannya keatas kebawah hingga pangkal paha. Setelah kuletakkan kembali kaki kanannya kuberi perlakuan yang sama pada kaki kirinya. Sayup-sayup mata Iswani terbuka dan tersenyum padaku. Seusai kedua paha kupijat kudekatkan dudukku pada selakangannya.
Dengan duduk kutempatkan kedua pahanya diatas kedua pahaku, hingga batang kemaluanku yang kembali terbangun menempel dan bergeser daerah kemaluannya. Bersamaan dengan itu kulihat kedua payudara Iswani menegang. Dengan pelan kupijat bagian perut dan naik ke arah payudaranya. Sesekali kumainkan puting susunya dengan jari-jariku. Rangsangan yang kuberikan pada tubuh Iswani makin membuat birahinya menggelora kembali. Bertumpu pada kedua kakinya yang terlentang ia membuat gerakan naik turun pinggulnya. Karena pantatnya berada diatas pangkuanku maka dia dapat menggesek-gesekan dearah kemaluannya pada perutku. Kudukung ia dengan pegangan kedua tanganku dikedua pinggulnya.
Tiba-tiba ia terduduk dan memegang batang kemaluanku dengan senyum yang menggoda. Makin lama ia merapat kearahku dan menduduki kedua pahakuku, menjepit batang kemaluanku dan mencumbu bibirku dengan hebat. Kedua payudaranya menempel erat dengan dadaku. Kedua tangannya memegang kepalaku dan kedua tanganku memegang pantatnya. Seakan tak ada habisnya kejutan-kejutan yang dilakukannya, tiba-tiba ia melepas cumbuannya, mundur keatas sedikit, mengarahkan penisku ke vaginanya kemudian kembali duduk, membenamkan seluruh bagian penisku kedalam liang kenikmatannya. Kembali ia mencumbu bibirku dan bergerak keatas kebawah diatas pangkuanku yang sedang terduduk. Karena lelah ia melepaskan cumbuannya dan bertumpu pada kedua tangannya yang diarahkannya belakang sambil terus membuat gerakan keatas kebawah. Tak lama kemudian ia kembali merapat memelukku erat dan berbisik mendesah pada telinga kiriku, "Tok, aku mau keluar". Kutolehkan mukaku kearah bisikannya tapi mukanya telah kembali lurus dengan mata terpejam. Kudapati telinga kirinya dan kujadikan sasaran kuluman bibirku. "Tok.., oh Tok, Ah..", desahnya menghentikan gerakannya. Pelukannya yang makin erat seiring dengan tegangnya otot-ototnya diikuti gelinjang tubuhnya.
Dalam keadaan lemas kubaringkan ia tapi batang kemaluanku masih belum tercabut. Kedua kakinya yang terlentang kurapatkan dengan jepitan dari kedua kakiku yang telah kubuat terlentang sebelumnya. Bersamaan dengan itu kurasakan jepitan yang makin erat liang vaginanya pada batang kemaluanku. Kubuat gerak menindih naik turun yang makin lama makin cepat sambil kuhisap leher kirinya membuatnya terbelalak dan menyambut irama permainanku. Sesekali kucumbu bibirnya dan kumainkan lidahnya dengan lidahku. Tak ketinggalan hisapan dan kuluman yang campur aduk tak terpisahkan. Akhirnya aku sampai pada puncakku dan meledaklah moncong meriamku mengeluarkan isinya. Denyutan demi denyutan melewati batang kemaluanku menghantarkan aliran cairan hangat kedalam liang kenikmatan Iswani. Ia rupanya tak mau kalah dan ingin mencapai klimaksnya sekali lagi. Dipeluknya dengan erat tubuhku hingga tak dapat kugerakkan, lalu ia gerakkan tubuhnya selama beberapa saat hingga diperolehlah apa yang dimauinya.
Setelah kembali lemas aku menarik tubuhku dan turun dari ranjangnya. Kemudian mandi dengan air hangat. Setelah mandi kulihat Iswani telah tertidur pulas telanjang bulat. Merasa kasihan kalau dia masuk angin oleh hawa dingin AC, kuselimuti tubuhnya dengan selimut yang ada diranjangnya. Setelah itu aku naik ranjangku sendiri dan tidur.
Bagai tersambar petir atas reaksinya aku terdiam agak lama, beruntunglah kopiku segera tiba dan kusibukkan diriku dengan kopi panas sambil menghisap rokok. Sementara itu Iswani memesan teh panas dan menuju wastafel lalu membersihkan muka, menyisir rambut dan bersolek dengan santai. Setelah tehnya datang ia kembali ke mejaku dengan wajah lebih segar dan tampak cantik.
Memandang wajah dan tubuhnya yang seksi, terbitlah lamunanku bermesraan dengannya. Bibirnya yang mungil menempel pada bibirku, saling bercumbu dan saling menghisap. Tanganku mengusap payudaranya yang menegang, jari jemariku merasakan puntingnya yang makin mengeras. Tak kuasa menahan godaan dari dadanya kulepaskan cumbuanku dan kuarahkan pada kedua payudaranya. Desahannya makin menjadi, tangannya mendorong kepalaku kearah lebih bawah lagi. Pelan tapi pasti, hisapan bibirku akhirnya sampai pada daerah kemaluannya. Bulu-bulu kemaluannya yang rimbun tak mampu menahan juluran lidahku menembus bibir vaginanya. Hisapan dan juluran lidahku yang bergantian menghasilkan pola rangsangan yang tak terbatas nikmatnya pada tubuh Iswani. Erangan dan desahannya bagaikan alunan nada yang membuatku semakin liar. Kedua kakinya semakin membuka, lidahku masuk semakin dalam, tarikan tangannya pada kepalaku semakin kuat untuk menahan bibir dan lidahku agar tak lepas dari lubang kenikmatannya.
Gelinjang di tubuh Iswani makin menjadi dan teriakan keras, "Oh..", dan.. tenggelamlah lamunanku yang baru terbit oleh tendangan kaki Iswani pada kakiku. "Ada apa sih Mbak pakai nendang-nendang segala?", tanyaku jengkel. "Diajak omong malah ngelamun. Setelah ini kamu kemana, Tok?", tanya Iswani sambil minum tehnya. "Cari penginapan di daerah Cempaka, Mbak!", jawabku kalem. "Mampir ke Pasar Antasari dan Pasar Baru dulu, ya!", ajaknya. Dengan mengangguk aku menghela napas panjang, dalam hati aku mengeluhkan ajakannya. Tapi rupanya Iswani dapat membaca raut mukaku. "Kalau nggak mau, nggak apa-apa kok!", katanya dengan nada tinggi lagi. "Mau, mau Mbak, gitu aja sewot!", godaku sambil tersenyum.
Keluar dari warung, kami berjalan menuju ke pangkalan angkutan umum. Kali ini aku berjalan dibelakang Iswani dan sering ketinggalan darinya karena selain membawa tasku sendiri aku juga membawa tasnya yang ternyata lebih berat dari dugaanku. "Ayo cepat, jalanmu kok loyo sih!", ujar Iswani. Aku cuma bisa mengumpat dalam hati tanpa mengucapkan sepatah katapun karena tangannya segera meraih pergelangan tangan kiriku dan menariknya masuk ke angkutan umum.
Setelah sampai didepan Pasar Antasari kami turun dari angkutan umum. Kuikuti saja langkah Iswani tanpa menghiraukan apa yang dibelinya. Satu jam berputar-putar didalam pasar membuat bajuku terasa basah kuyup karena keringatku. "Yuk ke Pasar Baru, jalan kaki saja ya, dekat kok!", kata Iswani padaku. Sambil melongo aku geleng-gelengkan kepala tak percaya pada pendengaranku, "Aduh Mbak, capek nih, apa Mbak belum pernah dimaki-maki orang bisu ya?", umpatku padanya. Beruntung pasar lagi ramai sehingga dia tak seberapa mendengarkan umpatanku.Berjalan menyisir jalanan kota Banjarmasin yang panas dan padat, kuikuti langkah Iswani menuju Pasar Baru. Lewat jembatan yang menyeberangi sungai besar kuhentikan langkahku karena kurasakan kesegaran angin sungai. Belum puas merasakan udara sungai, Iswani memanggilku, "Ayo Tok, cepatlah!". "Sabar dong Mbak, lagi cari angin nih!", jawabku sambil berjalan kearahnya. Sesampainya di Pasar Baru Iswani melanjutkan belanjanya. Keletihanku tertutupi oleh wajah-wajah cewek yang lalu lalang disekitarku. Tanpa kusadari ternyata caraku menatap cewek-cewek tersebut diperhatikan oleh Iswani. Cubitannya di tanganku membuatku terhenyak kaget, "Aduh, ada apa sih Mbak?". "Ayo cari makan.", jawabnya santai.
Setelah duduk di meja makan sebuah restoran seberang pasar, kuletakkan kedua tas dibawah meja, lalu kuusap-usap bekas cubitan Iswani di pergelangan tangan kiriku. "Kenapa Tok? Panas ya?", tanya Iswani padaku sambil tertawa. "Mbak keterlaluan! Ngajak makan saja pakai nyubit", gerutuku tanpa didengarkannya karena sibuk memesan makanan. Selesai makan Iswani mengajakku naik angkutan umum lagi untuk mencari penginapan. Sesampai didaerah Cempaka, kami turun. "Mana Tok penginapannya?", tanya Iswani. "Masuk kejalan sebelah sana Mbak, angkutannya nggak lewat jalan itu", jawabku. "Jauh nggak? Aku udah capek dan ngantuk nih!", kata Iswani. "Aku sudah sejak tadi capek dan ngantuk!", balasku. "Aku nggak tanya!", jawab Iswani dengan ketus lalu mempercepat jalannya. Belum sempat membalas ucapannya terakhir, aku tergopoh-gopoh berusaha menyusulnya.
Sesampai di penginapan Iswani langsung menuju penerimaan tamu dan memesan sebuah kamar. Petugas penginapan yang agak curiga bertanya pada Iswani tentang aku. Dengan nada yang meyakinkan dikatakannya bahwa aku adalah adiknya. Dengan napas yang masih terengah-engah karena berjalan cepat dengan beban berat, aku mengannguk saja apa yang ia yakinkan pada pegawai penerima tamu. Akhirnya bualan Iswani menghasilkan sebuah kamar dengan 2 tempat tidur yang terpisah.
Bergegas masuk kamar lalu kuletakkan 2 tas yang membaniku, kemudian kulepas jaket, sepatu, celan jeans dan bajuku yang masih basah kuyup oleh keringatku. Dengan hanya ber-celana dalam kubaringkan badanku terlentang diatas ranjang menikmati sejuknya AC kamar. Di pojok ranjang yang satunya, Iswani duduk menatap bagian depan celana dalamku yang menonjol."Lihat apa Mbak?", tanyaku mengagetkannya. Menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah yang agak merah dia berdiri dan masuk ke kamar mandi. Rupanya Iswani mandi dengan singkat lalu keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang menutupi payudara sampai ke bagian paha. Tercengang oleh pemandangan tersebut, aku langsung tengkurap tak berani menatapnya. Kupikir dengan tengkurap tonjolan di celana dalamku dapat tertutupi sekaligus mengurangi daya tonjolnya karena melihat tubuh wanita molek lagi mulus walau berumur 35 tahunan. "Kenapa Tok?", tanya Iswani menggoda sambil mengaduk-aduk isi tasnya. "Mbak, isi tasnya apa aja sih kok rasanya berat sangat", tanyaku berusaha mengalihkan pikiranku dari tubuhnya. "Pingin tahu aja!", jawab Iswani sambil tersenyum. "Bukannya gitu Mbak, tapi tasnya Mbak bikin leherku pegal", kataku berkilah.
Tanpa menjawab lagi Iswani beranjak kearahku dan tanpa kusadari kedua tangannya sudah ada dipundakku. Tentu saja aku kaget karena tak mengira kalau dia sudah ada diatas punggungku. Belum habis rasa kagetku, cengkeraman kedua tangannya memijat pundakku tepat didaerah yang pegal hingga aku mengaduh. "Aduh, Mbak! pelan-pelan..". Tanpa mendengarkan kata-kata dia tetap memijat tengkuk hingga punggungku. Otot-ototku didaerah tengkuk hingga punggung mulai melemas dan berangsur-angsur berkurang rasa sakit dari pijatannya. Pegal-pegal yang kurasakan mulai berkurang. Pijatannya bergerak kebawah ke arah pantat. Kedua pahaku bagian belakang diapit oleh pahanya.
Sensasi pergesekan kulitku dengannya bagai mencapai ubun-ubun. Bersamaan dengan itu ketegangan batang kemaluanku makin bertambah hingga bak dongkrak mengangkat pantatku. Pijatan Iswani mencapai titik-tik sensitifku, selakangan hingga paha bagian dalam. Jari jemarinya berusaha masuk kedalam celana dalamku untuk menyentuh langsung dan mencekeram otot-otot pantatku. Tak lama kemudian rupanya kesabaran Iswani habis, tanpa isyarat ia menarik celana dalamku hingga lepas sementara aku masih tengkurap keenakan. Beruntung senjataku masih tegang dan menekuk kearah perutku sehingga masih tak dapat langsung diraihnya. Tapi kedua bola kemaluanku benar-benar terbuka dan langsung menjadi sasaran jari-jemarinya yang lentik. Usapan-usapanya pada kantong bola kemaluanku hingga pangkal paha membuatku tak tahan. Jari jemarinya terus bergerilya dan akhirnya mendapatkan yang dimauinya.
Tanpa melawan kubalikkan badanku. Batang kemaluanku yang telah berdiri tegak menjadi bulan-bulanan cengkeraman kedua tangannya. Walau begitu pertahananku belum sepenuhnya hancur. Tanpa mengenal rasa lelah digosok-gosokkan kedua telapak tangannya pada batang kemaluanku, keatas-kebawah. Cairan semenku bagai pelicin yang mempercepat gerakan tangannya. Batas nafsu Iswani ternyata juga telah mencapai titik kritis. Dilepaskannya handuk yang membungkus tubuhnya. Terlihat kedua payudaranya yang berukuran cukupan itu tampak tegang dengan ujung yang sedikit mendongkak. Dengan hati-hati ia memegang batang kemaluanku untuk dimasukkan pada liang kenikmatannya. Usaha awalnya belum cukup memasukkan seluruh batangku. Kurasakan jepitan batangku oleh liang kenikmatannya yang belum licin benar. Ditariklah badannya sedikit keatas, sambil melempangkan kedua kakinya, ia menghujamkan kembali badannya hingga seluruh kemaluanku terbenam dalam kemaluannya yang diikuti oleh erangannya, Iswani kemudian membungkukkan badannya hingga kedua bibir kami dapat saling bercumbu. Kedua payudaranya menempel diatas dadaku.
Kedua tanganku mulai bergerak mengusap punggung hingga mencekeram kedua pantatnya yang bahenol. Sementara kedua lidah kami bertautan yang dibarengi dengan saling hisap, Iswani mulai menggerak-gerakkan pinggulnya. Kurasakan cairan pelicin alaminya mulai membasahi seluruh batang kemaluanku. Makin lama gerakan pinggulnya makin menjadi hingga terlepaslah cumbuannya. Dengan bibir yang masih membuka Iswani mengeluarkan desahan-desahan kecil seiring dengan gerakan pinggulnya. Kecepatan naik turun pinggulnya makin lama makin cepat. Ketika sampai puncaknya, gerak tubuh Iswani terhenti, semua ototnya menegang, tangannya mencekeram erat pundakku, gelinjang tubuhnya mulai kurasakan, liang kenikmatannya bagai meremas batang kemaluanku, cairan hangat dalam kemaluannya mulai terasa. Tak kuasa menahan sensasi kenikmatan yang diberikan Iswani padaku, akhirnya burungku ikut memuntahkan isinya dalam lubang kenikmatannya. Tubuh Iswani kini melemas dan lunglai diatas tubuhku, meski begitu denyutan dinding liang kemaluannya masih kurasakan hingga batang kemaluanku selesai melepaskan sisa-sisa isinya. Tanpa ada usaha melepaskan burungku dari lubang vaginanya akhirnya burungku yang sudah sangat lemas lepas dengan sendirinya.
Sambil terpejam, Iswani yang masih lunglai diatas tubuhku berkata, "Tok, aku tidur disini aja ya..". Tanpa menjawab kata-katanya akupun terlelap dalam pelukan Iswani. Satu jam lebih kami tidur dalam keadaan yang tak berubah. Panggilan alam membangukanku, kugeser tubuh Iswani kesampingku lalu kulepaskan genggaman tangannya pada tubuhku. Dalam keadaan bugil aku langsung bergegas masuk kedalam kamar mandi tanpa menutup pintunya. Setelah buang air kecil, kusiramkan air hangat dari shower ke seluruh tubuhku. Membayangkan dengan mata terpejam dibawah siraman air hangat akan kejadian yang baru saja kualami, rasanya tak dapat kupercaya. "Sini Tok, kumandiin", kupandang suara Iswani tersebut sangat mengagetkanku hingga hampir-hampir membuatku terpeleset. "Aduh, Mbak ngagetin aja!", kataku jengkel.Dengan tubuh yang juga masih bugil ia mengambil sabun dan menggosokkan ketubuh bagian depanku. "Mbak, Mbak, nggak usah, saya bisa mandi sendiri", kataku. Tanpa menghiraukan kata-kataku, ia menyabuni pangkal paha serta batang kemaluanku. Sebelum terjadi hal-hal yang kuinginkan tanganku bereaksi dengan meremas-remas payudaranya. Kepalanya menengadah kearahku dan berkata, "Jangan Tok, aku masih capek..". Tanpa menghiraukan kata-katanya, bibirku sudah melumat bibirnya. Setelah melepas bibirnya, kuraih sabun ditangannya tanpa perlawanan dan ganti kusabuni payudaranya, pinggulnya, serta daerah kemaluannya. Sabun kuletakkan kembali pada tempatnya, kuusap seluruh tubuhnya dengan tanganku dibawah guyuran air hangat dari shower, lalu kumatikan showernya setelah tubuh Iswani bersih dari sabun.
Berhadap-hadapan, kuciumi tubuhnya mulai dari leher, dada, perut dan berhenti di daerah kemaluannya. Dengan pasrah kedua tangan Iswani memegang pipa ledeng diatasnya untuk menjaga tubuhnya agar tak terpelset. Kujongkokkan tubuhku hingga tepat dibawah daerah kemaluannya. Kujilati pangkal paha kirinya lalu bergerak ke paha kanan, bolak-balik, dan agak berlama-lama ditengahnya. "Antok.. Oh.. oh..", desahnya membuat perhatianku memusat pada vaginanya. Kedua tanganku membuka bibir vaginanya dan kemasukkan lidahku sedalam-dalamnya. Ketika lidahku merasa lelah bibirku ganti bereaksi dengan menghasilkan hisapan-hisapan sensual. "Mmh.. shh.. oh..", desahan Iswani makin menjadi-jadi. Lidahku terus bergerak dan mulai bermain-main dengan klistorisnya. "Ahh..!", erang Iswani.
Bibirku tak mau kalah, hisapan kecil pada klistorisnya membuatnya tergelinjang hingga hampir terpeleset. Tanganku yang sedari tadi mengusap-usap pantat dan pahanya mulai kualihkan perannya. Jari telunjuk tangan kanan mulai memasuki liang kenikmatannya dengan hati-hati. Tangan kanan Iswani melepas pegangannya dari pipa ledeng dan menarik kepalaku untuk masuk lebih dalam keliangnya. Akhirnya tubuhnya bergelinjang hebat, menegang dan kurasakan keluarnya cairan hangat dari dalam liang kenikmatannya di jari telunjukku. "Aduh Tok, lemas nih", nadanya memelas. Kubantu ia berjalan keluar kamar mandi menuju ranjangnya. Setelah kududukkan, aku mengambil handuk dan mebersihkan sisa-sisa air di bagian depan tubuhnya. Lalu kuminta ia tengkurap untuk membersihkan bagian belakang tubuhnya.
Sewaktu mengusap bagian pangkal paha dengan handuk, kulihat tubuh Iswani mulai menikmatinya. Usapan handuk kuganti dengan usapan permukaan tanganku. Tanpa berpikir lagi, kuciumi bagian belakang tubuhnya untuk merangsangnya kembali karena burungku sudah tak sabar lagi. Entah berpura-pura atau tidak, Iswani masih tetap memejamkan matanya. Tapi ketika ciumanku sampai pada tengkuk leher sebelah kirinya, ia mengerang lemah. Bersamaan dengan itu batang kemaluanku yang telah berdiri tegak kutempatkan saling bergesaran dengan bibir vaginanya.
Kurasakan kehangatan pada burungku di dalam kamar yang sejuk oleh AC. Sensasi gesekan antar kulit merangsang keluarnya zat pelicin alami dari liang kemaluan Iswani. "Jangan main-main Tok!", kata Iswani yang sedikit mengejutkanku dan banyak membingungkanku akan maksudnya. Bersamaan dengan keluarnya kata-kata tersebut Iswani mulai mengangkat sedikit tubuhnya dan bertumpu pada sepasang siku dan lututnya. Setelah kulihat lubang kemaluannya terbuka lebih lebar baru aku mengerti maksud kata-katanya. Langsung saja tanpa basa basi kumasukkan batang kemaluanku kedalam vaginanya lewat belakang. Dorongan pertama telah cukup membenamkan seluruh batang kemaluanku. "Ahh..shh..", desah Iswani. Kupegang kedua pinggul Iswani lalu kubuat gerakan maju mundur yang semakin lama semakin cepat. Tak beberapa lama tangan kanan Iswani mengarah kebelakang dan menarik pinggulku agar berhenti pada doronganku yang terdalam. "Ah..!", ia menggelinjang tanda telah sampainya puncak kenikmatannya tapi aku masih dapat menahan puncakku.
Kulepas pegangan tanganku pada pinggulnya lalu bergerilya mengusap perut dan payudaranya. Kucoba kembali merangsanya dengan menumpangi bagian belakang punggungnya dengan dadaku. Kucium kembali tengkuknya dan kuhisap leher kirinya. Batang kemaluanku yang basah oleh cairan kehangatan Iswani mulai merasakan kembali gesekan-gesekan dengan dinding kemaluannya. Kali ini Iswani berinisiatif untuk menggerak-gerakkan pantatnya maju dan mundur. Kusambut pula dengan gerakan yang mendukung gerakannya. Dekapanku makin erat ketika mendekati klimaks. Dengan napas berat kuucap bisikan lirih ditelinga kirinya "Mbak, aku mau keluar..". Tanpa bisa kutahan lagi, penisku mengeluarkan seluruh isinya. Dalam keadaan otot-ototku yang masih menegang kurasakan tubuh Iswani ikut bergelinjang. Kemudian kucabut batang kemaluanku dari liang kenikmatannya setelah menunggu beberapa saat. Setelah terbaring terlentang di samping Iswani yang tertelungkup, aku menghela napas panjang berulang kali.
Bangun dari pembaringan, aku bergegas ke kamar mandi. Kali ini aku tak lupa menutup pintunya. Setelah mandi dan berpakaian aku merasa segar untuk kembali ke ranjangku dan tidur dengan nyenyak.
Rasa lapar membangunkanku, kulihat Iswani menonton TV dengan memakai daster. "Mbak jam berapa ini?", tanyaku padanya. "Sudah jam 9 malam", jawabnya. "Yuk cari makan malam!", ajakku padanya. "Buka saja bungkusan itu, tadi sudah kubelikan, makan aja sendiri, aku sudah", kata Iswani. "Tumben, Mbak kok baik banget, makasih ya", kataku memujinya sambil membuka bungkusan makanan yang berisi nasi sambal dan ayam goreng. Karena sangat lapar maka aku makan dengan lahap dan cepat bak orang rakus. Setelah habis baru kurasakan pedasnya menempel di bibir tak mau segera hilang. "Ssh huah, kok pedes banget sih Mbak, sambel apa itu tadi?", tanyaku penasaran. "Cuma sambel biasa, masa pedas sih, tadi aku tambahin semua sambalku ke bungkusanmu, kukira kamu suka pedas", jawab Iswani sambil tertawa. Kucoba gosok gigi dan mendekatkan bibirku dengan lubang keluarnya angin dari AC untuk segera menghilangkan rasa pedas dibibirku juga tak berhasil. Iswani yang melihat tingkah polahku semakin tertawa. Karena jengkel aku keluar kamar dan merokok diluar, pasrah dengan keadaan bibirku yang masih kepanasan.
Satu jam mengangin-anginkan bibir di teras kamar, aku merasa lebih baik. Kembali ke kamar kulihat Iswani masih rebahan di ranjangnya melihat acara TV. Melihat botol aqua yang masih ada isinya diatas meja kamar, aku jadi teringat vitamin C yang ada di tasku. Kuambil sebutir vitamin C dari dalam tas lalu kuambil gelas dan kumasukkan vitamin tersebut kedalamnya setelah kutuangkan aqua. "Kamu minum apa Tok?", tanya Iswani ingin tahu. "Vitamin C Mbak, mau?", tanyaku kembali sambil menenggak habis vitamin C-ku. Iswani hanya menggelengkan kepala tanda tak berminat. Tergoda oleh panggilan kasurku yang kosong, aku segera merebahkan diri keatasnya dan kutarik selimutku. "Keterlaluan kamu Tok, baru bangun sudah mau tidur lagi!", komentar Iswani. "Habis mau apa lagi Mbak jam segini, jalan-jalan juga sudah sepi, toko-toko sudah tutup, pasar juga belum buka", jawabku santai. "Ya ngobrol ini itu kan bisa!", jawab Iswani serius. "Mbak, ngobrol itu makanan apa? bahannya dari apa?", tanyaku bercanda. Bukannya menjawab Iswani malah melompat ke ranjangku yang hanya berjarak setengah meter dari ranjangnya dan tepat berada sisi kiriku. Iswani memasukkan tubuhnya kedalam selimutku dan meremas batang kemaluanku dengan tangan kirinya. "Mau tahu ngobrol? Eh gemas aku sama kamu, diajak ngomong serius malah bercanda". "Aduh, Mbak jangan diremas nanti bisa putus", cegahku.
Kedua kaki Iswani mengapit kaki kiriku dan wajahnya tepat dimuka wajahku hingga bibirnya berada hanya bebera sentimeter dari bibirku. Pandangan matanya menembus tatapanku menggugah gairahku. Hembusan nafas beratnya sangat terasa oleh bibirku. Tangan kananku yang bebas meremas payudaranya yang masih tersimpan dalam daster tanpa memakai BH. Serangan balasanku dibalasnya dengan memasukkan tangannya kedalam celanaku dan menggegam erat batang kemaluanku. Bibirnya mencumbui bibirku dibarengi dengan hisapan dan permainan lidah. Iswani juga menggeser-geserkan daerah kemaluannya pada paha kiriku. Tanganku melepas cengkeraman pada payudaranya lalu melepas kedua kancing depan dasternya hingga terbukalah kedua payudaranya. Kupindahkan cumbuanku dari bibir ke leher dan akhirnya ke payudaranya. Kukulum kedua punting susunya bergantian. "Oh.. Tok, ayo lepas pakaianmu", desah Iswani.
Dalam sekejap tubuhku kubuat bugil, Iswanipun demikian meski masih berlindung terlentang dalam selimutku. Akupun kembali masuk kedalam selimut. Dan dalam kegelapan selimut, kucumbui seluruh tubuhnya hingga terhenti didaerah kemaluannya yang sudah agak basah. Hisapan dan jilatan lidahku menghujani seluruh bagian kemaluannya. Terobosan lidahku masuk ke liang kenikmatannya. "Mmh.. ah.. ssh..", terdengar suara Iswani pelan. Disingkapnya selimut yang menutupiku dan ditarik-tariknya kepalaku kearah lobang kenikmatannya yang terdalam."Tok,..", desah Iswani dengan otot-otot paha menegang lalu tubuhnya menggelinjang dan akhirnya terlentang lemas.
Dengan posisi agak duduk bertumpu dengan kedua lutut, kugenggam kedua pergelangan kaki Iswani keatas lalu kuletakkan diatas pundakku sampai pantatnya agak terangkat. Dengan posisi kaki Iswani pada pundak kumasukkan batang kemaluanku yang berdiri tegang kedalam lobang kemaluannya. Dengan mudah batangku masuk seluruhnya kedalam liang kenikmatannya dan rasanya sampai diubun-ubun. Satu dua gerakan maju mundur pelan kuteruskan dengan puluhan gerakan maju mundur cepat dan semakin cepat. Terus dan terus.. hingga Iswani mengerang. Kuhentikan gerakanku dan kuturunkan kedua kakinya terlentang diatas ranjang tanpa mencabut batang kemaluanku dari lobang kemaluannya. Dengan posisiku yang masih sama kupegang erat pinggulnya dengan tangan kiri. Dengan gerakan mundur pelan kulepas batang kemaluanku dari vaginanya. Tangan kananku kupakai untuk mengarahkan penisku kembali memasuki vaginanya.
Kubuat gerakan maju mundur lagi tapi kini hanya ujung penisku saja yang keluar masuk lobang kenikmatannya. Kutambah kecepatanku setahap demi setahap dan sesekali kubenamkan seluruh batang kemaluanku sedalam-dalamnya. Pantat Iswani ikut mengimbangiku dengan gerakan naik turun menginginkan tancapan batang kemaluanku lebih dalam lagi. Sedikit demi sedikit kurebahkan dadaku menindih payudaranya. Kedua kaki Iswani yang terlentang diapitkan pada ke kedua kakiku yang berada diatara kedua kakinya. Kuncian kakinya pada kakiku turut membuat otot-otot kemaluannya terasa mengapit penisku. Gesekan kulit penisku dan dinding kemaluannya menghasilkan efek rangsangan yang luar biasa. Sambil terus menggerakkan pinggulku kucumbu lehernya, kuhisap, dan kukulum telinga kirinya. Puncak demi puncak dicapai Iswani dengan beberapa cara yang berbeda-beda.
Melemasnya Iswani membuat kuncian kakinya pada kakiku terbuka. Kubuka kakiku hingga terlentang untuk ganti mengapit kedua kakinya. Manuverku ini membuat lubang vaginanya menyempit seakan-akan mencekeram batang kemaluanku. Cumbuan bibirku pada bibirnya terjadi tanpa terelakkan. Bibir bertemu bibir, lidah bertemu lidah dan hisapan disambut hisapan. Kedua tangannya memelukku erat-erat. Payudaranya merangsek dadaku. Gerakan naik turun pinggulku diimbanginya dengan serasi. Tanpa bisa kutahan lagi, sebuah denyutan terasa di penisku, meletuslah puncak kenikmatanku. Seketika itu lepaslah cumbuanku padanya. Dengan sisa tenaganya Iswani makin erat memelukku sambil membuat gerakan bak cacing kepanasan demi mengejar puncakku. Otot-ototnya menegang hebat mengundang denyutan-denyutan susulan dari penisku dan disambut dengan meriah oleh gelinjang tubuhnya. Meskipun tubuh kami berdua sudah tak bertenaga namun penisku tak segera ingin meninggalkan liang kenikmatan Iswani. Sisa-sisa denyutanku rupanya masih ditunggu hingga terkuras habis. Setelah mencabut penisku dari lobang vagina Iswani, aku terlentang disampingnya tertidur kelelahan hingga pagi, begitu pula Iswani.
Pagi sekali aku sudah bangun, kulihat Iswani masih tertidur pulas. Setelah membasuh muka, gosok gigi dan berpakaian, aku keluar kamar untuk jalan-jalan disekitar penginapan sambil menghirup udara pagi kota Banjarmasin. Kabut tipis masih menyelimuti beberapa permukaan jalan. Setengah jam kemudian aku balik ke penginapan. Sampai di penginapan aku menuju ke kafetaria untuk melakukan ritual pagiku, yaitu kopi panas dan sebatang rokok. Selesai ngopi aku kembali ke kamar, kulihat Iswani mulai terbangun. Dengan mata yang yang masih terpejam Iswani bertanya, "Jam berapa Tok?" "Baru jam 6 Mbak, tidur lagi aja", jawabku. "Sini Tok, temanin aku", ajak Iswani dengan nada manja. Ajakannya benar-benar menggoda karena kulihat tubuh Iswani terlentang telanjang dibalut selimut sehingga lekuk-lekuk tubuhnya yang elok masih dapat kuamati. Kuperhatikan Iswani belum juga mampu membuka matanya tapi gerakan tubuhnya menunjukkan kalau ia sudah tidak dapat tidur lagi. Gerakannya kekiri dan kekanan yang entah disengaja atau tidak menyingkap sebagian selimutnya. Pahanya yang putih mulus terpampang jelas oleh penglihatanku.
Mencoba tak tergoda aku membuka sedikit korden jendela untuk melihat-lihat pemandangan luar kamar. "Diluar ada apa Tok?", tanya Iswani membuka sebelah matanya. "Ada pemandangan bagus Mbak, ternyata di penginapan ini ada pelayan cewek yang cakep", jawabku bercanda. Buk, sebuah bantal melayang tepat mengenai belakang kepalaku dan menghantukkannya ke kusen jendela. "Aduh, pagi-pagi kok buat perkara", kataku dengan memegang hidungku yang agak kesakitan setelah terhantuk kusen jendela. "Memangnya ada apa?", tanya Iswani tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Nih hidungku nabrak kusen", jawabku jengkel. "Siapa yang suruh menabrakkan hidung ke kusen?", jawab Iswani santai. Kuambil bantal yang mengenai kepalaku dan berjalan ke ranjang Iswani, sambil berkata, "Gara-garanya bantal yang Mbak lempar ke saya", kataku sambil menunjukkan bantal tersebut.
Menatapku dengan senyum nakal, Iswani menarik bantal yang masih kupegang erat hingga aku terjerembab ke arahnya kehilangan keseimbangan karena tak mengantisipasinya. Tubuhku terjatuh menindih tubuhnya yang masih terbalut selimut. "Aduh, apa-apaan Mbak", tanyaku dengan mulut tepat diatas mulutnya. "Terus maumu apa?", tantangnya dengan napas berat sambil memegang kepalaku dengan kedua tangannya. "Apa-apa mau", balasku menggoda.Dengan serta merta Iswani menarik kepalaku dan mencumbu mulutku. Sambutanku tak kalah cepatnya, kuimbangi cumbuannya bagaikan adegan foreplay dalam film-film biru.
Dalam pengaruh rangsangan nafsu yang hebat, otakku memberi komando pada kedua tanganku untuk terjun pada daerah pegunungan yang berselimut. Diikuti oleh gerakan gerilya kedua tanganku memberi serangan frontal dengan remasan-remasan pada payudara Iswani. Serangan kilat yang kulakukan membuat Iswani terbelalak. Tanpa melepas ciuman antar mulut, Iswani melakukan serangan balasan. Dua tangannya melepaskan kepalaku dan bergerilya mengusap punggungku dan terus melaju ke bawah. Kedua tangannya dengan mudah menyusup masuk kedalam bagian belakang celanaku dan meremas-remas pantatku. Tak cukup dengan meremas pantat, beberapa jarinya juga menekan-nekan daerah sensitif di daerah selakangan. Saat ini batang kemaluanku sudah mengeras bagai moncong meriam yang siap menembakkan mesiunya setiap saat. Khawatir akan kehabisan peluru saat perang sesungguhnya terjadi, maka kuajukan genjatan senjata dalam bercumbu. Ternyata ajakanku diterima tanpa syarat.
"Ayo Tok cepat lepas pakaianmu!", perintah Iswani. Dalam sekejap akupun telanjang bulat. Dan dalam kejapan berikutnya kutarik selimutnya, kutindih badannya dan kutangkap kedua pergelangan tangannya dengan kedua tanganku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha memegang tangannya terlentang keatas kepalanya. Batang kemaluanku kugesekkan pada daerah kemaluannya yang telah licin. Dadaku menindih dan bergesek pada kedua payudaranya seirama dengan gerakan bagian bawah perutku. Ciuman yang disertai hisapan mulutku pada daerah lehernya menghasilkan desahan dan erangan. Iswani membuka kakinya makin lebar membuat lobang kenikmatannya lebih terbuka bagi batang kemaluanku. Dengan usaha beberapa kali akhirnya batang kemaluanku dapat memasuki lubang kenikmatannya tanpa bantuan tanganku ataupun tangan Iswani.
Seiring dengan masuknya batang kemaluanku menuju liang kenikmatannya, timbullah rasa nikmat pada sekujur tubuh kami berdua. Jari-jari kedua tanganku terbuka, lepaslah genggamanku tapi jari-jari kedua tangannya mengisi ruang diantara jari-jariku hingga bersatu saling genggam. Sementara itu bagain bawah tubuhku membuat gerakan maju mudur dan keatas kebawah. Sesekali kuhentikan gerakanku dan Iswani menggantikannya dengan menggerakan pinggulnya berputar. Selang beberapa waktu kedua kakinya mengunci kakiku, kupandang wajahnya dengan mulut terbuka menghembuskan nafas-nafas berat pada bibirnya. Seolah menembus batas birahiku, tatapan matanya yang beradu pandang denganku mendorong ledakan klimaksku yang tak dapat kubendung. Cairan hangat yang keluar dari batang kemaluanku menerjang dinding liang kenikmatannya dan mengundang klimaksnya. Diikuti oleh tubuh Iswani yang mengejang dalam bebera saat, muncullah beberapa denyutan dari batang kemaluanku. Berangsur-angsur tubuhku terasa lemas dan lunglai dalam dekapan tubuh Iswani. Sebuah ciuman kulayangkan pada bibirnya sebelum menarik tubuhku dan terlentang disebelahnya. Terlelap beberapa waktu kudengar gemericik suara shower dari kamar mandi.
Semerbak bau harum sabun mandi menyebar dalam kamar menerpa hidungku dan membangunkanku dari pembaringan ketika Iswani keluar dari kamar mandi. Kamar mandi yang ditinggalkan Iswani segera kumasuki. Selesai mandi kudapati Iswani tengah bersolek mengenakan kaos lengan panjang warna merah menyala dan celana jeans yang ketat. Kupandangi tingkah laku Iswani sambil berbaring santai diatas ranjangku. "Mbak, bisa cakep seperti itu makan apa saja sih?", tanyaku penasaran melihatnya. Sambil memasukkan alat-alat pesoleknya, ia menjawab dengan senyum genit, "Kan habis makan kamu". "Pagi ini aku udah habis Mbak, terus mau makan apa lagi?", tanyaku lagi. "Aku juga udah kenyang kok", jawabnya santai sambil membongkar sebagian isi tasnya.
Tak lama kemudian Iswani memasukkan semua barang yang dibelinya di pasar kemarin kedalam tasnya. "Tok, pagi ini aku mau ketempat saudara-saudaraku yang ada di Banjar Baru, mungkin sampai sore dan nanti malam kita bisa ketemu lagi, kamu masih mau nginap disinikan malam nanti?", tanya Iswani dengan menutup tasnya. "Aku juga mau putar-putar kota Banjarmasin, paling-paling sore sudah balik, tapi malamnya aku mau cari makanan yang khas", jawabku. "Kalau gitu berapa nomer HPmu, biar kusimpan dalam HPku? Andaikata aku balik sini kamu masih jalan kan bisa kususul", tanya Iswani dengan memegang HPnya. Setelah kuberitahu nomer HPku pada Iswani, aku baru teringat kalau HPku kumatikan sejak berangkat dari tempat pemberangkatan bus di Balikpapan. Kuambil HPku dari saku jaket dan beberapa detik setelah kunyalakan sebuah panggilan terdengar. "Ini nomernya Mbak?", tanyaku padanya sambil kuperlihatkan nomer yang muncul di HPku padanya. "Iya", jawabnya singkat lalu berkemas dan keluar dari kamar tanpa mengucapkan kata pamitan. Tak lama kemudian Iswani menghilang dari pandangan jendela kamarku.
Berbaring tiduran sambil nonton TV kutunggu waktu hingga pukul 10 pagi. Setelah berganti pakaian aku keluar kamar dan memulai jalan-jalan tanpa arah yang jelas. Kususuri jalan-jalan di kota Banjarmasin dibawah naungan mendung. Bermodal selembar foto kopi peta kota Banjarmasin yang kuperoleh di Balikpapan, aku takkan khawatir tak dapat kembali ke penginapan. Kunjunganku ke kota ini adalah yang ke-2 kalinya setelah kurun waktu yang cukup lama, akibatnya aku samasekali tak tahu jalan.
Tersesat adalah bagian dari rencana jalan-jalanku ini, yang penting adalah bisa kembali balik dan tak menjadi soal berapa lama waktu yang kuperlukan untuk menemukan kembali jalan yang benar. Semakin aku tersesat, semakin lama pula aku menemukan jalan yang benar meskipun sudah ada peta di tanganku, tapi itulah asyiknya rencanaku ini. Entah petanya yang salah atau aku yang keliru memilih jalan tapi yang jelas banyak jalan kecil yang kulalui tak tercantum di peta. Bila cuma mengikuti jalan besar yang ada di peta bisa kupastikan aku takkan tersesat tapi jika kulakukan hal itu berarti membuat jalan-jalanku ini tak ada tantangannya dan menjadi tak menarik.
Waktu luang yang kumiliki benar-benar kunikmati seorang diri untuk memperhatikan kesibukan kota. Pemandangan dan kesibukan orang-orang disekitar sungai yang berada di tengah kota sangat menarik perhatianku karena merupakan hal yang tidak pernah kutemui di kota-kota pulau Jawa. Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 2 siang. Perutku yang hanya terisi kopi sejak pagi terasa lapar. Kulihat sebuah restoran terapung di depan kantor gubernuran yang menghadap ke arah sungai. Keinginanku untuk mencoba makan di restoran berbentuk perahu kayu yang berukuran besar tersebut sudah tak tertahankan lagi. Kulangkahkan kakiku memasuki restoran tersebut dan dapat kurasakan ayunan seperti diatas sebuah perahu dan memang restoran itu awalnya adalah sebuah perahu kayu besar yang sudah diroMbak dalamnya. Kupilih meja yang berada di lantai atas agar dapat melihat lalu-lalang berbagai jenis kendaraan air seperti perahu dan speed boat secara lebih langsung karena lantai ini tidak memiliki jendela sehingga kelihatan terbuka. Tiap kali ada kendaraan air melewati restoran, terasa ayunan akibat dari gelombang yang menghantam lambung restoran. Hal ini benar-benar mengingatkanku pada pekerjaanku 5 tahun yang lalu di sebuah kota kecil di Propinsi Kalimantan Tengah.
Kubaca menu makanan lalu kepesan ikan bakar khas masakan Banjar yang sudah lama tak kurasakan. Tak lama kemudian pesananku tiba dan segera kulahap sampai tak tersisa sedikitpun. Selesai makan kunyalakan rokok dan kunikmati tiap kepulan asap dengan santai sambil merasakan sentuhan angin dari hawa sungai pada wajahku. Cuaca yang sudah mendung sejak siang tadi berubah makin gelap. Tiba-tiba datang angin kencang yang disertai hujan deras. Arah angin mengarah ke dalam perahu dan sebagian masuk membasahiku. Khawatir akan basah kuyup aku pindah ke lantai bawah dan memesan kopi panas sambil menunggu hujan reda. Kurasakan hujan akan lama jadi kusulut kembali sebatang rokok sambil menikmati kopi panas. Tak beberapa lama setelah menghabiskan sebatang rokok dan secangkir kopi, hujan reda. Setelah kubayar aku kembali melanjutkan perjalananku.
Lanjutan perjalananku setelah makan di restoran terapung tadi adalah kembali menuju penginapan. Kali ini aku harus benar-benar memperhatikan langkahku karena banyak genangan air di tepi jalan. Aku mencoba melewati jalan yang lain dari sewaktu aku berangkat tadi. Kusempatkan pula mampir disetiap agen perjalanan yang kulewati untuk mencari informasi harga tiket perjalanan balik ke Surabaya serta jadwalnya.
Langkah demi langkah kuayunkan menuju ke pengipanku. Bayangan Iswani muncul dalam setiap langkahku, mengundang 1001 pertanyaan yang belum pernah kupikirkan sebelumnya. Mengapa suaminya mengijinkan dia pergi seorang diri? Mengapa Iswani berani mengajakku, orang yang belum pernah dikenalnya, menginap bersama? Apakah urusannya di Banjarmasin? dan masih banyak lagi pertanyaan yang tak bisa kutebak kepastian jawabannya. Kecuali satu pertanyaan, Mengapa aku tergoda olehnya? Jawabannya karena aku seorang bujang yang belum pernah punya pacar dan sering sibuk oleh pekerjaan, jadi sebuah kesempatan di waktuku yang luang akan benar-benar kumanfaatkan untuk menikmatinya.
Tak terasa aku sudah kembali masuk ke penginapanku dan berada tepat dimuka kamarku. Kumasuki kamar kulihat tak ada tanda-tanda keberadaan Iswani dan kuanggap dia akan balik malam. Aku menyempatkan beristirahat sebentar sebelum mandi. Setelah mandi kulihat jamku menunjukkan pukul 7 malam, waktuku untuk mencari makan malam yang enak. Bergegas aku keluar dari penginapan dan mencegat sebuah kendaraan umum yang rutenya kuperkirakan akan melewati depot sate kijang di pojok perempatan Jl. MT Haryono. Dugaanku meleset, ternyata angkutan umum yang kutumpangi tidak melewati jalan yang kumaksud dan segera aku minta turun pada sopirnya. Dipinggir jalan yang agak terang kubuka foto kopi peta kota yang selalu terbawa dalam kantong jaketku. Rupanya aku salah pilih angkutan umum, aku berada jauh dari perkiraanku. Disaat aku tidak membutuhkan tantangan, secara tak terduga tantangan itu muncul.Kupikir tak ada gunanya menyesal, bila memang rejeki malam ini aku akan dapat makan sate kijang bila tidak ya cuman makan angin, tapi masih ada hari esok. Aku berjalan sambil sesekali melihat peta. Tiba-tiba HPku berdering dan ternyata Iswani. Dia menanyakan keberadaanku dan kuterangkan dimana aku sesuai dengan tanda-tanda yang ada di jalan. Setelah menutup HPku, kulanjutkan perjalananku. Beberapa menit setelah berjalan kurasakan sebuah kendaran berjalan pelan dibelakangku. Kutoleh kebelakang dan kuhentikan langkahku, lampunya yang menyilaukanku membuatku menghindar dengan menoleh ke arah lain. Tanpa kutahu maksudnya, sedan itu berhenti tepat disampingku. Dengan perasaan terkejut, kulihat orang yang ada dibelakang kemudi ternyata adalah Iswani. "Ayo cepat masuk Tok!" katanya.
Setelah menutup pintu, Iswani langsung tancap gas. Belum sempat membuka omongan, Iswani sudah memberondongku dengan omelan yang tak ada habisnya. "Kamu gila Tok, malam-malam begini kenapa jalan sendirian didaerah rawan seperti itu?".
Setelah omelannya reda kuterangkan semuanya dengan malu-malu lalu terdiam seribu bahasa sambil mendengarkan nasihatnya yang bertele-tele. Perhatianku tertuju pada cara Iswani mengendari sedan yang kutumpangi, sedangkan nasihatnya hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tak lama kemudian Iswani membuat belokan dan langsung parkir, aku yang masih bingung arah bertanya padanya. "Mbak, kita ini berhenti dimana?". "Katanya pingin makan sate kijang!", jawabnya. Dengan rasa tambah bingung kuperhatikan sekeliling jalan tempat Iswani parkir dari kaca depan mobil. Bersamaan dengan Iswani membuka pintu, aku mulai mengerti arah. "Lha bener Mbak, sate kijangnya dibalik situ!", teriakku kegirangan dan tanpa kusadari teriakanku mengagetkan Iswani. Mungkin jengkel oleh teriakanku yang mengagetkannya, Iswani mengurungkan turun dan mencubit lengan yang kupakai untuk menunjukkan letak depot sate kijang. "Aduh Mbak, aduh Mbak, sakit!", keluhku tanpa dihiraukannya. "Rasain kalau suka ngagetin orang!", katanya dengan menambah daya cubitnya. Dengan ratapan meminta belas kasihan aku berkata, "Mbak, Mbak, aduh.. kapok..".
Di meja makan depot sate kijang, aku duduk menjauh dari Iswani, khawatir terkena lagi cubitannya yang sangat menyakitkan kulitku. Aku menunggu pesananku dengan diam seribu bahasa dengan perasaan masih jengkel pada Iswani. "Kemana aja seharian? Kok diam aja Tok! Ngambek ya.. Seperti anak kecil saja", goda Iswani padaku dengan tersenyum. Berpura-pura pulih dari rasa jengkel, kubuka suatu bahan pembicaraan, "Eh, Mbak.. mm.. tadi di penginapan ada cowok yang menanyakan Mbak, katanya pingin sekali kenalan sama Mbak", gurauku dengan nada serius yang sangat meyakinkan. "Ah, kamu ada-ada saja!", balasnya agak tak percaya dengan muka tersipu. "Bener Mbak, kalau nggak percaya ya nggak apa-apa, nanti kubilang saja kalau Mbak sudah punya suami, beres kan", jawabku santai. "Eh.. Jangan bilang seperti itu dong, cakep nggak orangnya Tok?", tanyanya penasaran. "Masih muda, wajahnya mirip bintang TV", jawabku santai. "Aku pernah lihat tampangnya, apa nggak Tok?", tanyanya semakin pingin tahu. "Rasanya pernah, coba deh Mbak ingat-ingat..", jawabku terpotong oleh datangnya pesananku. Sambil mengerutkan dahi mencoba mengingat-ingat, Iswani kembali bertanya, "Terus tadi kamu ngomong apa saja pada dia?". Aku mulai mengaduk bumbu sate sambil berkata, "Aku cuma cerita sedikit kalau Mbak adalah kakakku dan lagi ke Banjar Baru". "Terus..", kejarnya. "Terus aku mau makan dulu soalnya sudah lapar banget", jawabku santai sambil memasukkan sesuap nasi ke mulut. "Uhh..", keluhnya tak sabar.
Dalam hitungan menit aku telah menghabiskan sepiring nasi dan 15 tusuk sate kijang sementara Iswani hanya makan sedikit. Kebiasaanku merokok sehabis makan sulit kuhilangkan, kali inipun demikian. Pada hisapan ke-4 Iswani kembali teringat pada cowok yang kuceritakan. "Siapa sih Tok cowok yang kamu ceritakan tadi?", tanya Iswani. "Itu lho Mbak, Si Sin Chan, bintang acara kartun yang sering muncul di TV", jawabku tanpa rasa bersalah sambil tertawa. Wajah Iswani kembali bersungut dan sudah bersiap mencubitku lagi. "Mbak, Mbak, sudah Mbak, nggak usah pakai nyubit, yang tadi saja masih sakit", bujukku sambil menahan tangannya yang sudah bersiap-siap. "Awas ya!", ancamnya.
Mencoba mengalihkan kemarahannya, aku membuka beberapa pertanyaan yang ada dibenakku tapi tak satupun dijawabnya. "Ngambek ya.. Seperti anak kecil saja", godaku menirukan kalimatnya tadi. Dengan agak tersipu, Iswani berkata, "Oh ceritanya ini tadi membalas ya".Tanpa meladeninya lagi aku langsung berdiri dan menuju ke meja kasir, membayar bon makanan. "Coba lihat bonnya Tok!", pinta Iswani padaku. Setelah melihatnya dia melakukan tanya-jawab dalam logat dan bahasa Banjar pada penjual sate tersebut. Setelah keluar dari depot itu aku mengomentari tanya-jawab yang dia lakukan dengan penjual sate tadi. Dengan keheranan Iswani bertanya, "Darimana kamu bisa bahasa Banjar?". Kujelaskan padanya kalau aku hanya ngerti bahasanya tapi logatnya susah kutiru karena pernah kerja agak lama di Kalimantan Tengah. "Coba Tok kamu bicara bahasa Banjar, aku ingin dengar", kata Iswani.Baru 5 kata dan belum selesai kalimatku dalam bahasa Banjar, Iswani sudah terpingkal-pingkal. Dengan muka masam aku berjalan cepat meninggalkannya, ke arah mobilnya diparkir.
Didalam mobil yang berjalan kearah penginapan, aku tanyakan perihal Toyota Starlet yang dikendarainya. Iswani menerangkan kalau ini mobilnya yang ia titipkan di rumah ibunya di Banjar Baru karena belum sempat membawanya ke Balikpapan. Jalanan kota Banjarmasin sudah sepi padahal waktu masih belum menunjukkan pukul 22. Sesampai di penginapan aku langsung turun dan cepat-cepat menuju kamar untuk segera buang air kecil di kamar mandi. Iswani tampak tertawa melihatku keluar dari kamar mandi. "Untung, kemarin naik bus Balikpapan-Banjarmasin bukan Mbak yang nyetir, kalau Mbak yang nyetir pasti tak hanya sandal yang berserakan tapi penumpangnya juga ikut", ejekku padanya. Iswani hanya melempar senyum tanpa sedikitpun berkomentar lalu masuk ke kamar mandi.
Iswani keluar dari kamar mandi dengan hanya dibalut selembar handuk sebatas dada hingga paha. Seusai melipat pakaiannya dan mengambil body lotion dari dalam tasnya ia memintaku untuk memijatnya karena kecapekan. Dengan serta merta aku meloncat ke ranjangku, menarik selimut hingga ke kepala dan pura-pura tidur. Tapi usahaku menghindar jadi tukang pijat sangat terlambat dan tampak terlalu menyolok. "Ayo, nggak usah pura-pura tidur, atau kepingin kucubit lagi?", ancam Iswani. Mendengar kata "cubit", aku langsung terduduk dan mencari alasan, "Mbak, seharian aku jalan kaki, aku sendiri sudah capek sekali". "Jangan banyak bicara, ayo!", perintah Iswani. Berlagak malas kuterima perintahnya dengan ditandai dengan kuterimanya body lotion yang diulurkan padaku. "Tok, lepasin dulu celanamu!", perintah Iswani berikutnya sambil menelungkupkan tubuh di ranjangnya.
Hanya dengan celana dalam dan kaos oblong, aku mulai memijat kakinya yang indah. Kupijat dulu kedua telapak, tumit dan pergelangan kakinya bergantian. Dengan tenaga yang kuat aku pijat bagian belakang kaki kanannya hingga paha bawah lalu berganti kekaki kiri. Kemudian kutumpahak body lotion secukupnya pada kaki kiri dan meng-urutnya. Aku urut dari bawah hingga ke atas, sampai menerobos pangkal paha yang ada dibalik handuknya. Kaki kanan juga tak ketinggalan. Setiap kali kedua tanganku sampai pada pangkal paha Iswani mendesah, "Mmh, enak Tok!".
Gerakan kedua tanganku yang terbatas oleh balutan handuk bila mencapai pangkal paha dapat dirasakan oleh Iswani, tanpa kuperintah Iswani langsung melepas handuknya hingga telanjang bulat. Seusai bagian lutut kebawah aku pijat, aku pindah ke bagian paha hingga pantat. Tiap kali melewati selakangan, tanganku sengaja kugeserkan dengan daerah kemaluannya meskipun tak menyolok. Pantatnya kuberi pijatan yang menyerupai remasan dan kuurut sampai ke pinggul. Semakin ke arah punngung, posisi duduk yang ada disebelah Iswani agak menyulitkanku. Kuputuskan untuk menindih tubuh belakangnya dengan duduk dipantatnya. Setelah memberi pijatan bertenaga pada bagian pundak hingga punggung, aku tumpahkan lagi body lotion di punggungya lalu kuusap rata. "Tok lepasin pakaianmu biar nggak kena lotion", perintahnya. Sewaktu kulepas pakaian dan celana dalamku, batang kemaluanku sudah dalam keadaan tegang berdiri. Kembali aku duduk diatas pantatnya dan batang kemaluanku merasakan kenyamanan bergeser dengan belahan pantatnya. Sementara tanganku terus memijat tengkuk, pundak dan punggungnya, geseran belahan pantat dengan batang kemaluanku dan pahanya dengan pahaku terus terjadi. "Mmh.. Ssh.. Ssh", desah Iswani.
Merasa cukup, Iswani memintaku untuk memijat lebih kebawah. Kuturuti saja kemauannya dan mengalihakan pijatan lebih banyak ke pinggul hingga paha. Terhenti pulalah gesekan nikmat pada batang kemaluanku tapi aku tak kehabisan akal, kujepitkan batang kemaluanku diatara kedua pahanya yang kutindih dan kukunci diantara kedua pahaku. Batang kemaluanku yang sudah licin terkena lotion dapat bergerak mudah maju-mundur mengikuti arah pijatanku pada pinggul hingga ke paha. Gerak maju yang kulakukan menyebabkan batang kemaluanku yang sudah tegang luar biasa bergesek dengan daerah kemaluannya yang makin lama makin basah. Diikuti oleh desahan Iswani yang makin menjadi membuat semangatku bagai terpompa. Tak lama kemudian Iswani sedikit menaikkan pantat dan tubuhnya bertumpu pada kedua lututnya sambil menoleh padaku dengan pandangan mata berbinar dan bibir yang terbuka. Kutatap pula matanya sambil kuarahkan batang kemaluanku pada liang kenikmatannya.
Keluar desahan panjang dari mulut Iswani sambil memejamkan mata. Pelan tapi pasti batang kemaluanku masuk seluruhnya kedalam liang kenikmatan milik Iswani. Kemudian kutarik pelan dan kudorong masuk kembali, semakin lama semakin cepat, lalu kupelankan kembali untuk mengatur nafas. Sewaktu kuistirahatkan gerakanku, Iswani mengisinya dengan memaju mundurkan pinggulnya. Meredam gerakannya yang dapat mempercepat klimaksku, kutindih punggungnya dengan dadaku. Kumasukkan tanganku kedadanya dan kuremas-remas kedua payudaranya. Kucumbu tengkuk dan punggungnya sambil kubuat lagi gerakkan maju-mundur yang makin lama makin cepat. Dan, "Ahh..aku keluar Tok", desah Iswani menggelinjang.Berusaha menancapkan batang kemaluanku lebih dalam lagi ke liang kenikmatannya akupun tak kuasa menahan klimaksku. Denyut otot-otot vaginanya seakan meremas-remas batang kemaluanku. Dalam keadaan tubuh Iswani yang terkulai lemas, aku mencabut batang kemaluanku yang berangsur-angsur lemas.
Kubalikkan tubuh Iswani lalu kulanjutkan pijatanku kembali ke bagian kaki. Kulihat mata Iswani masih terpejam dengan nafas yang masih berat. Kupijat kedua pahanya yang terlentang dengan posisi dudukku diantara keduanya. Kaki kanan yang kupijat dulu kuletakkan diatas pundak. Dengan kedua tangan berlotion kuurut paha kanannya keatas kebawah hingga pangkal paha. Setelah kuletakkan kembali kaki kanannya kuberi perlakuan yang sama pada kaki kirinya. Sayup-sayup mata Iswani terbuka dan tersenyum padaku. Seusai kedua paha kupijat kudekatkan dudukku pada selakangannya.
Dengan duduk kutempatkan kedua pahanya diatas kedua pahaku, hingga batang kemaluanku yang kembali terbangun menempel dan bergeser daerah kemaluannya. Bersamaan dengan itu kulihat kedua payudara Iswani menegang. Dengan pelan kupijat bagian perut dan naik ke arah payudaranya. Sesekali kumainkan puting susunya dengan jari-jariku. Rangsangan yang kuberikan pada tubuh Iswani makin membuat birahinya menggelora kembali. Bertumpu pada kedua kakinya yang terlentang ia membuat gerakan naik turun pinggulnya. Karena pantatnya berada diatas pangkuanku maka dia dapat menggesek-gesekan dearah kemaluannya pada perutku. Kudukung ia dengan pegangan kedua tanganku dikedua pinggulnya.
Tiba-tiba ia terduduk dan memegang batang kemaluanku dengan senyum yang menggoda. Makin lama ia merapat kearahku dan menduduki kedua pahakuku, menjepit batang kemaluanku dan mencumbu bibirku dengan hebat. Kedua payudaranya menempel erat dengan dadaku. Kedua tangannya memegang kepalaku dan kedua tanganku memegang pantatnya. Seakan tak ada habisnya kejutan-kejutan yang dilakukannya, tiba-tiba ia melepas cumbuannya, mundur keatas sedikit, mengarahkan penisku ke vaginanya kemudian kembali duduk, membenamkan seluruh bagian penisku kedalam liang kenikmatannya. Kembali ia mencumbu bibirku dan bergerak keatas kebawah diatas pangkuanku yang sedang terduduk. Karena lelah ia melepaskan cumbuannya dan bertumpu pada kedua tangannya yang diarahkannya belakang sambil terus membuat gerakan keatas kebawah. Tak lama kemudian ia kembali merapat memelukku erat dan berbisik mendesah pada telinga kiriku, "Tok, aku mau keluar". Kutolehkan mukaku kearah bisikannya tapi mukanya telah kembali lurus dengan mata terpejam. Kudapati telinga kirinya dan kujadikan sasaran kuluman bibirku. "Tok.., oh Tok, Ah..", desahnya menghentikan gerakannya. Pelukannya yang makin erat seiring dengan tegangnya otot-ototnya diikuti gelinjang tubuhnya.
Dalam keadaan lemas kubaringkan ia tapi batang kemaluanku masih belum tercabut. Kedua kakinya yang terlentang kurapatkan dengan jepitan dari kedua kakiku yang telah kubuat terlentang sebelumnya. Bersamaan dengan itu kurasakan jepitan yang makin erat liang vaginanya pada batang kemaluanku. Kubuat gerak menindih naik turun yang makin lama makin cepat sambil kuhisap leher kirinya membuatnya terbelalak dan menyambut irama permainanku. Sesekali kucumbu bibirnya dan kumainkan lidahnya dengan lidahku. Tak ketinggalan hisapan dan kuluman yang campur aduk tak terpisahkan. Akhirnya aku sampai pada puncakku dan meledaklah moncong meriamku mengeluarkan isinya. Denyutan demi denyutan melewati batang kemaluanku menghantarkan aliran cairan hangat kedalam liang kenikmatan Iswani. Ia rupanya tak mau kalah dan ingin mencapai klimaksnya sekali lagi. Dipeluknya dengan erat tubuhku hingga tak dapat kugerakkan, lalu ia gerakkan tubuhnya selama beberapa saat hingga diperolehlah apa yang dimauinya.
Setelah kembali lemas aku menarik tubuhku dan turun dari ranjangnya. Kemudian mandi dengan air hangat. Setelah mandi kulihat Iswani telah tertidur pulas telanjang bulat. Merasa kasihan kalau dia masuk angin oleh hawa dingin AC, kuselimuti tubuhnya dengan selimut yang ada diranjangnya. Setelah itu aku naik ranjangku sendiri dan tidur.
1 komentar:
kayak anjing saja kau
Posting Komentar