Jumat, 14 Maret 2008

Kenangan di KA Argo Muria

Jumat pagi, 16 Mei 2003, aku kembali ke Jakarta setelah bertugas di Semarang sejak hari Senin. Karena Sabtu pagi aku ada undangan pernikahan temanku, maka kupaksakan diri untuk naik kereta pagi. Ya, aku naik Argo Muria pagi, dan benar-benar berangkat pukul 05.00 pagi. Sengaja aku memilih kereta api, karena aku ingin menikmati suasana pagi di sepanjang perjalanan.
Akibat semalam kurang tidur (aku dijamu oleh rekan di Semarang), hampir saja aku ketinggalan kereta. Tidur jam 01.00, terbangun karena kaget jam 04.15. Terpaksa aku hanya mandi koboy. Yang penting bisa gosok gigi dan pakai parfum. Terburu-buru aku meninggalkan hotel di daerah candi, dan kupaksa sopir taksi memacu kendaraan. Terbukti, aku bisa sampai di stasiun Tawang hanya lima menit sebelum kereta berangkat.
Sampai di atas kereta, aku merebahkan diri, tidur-tiduran dan ternyata benar ketiduran. Aku baru terbangun gara-gara seseorang mencolek lenganku, dan aku merasa nafas hangat menerpa pipiku. "Minum teh atau kopi, Pak?", seorang wanita bertanya lembut padaku. Oh, ternyata sang pramugari menawarkan minuman pagi. Segera kuminta teh panas, sekaligus aku memesan kopi susu satu gelas besar. Tak berapa lama, pesananku tiba, dan aku tersenyum padanya sebagai tanda terima kasih bahwa dia telah mengantarkan pesananku dengan cepat. Ia pun tersenyum ramah namun penuh arti kepadaku. Sempat kulirik name tag-nya, ternyata namanya Risma.
Sambil menikmati kopi susu panas, aku mengobrol sebentar dengan penumpang sebangku, sekedar membunuh waktu. Karena benar-benar kurang tidur, maka aku pun tertidur kembali. Nyenyak sekali rasanya tidurku, sebab aku terbangun pukul 08.30, dan tepat pada saat itu, Risma dan rekannya ternyata sedang membagikan sarapan pagi.
Ah.., manis benar anak ini. Kulitnya kuning langsat, tampaknya dia rajin lulur, semampai, dadanya kutaksir berukutan 36B. Dan pantatnya, terbuai aku melihatnya. Apalagi saat itu dia mengenakan rok mini ketat seragam setinggi 15 cm di atas lutut, membuatku bebas menikmati pahanya yang selicin lilin. Hatiku berdebar, darah kelelakianku terasa mengalir, adrenalinku terpacu. Kemudian sampailah dia ke deretan tempat dudukku. Karena stok yang tersedia berada di bawah (dia dan temannya mendorong trolley seperti trolley yang ada di pesawat), maka dia harus berjongkok untuk mengambil nampan yang berisi sarapan pagi. Sengaja kupandangi pahanya yang benar-benar licin terawat sambil berharap aku bisa melihat lebih jauh (aku duduk di pinggir dekat aisle/gang). Tapi ternyata aku hanya bisa melihat sepasang paha yang terkatup rapat. Ah, sialnya.., dan ternyata aku sial dua kali karena dia mengetahui arah pandang mataku. Deg! Aku terkejut dan malu hingga kubuang pandanganku ke arah jendela. Namun demikian aku tak dapat menahan keinginanku untuk melirik ke arahnya lagi. Dan dia melakukannya untuk yang kedua kalinya, berjongkok mengambil nampan, dan.., thank God, kali ini aku bisa mengintip celana dalamnya yang warnanya ungu, serasi benar dengan warna seragamnya. Tiga kali aku melihat pemandangan indah itu yang makin lama ternyata makin lebar dia buka. Kembali, darah kelelakianku bergejolak memberontak, menuntut pelepasan, apalagi ditambah ekstra bonus saat ia menyerahkan nampan kepadaku dengan agak membungkuk hingga tampak dua pasang bukit kembar yang benar-benar.., ah.., aku hanya mampu menelan ludah.
Segera kunikmati sarapan pagiku, dan selesai sarapan aku menuju bordes untuk merokok. Cukup lama aku berada di bordes, dua batang Dji Sam Soe aku habiskan. Aku benar-benar pusing akibat pemandangan indah tadi. Sambil merokok aku berkhayal, seandainya aku bisa membelai paha mulus itu, meremas payudaranya yang montok itu, ah.., nikmatnya. Tapi apa boleh buat, aku hanya sebatas berkhayal, karena aku tidak punya keberanian untuk memulai.
Makin lama ternyata hasrat ini tak mampu kubendung. Segera kunyalakan Dji Sam Soe yang ketiga. Pada saat yang sama, Risma melintas lagi, entah hendak kemana. Entah setan apa yang mampir di benakku, tahu-tahu aku sudah mencekal tangannya. "Mbak, sorry, tadi waktu ngasih sarapan maksudnya apa, kok pake buka-buka paha?", tanyaku kasar. "Lho, bukannya Bapak yang memang berniat ngintip saya?", sergahnya. "Saya tadi melihat Bapak kayaknya berusaha ngintip celana dalam saya, ya sekalian aja saya buka. Memangnya kenapa?". "Kamu nggak takut kalo aku birahi, Ris?", kataku. "Soal birahi atau enggak, itu urusan Bapak. Saya 'kan cuma memperjelas aja, biar Bapak nggak penasaran. Kalo Bapak pengen lebih dari itu, maaf, memangnya saya ini cewek apaan?", Risma mulai kesal denganku.
Tak tahan kuseret dia ke toilet hingga Risma menjerit-jerit minta tolong, tapi suaranya tertelan gemuruhnya roda-roda Argo Muria yang sedang melaju dengan kecepatan penuh. Di dalam toilet, kusingkap rok mininya, dan rupanya ia mengenakan G-String. Pantas saja, aku tidak melihat garis celana dalam di balik rok mininya. Tanpa ampun, kutarik G-Stringnya hingga robek, dan segera kujilat vaginanya dengan rakus. Cukup sulit melakukannya karena selain toilet yang sempit, goncangan kereta, diapun memberontak sambil berusaha mengatupkan pahanya atau menendangku. Tapi aku tidak menyerah. Kepalang basah, sudah berduaan di toilet, kalau nggak tuntas, aku sendiri yang rugi.
Aku mulai merasakan ada cairan mengalir dari lubang surgawinya. Setelah kurasa cukup basah, kuhentikan aktivitasku. Kupandangi matanya yang mulai sayu, tanda bahwa ia mulai terangsang juga. "Kamu keberatan kalau aku bertindak lebih dari ini?". "Maksud Bapak..?", Risma tak memahami pertanyaanku. "Kontolku udah keras banget, Ris. Dia pengen dituntaskan", sahutku. "Tolong Pak, jangan.., saya belum pernah begituan.., tolonglah Pak..", Risma memohon kepadaku. Rupanya ia masih perawan sehingga ia sangat ketakutan kalau aku menyetubuhinya.
Aku tak peduli lagi, dan segera kubalikkan badannya sehingga memunggungiku. Kupaksa agar dia membungkuk, dan dengan posisi doggy style, kuterobos memeknya yang sudah sangat basah itu dengan kontolku yang sudah menegang kemerahan. "Aaww.., Paakk.., ssaakiitt..", Risma menjerit kesakitan akibat keperawanannya kutembus. Aku sendiri merasakan ada sesuatu yang sobek di dalam lubang surganya. Aku tak peduli, dan segera dengan gerakan memutar, kukocok penisku. Risma rupanya sudah mulai bisa menikmati permainanku. Terbukti, ia tak lagi melawan atau menolakku tetapi aku bahkan merasa pinggulnya bergoyang mengimbangi permainan penisku. Tak lupa, kulucuti juga blazer dan kaos dalamnya. Begitupun dengan BH-nya, segera kurenggut paksa karena aku sudah tak sabar ingin meremas payudaranya. Nampak Risma sudah telanjang bulat, dan aku makin bernafsu melihat tubuhnya yang kuning langsat mulus.
Sambil kuentot, kuremas payudaranya dan kupilin putingnya seperti aku memilin kapas. Risma bergetar dan menggelinjang menahan nikmat. Secara tiba-tiba kucabut penisku dari memeknya, dan kubalikkan Risma sehingga kami kini berhadap-hadapan. Kuserbu bibirnya yang mungil, perlahan aku turun ke lehernya yang jenjang, dan kuhisap habis putingnya yang berwarna coklat muda. Risma kaget dan menggeram karena ternyata pusat rangsangannya ada di putingnya. Kumainkan bergantian payudara montok itu, kuhisap dan kukulum yang kiri, kuremas yang kanan begitu pula sebaliknya.
Puas dengan kedua bukit kembarnya, lidahku turun menyusuri perutnya yang rata, dan mataku terpaku melihat semak belukar yang begitu lebatnya. Tampak sekali belukar itu basah kuyup oleh lendir memeknya yang bukannya merembes tetapi mengalir seperti anak sungai. Ya, Risma ternyata tipe perempuan becek, dimana perempuan seperti inilah yang sangat kusukai. Tak sabar, kukuakkan memeknya hingga tampak percikan darah perawannya di labia mayoranya dan aku sangat terkejut melihat ada tonjolan sebesar kacang merah mencuat menantang. Merah sekali. ternyata itil Risma benar-benar besar. Baru kali ini aku melihat itil perempuan sebesar ini, dan mencuat keluar, tegang seperti penisku yang tegak mengacung.
Tanpa membuang waktu segera kujilat dan kukulum itil Risma. Seiring dengan kulumanku, Risma menggelinjang hebat, dan nafasnya semakin memburu. Perlahan tapi pasti lendir memeknya mulai mengalir deras membasahi mulutku. Sambil menahan nikmat, Risma menjambak rambutku dan aku merasakan cairan hangat menyemprot wajahku, rasanya agak-agak asin tapi nikmat sekali. Ternyata karena tidak kuat menahan nikmat Risma sampai terkencing-kencing, walaupun dapat kurasakan kalau dia masih belum mencapai puncaknya. Tak kusia-siakan, kuteguk semua cairan yang keluar dari memeknya habis-habisan. Rupanya akibat perlakuanku di itilnya, Risma makin tak dapat menguasai gejolak birahinya. Iapun memohon agar aku meneruskan kocokan penisku di memeknya, karena ia merasakan lagi kalau seperti mau pipis. Segera aku berdiri, dan sebelah kaki Risma kuangkat dan kusangga dengan tanganku. Dengan posisi ini penisku bisa menstimulasi itilnya lebih maksimal. Risma memeluk tubuhku, dan memejamkan mata seolah menikmati permainan surga ini.
"Ris, kamu ngerasa diperkosa nggak?", tanyaku. "Emmhh.., sshh.., eeng.., ggaakk.., ooouuffhhh..", rintihnya. "Kok..?", aku bertanya lagi sambil mempercepat kocokan penisku di vaginanya. Kurasakan tubuh Risma mulai limbung dan aku yakin dia akan segera mencapai puncaknya. Maka tanganku pun segera meraba itilnya yang ternyata terasa sekali makin mencuat dan keras. "Ssshhh.., mmhhh.., een.., nnaakkk.., sss.., sssee.., kkkaa.., llliii.." "Ooohh.., tadinya kupikir.., nggak.., se.., enak ini.." Kata-katanya mulai terputus, nafasnya makin memburu dan akhirnya segera kucabut penisku dan aku kembali ke posisi doggy style lagi. "Paakk.., akk.., kkuuu.., ppee.., nggeeen.., pi.., piisss.., aahh.." Akhirnya Risma menghentak-hentakkan paha dan pinggulnya dengan sangat liar. Mulutnya meracau pertanda ia mendapat kenikmatan yang luar biasa. Ya, Risma telah mencapai puncaknya. Aku pun mulai tak tahan, melihat geliat pinggul dan pantatnya yang putih bak lilin itu hingga akhirnya.. "Riiss.., Rriissmmaa.., aku kelluaarr..", aku mengerang dan kocokanku makin kupercepat. Risma tersentak akibat semprotan spermaku yang langsung menembus rahimnya, namun tidak bisa berbuat banyak, karena aku memeluk dia erat-erat hingga akhirnya kami berdua jatuh karena lemas. Sejenak kami berpelukan dan berciuman lembut, rasanya aku tak ingin melepaskan penisku dari vaginanya. Ya, walaupun sudah muncrat, penisku masih tegang di dalam vaginanya.
"Pak.., kalo aku hamil gimana?", Risma bertanya cemas. "Jangan khawatir, ini alamat dan nomor teleponku", aku menenangkannya seraya memberikan kartu nama dan nomor teleponku. "Aku akan bertanggung jawab atas benih yang telah aku tanam. Tapi berjanjilah padaku, kamu tidak akan melakukannya dengan orang lain" "Ah.., paling teleponnya palsu..", Risma mencibir. "OK, kalo nggak percaya kamu boleh coba sekarang ke HP-ku. Dan nanti malam sekitar jam 19.00 ke telepon rumahku. Malam ini kamu nggak kembali ke Semarang kan?" Kamipun berdiri dan saling membersihkan tubuh. Tapi karena G-String Risma robek, akhirnya dengan terpaksa ia keluar dengan tanpa mengenakan celana dalam. Dan aku sangat beruntung mendapat kenang-kenangan celana dalam itu.
Dan tepat pada pukul 19.00, Risma meneleponku. Kami berdua bercanda dan Risma mengeluh kalau vaginanya masih terasa perih bercampur pegal. Maklum, diperawani di toilet kereta api. Kami berjanji untuk saling bertemu jika Risma berada di Jakarta atau sebaliknya. Dan Risma berjanji akan menginap di rumahku minggu depan, karena dia bertugas di Argo Muria pada shift malam dan memintaku untuk menjemputnya di stasiun Gambir.

Tidak ada komentar: