Senin, 17 Maret 2008

Oase Wanita Bersuami 3 : Emma

Sore itu sepulang kerja aku berjalan dari Harmoni ke arah Kota melalui sisi jalan Hayam Wuruk. Siapa tahu ada petualangan baru yang akan kualami. Biasanya di sepanjang jalan Hayam Wuruk banyak wanita-wanita yang pulang kantor sedang menunggu kendaraan atau untuk dikendarai juga, kata orang. Kadang-kadang juga ketemu dengan wanita yang berdandan rapi memakai blazer, namun setelah bicara panjang lebar ia hanyalah seorang wanita yang sedang menunggu mangsa.Sesampainya di sebuah pintu hotel kecil ada seorang wanita yang sedang berdiri di sana. Aku berpikir mungkin ia nunggu teman untuk check in atau malahan sudah check out. Aku berhenti di dekatnya seolah-olah sedang menunggu bis kota. Ia terkejut dan terdiam sesaat ketika kusapa, "Mau ke mana Bu?" "Ahh.. Eee dari ketemu teman tadi".
Kuperhatikan dia. Kutaksir umurnya tiga puluh limaan. Badannya mungkin sedikit overweight, namun kencang. Sementara dadanya yang 36 terlihat membusung ke depan. Rambutnya dijepit di bagian tengkuknya memperlihatkan sebuah leher yang mulus, meskipun tidak terlalu panjang. Ketika kutatap, ia membalas tatapanku sebentar kemudian berpaling. "Maaf, kukira Ibu baru keluar dari hotel ini," kataku kemudian. "Nggak, tadi habis senam di Sawah Besar dan sekarang mau pulang ke Bogor".
Jauh amat senamnya, pikirku. Masakan di Bogor nggak ada sih tempat senam? Kelihatannya ia tidak marah dengan ucapanku tadi. Malahan ia sempat membalas ucapanku tadi. "Mas mau masuk?" tanyanya. "Ah, nggak saya juga cuma jalan-jalan menuruti kaki melangkah sambil menunggu jalanan sedikit lancar," kataku.
Setelah ngobrol maka dapat kusimpulkan dia seorang tante-tante bispak, kucoba mengajaknya untuk check in. "Masuk yuk, kita istirahat!" ajakku yakin. Ia menatapku dan berkata, "Bukannya aku tidak mau. Tapi aku mau pulang ke Bogor. Kalau besok saja bagaimana? Kita ketemu disini agak siangan". Setelah kurayu-rayu ia tetap tidak mau check in hari ini, dan mengajakku besok. Aku sudah terlanjur "naik", maka harus kuselesaikan urusan ini sampai tuntas.. Tas.
Akhirnya ia naik bis Patas AC jurusan Kampung Rambutan yang melintas. Aku berpikir cepat, biarlah kuikuti dia sampai ke Bogor. Sementara bis masih berjalan pelan karena kondisi lalu lintas macet. Aku berlari kecil dan melompat ke dalam bis tadi lewat pintu belakang. Kucari-cari dari belakang dimana wanita tadi duduk. Ternyata ia duduk di deretan bangku kiri dan sebelahnya kosong sehingga aku dapat duduk di sampingnya. Ia kembali terkejut ketika aku meletakkan pantatku di tempat duduk sebelahnya. "Eh kamu, bandel! Ngapain naik bis ini?" katanya. "Aku mau ikut saja ke Bogor. Ada teman juga kok di sana. Nanti bisa nginep di rumahnya," kataku.
Ia mengeleng-gelengkan kepalanya. Sambil ngobrol lagi kini aku semakin tahu banyak tentangnya. Namanya Ema, suaminya seorang pelaut, kemarin baru saja berangkat berlayar. Ia memang baru selesai senam tadi. Baju senamnya dibungkus dan disimpan di tasnya. Ia berterus terang ketika aku pertama menyapanya. Katanya wajahku mririp sekali dengan kekasih gelapnya yang kini dipindah tugasnya ke luar Jawa. Makanya ia kaget dan berkomentar.
"Aku tadi kaget sekali dan seolah-olah baru bangun tidur melihatmu. Apalagi ketika kamu mengajakku check in. Kamu berani-beraninya membangunkan macan tidur!!". "Suamimu baru saja berangkat, pasti habis-habisan dong malam sebelumnya?" tanyaku memancing. "Ahh, hanya dua kali saja. Itupun sudah dua malam yang lalu," jawabnya santai. Setelah kurayu lagi akhirnya ia bersedia untuk menginap denganku. Katanya, "Baiklah, kita nginep di tempat aku dan pacarku biasa berkencan". Berhasil!!
Akhirnya sampai di Bogor pun kami terus menuju ke arah Ciawi. Sebelum sampai Ciawi kami turun dan segera masuk ke dalam sebuah hotel. Agaknya memang benar apa yang dikatakannya. Resepsionisnya sudah mengenalnya. Tetapi dia melirikku seolah-olah mengingat sesuatu. Mungkin saja resepsionis tadi berpikir bahwa kok ibu ini sudah ganti pasangan. Sebenarnya kami mau pesan nasi goreng, tapi kata penjaga restorannya, makanan sudah habis.
Kamipun masuk ke dalam kamar. Ema memintaku untuk membeli nasi bungkus saja. Namun kupikir lebih baik mandi saja dulu. Ema pun melepas seluruh pakaiannya di depanku dan segera masuk ke kamar mandi. Badannya meskipun sedikit gemuk, tapi kencang. Dadanya yang besar dengan puting berbentuk dadu sudah menantangku. Ia kembali menata rambut dan menjepitnya di bagian tengkuk.
Aku pun segera melepas pakaianku dan menyusulnya masuk ke kamar mandi. Kami saling menyabuni tubuh sambil berpelukan dan berciuman. Kusabuni payudaranya dan kuremas-remas, sementara ia menyabuni kejantananku dan mengocoknya. Setelah membilas dengan air, maka payudaranya kuisap-isap dan kupermainkan dengan lidahku. Ema mendesah dan memelukku. Ia menciumi leherku. Kulepaskan isapan pada payudaranya dan Emapun gantian menyerang dadaku. Mencium dan menjilati putingku bergantian kiri dan kanan.
Mulutnya terus bergerak ke bawah, mengitari pusarku dan semakin ke bawah. Penisku yang kedinginan segera dikulum dan diisapnya. Kepala penisku dijilatinya dan kemudian kembali mengulumnya sampai habis. Buah zakarkupun tak luput dari serangan mulutnya. Sementara mulutnya mengisap buah zakar, maka tangannya memijit dan mengocok batang penisku. Aku meremas rambutnya sambil menahan kenikmatan yang diberikannya pada penisku.
Kuangkat tubuhnya dan kembali kami berciuman dengan ganasnya. Kudorong ia ke arah bak air dan kemudian kududukkan pada bibir bak. Kakinya sudah mengangkang mengundangku untuk segera menjilat pangkal pahanya. Segera kususuri betis hingga pahanya dan kemudian lidahku sudah menggelitik vaginanya yang kemerahan. Ia semakin menekan kepalaku ke selangkangannya dan meremas-remas rambutku. Sementara itu tanganku bekerja mengusap, meremas dan memilin payudaranya. Akhirnya ia sudah tidak sabar minta kusetubuhi.
"Anto cepat To.. Ayo aku sudah tidak tahan lagi. Masukin Oohh.. Masukin!" Aku berdiri dan mengarahkan penisku ke vaginanya. Untunglah bak mandi tersebut tidak begitu tinggi sehingga dengan sedikit mengangkat kaki, maka penisku sudah amblas ke dalam vaginanya. Kupompa vaginanya, sementara bibir kami di atas juga saling berpaut. Tangannya memeluk punggungku sedangkan tanganku meremas payudaranya atau mengusap pinggulnya. Semakin lama kurasakan lututku tidak kuat lagi untuk menahanku melakukan genjotan di vagina Ema. Emapun sudah tidak nyaman duduk di atas bak mandi. Kucabut penisku dan kamipun keluar dari kamar mandi menuju ranjang dengan saling berciuman dan meremas.
Kurebahkan tubuhnya di ranjang dan sebentar kemudian kami sudah kembali bergerak mencari kenikmatan agar segera tuntas gairah kami. Ia memutar pinggulnya dan penisku tersedot sedemikian rupa sehingga kadang aku harus menghentikan gerakanku agar maniku tidak cepat tumpah. Dinding vaginanya sama sekali tidak berdenyut, namun sedotan akibat gerakan memutar pinggulnya membuatku untuk cepat menyelesaikan babak ini.
Kukencangkan penisku dan kukocok vaginanya dengan cepat sampai terdengar bunyi paha beradu dan seperti tanah becek yang terinjak kaki. Semakin cepat kami bergerak, maka sedotan pada peniskupun semakin kuat sehingga akhirnya.. "Ema.. Ohh Ema aku tidak kuat lagi..!" "Tunggu sebentar.. To, Jangan keluar dulu. Tunggu, kita sama-sama keluar!" Ia mengendorkan gerakannya untuk menurunkan gairahku. Setelah gairahku turun, kupacu lagi kuda binalku ini untuk segera mencapai finish.
"Anto.. Yak.. Ayo sekarang, kamu boleh keluarkan. Kita sama-sama..!" Ia menggigit lenganku. Segera kuhantam dengan keras pangkal pahanya dengan penisku dan Croott.. Crott.. Crott. Iapun mengejang dan merapatkan tubuhnya padaku. Menyemburlah spermaku di dalam vaginanya dan kamipun berpelukan lemas. "Hampir saja aku nggak kebagian. Kamu terlalu bernafsu To, makanya kamu cepat keluar," katanya sambil terengah-engah. "Sorry Em, memang aku tadi terlalu bernafsu. Tapi kita masih punya waktu sampai pagi kan. Yang kedua ini pastilah kamu akan kupuaskan sampai menjerit-jerit," kataku meyakinkan.
Setelah berpakaian akupun keluar dan membeli makanan untuk kami berdua. Setelah makan kami sempat tertidur beberapa lama dan aku terbangun ketika Ema mendesakkan dadanya yang besar ke punggungku. "To.. Apakah kamu sudah ba.. ngg.." Aku membalikkan badan dan segera menyambar bibirnya yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Segera gairah kamipun naik kembali. Kami mulai terangsang dan tubuh kami mulai hangat. Debaran jantung mulai cepat berpacu dan tarikan napas menjadi dalam dan berat.
Kali ini Ema meminta untuk posisi 69. Aku berada di bawah tubuhnya, sementara mulut kami sudah sibuk dengan pekerjaannya. Mulutku menjilati pangkal pahanya yang mengangkang lebar di atasku. Kujilat clitnya dan kujepit dengan bibirku. Sementara itu dengan penuh semangat Ema menjilat, mengulum dan mengisap penisku.
Setelah mulut kami puas bermain di selangkangan, maka tubuhnya berputar sehingga kami berhadapan muka. Aku berguling sehingga kini Ema mengangkang di bawahku. Tangannya bermain di bawah perutku. Tanganku meremas payudaranya dan memilin putingnya. Dengan bantuan tangannya kucoba memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Ia menggerak-gerakkan pantatnya untuk membantu usahaku. Digesekkan kepala penisku pada bibir vaginanya. Setelah cukup banyak lendirnya ia berbisik. "Masukkan To.. Dorong".
Kudorong pantatku dengan pelan dan akhirnya batang meriamku bisa masuk dengan lancar ke dalam guanya. Ema memelukku dan menciumi daun telingaku. Aku merinding. Dadanya yang besar dan padat menekan dadaku. Kucium bibirnya dan kuremas buah dadanya. "Ouhh ayo To.. Aku.. Dorong leebih kuat.. Ayo dorong.." Aku menurunkan pantatku dan segera penisku sudah tengelam dalam lubangnya. "To.. Enak sekali, aku.. Oukhh"
Ia memekik kecil, lalu kutekan kemaluanku sampai amblas. Tangannya mencengkeram punggungku. Tidak terdengar suara apapun dalam kamar selain deritan ranjang dan lenguhan kami. Kucabut kemaluanku, kutahan dan kukeraskan ototnya. Pelan-pelan kumasukkan kepalanya saja ke bibir gua yang lembab dan merah. Ema terpejam menikmati permainanku pada bibir kemaluannya. ".. Hggk..". Dia menjerit tertahan ketika tiba-tiba kusodokkan kemaluanku sampai mentok ke rahimnya.
Kumaju mundurkan dengan pelan setengah batang beberapa kali kemudian kumasukkan dengan kuat sampai semua batangku amblas. Ema menggerakkan pinggulnya memutar dan mengimbangi irama naik turunku sehingga kami bisa sama-sama meraskaan kenikmatan yang luar biasa. Kejantananku seperti dipelintir rasanya. Kusedot payudaranya dan kumainkan putingnya dengan lidahku. Ema seperti mau berteriak menahan sesuatu. Ia memukul-mukul dadaku dan menggigitnya dengan liar. "Auuhkhh.. Terus.. Teruskan.. Anto.. Enak sekali.. Ooh"
Kini kakiku menjepit kakinya. Ternyata vaginanya nikmatnya memang luar biasa, meskipun agak becek namun gerakan memutarnya seperti menyedot penisku. Aku mulai menggenjot lagi. Ema seperti seekor kuda liar yang tidak terkendali. Keringat membanjiri tubuh kami. Kupacu tubuh Ema untuk mendaki lereng terjal kenikmatan. Kami saling meremas, memagut, dan mencium. Kubuka lagi kedua kakinya, kini betisnya melilit di betisku. Matanya merem melek. Aku siap untuk memuntahkan peluruku. "Ema, aku mau keluar.. Sebentar lagi Ema.. Aku mau..". "Kita sama-sama To, Ouououhh..". Ema melenguh panjang.
Sesaat kemudian.. "Sekarang Ema. Ayo sekarang.. Ouuhh" Aku mengerang ketika peluruku muntah dari ujung rudalku. "Anto.. Agghh" kakinya menjepit kakiku dan menarik kakiku sehingga kejantananku tertarik mau keluar.
Aku menahan agar posisi kemaluanku tetap dalam vaginanya. Matanya terbuka lebar, tangannya mencakar punggungku, mulutnya menggigit dadaku sampai merah. Kemaluan kami saling membalas berdenyut sampai beberapa detik. Setelah beberapa saat kemudian keadaan menjadi sunyi dan tenang. Sebelum mandi pagi, aku sebenarnya masih mau naik sekali lagi, namun ia menolaknya dengan alasan lelah dan sudah pagi.
Esok paginya kami berpisah. Kami berjanji untuk bertemu minggu depan. Aku sempat memberikan kartu namaku dan meminta nomor teleponnya, tetapi ia tidak mau memberikannya. Minggu depannya aku menunggu di tempat yang kami sepakati, namun ternyata ia tak datang dan aku tak tahu harus mengubunginya kemana.

Tidak ada komentar: