Linggawati adalah seorang sales marketing sebuah produk yang digunakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Ia minta dipanggil Ling-Ling atau Aling. Kebetulan aku yang menangani pembelian produk yang dipasarkannya. Kami baru bertemu kira-kira dua minggu yang lalu ketika dia datang ke kantor untuk menawarkan produk. Panjang lebar ia menjelaskan dan meyakinkanku tentang produk yang ditawarkannnya. Akhirnya kami sepakat untuk membeli produk tersebut dengan garansi, apabila produk tersebut tidak bagus, maka pembayaran mendapatkan potongan 50% dan pembelian berikutnya dibatalkan.
Setelah produk tersebut dikirimkan ke lapangan dan diuji coba, maka supervisor lapangan menyatakan bahwa produk tersebut tidak sesuai dengan apa yang tertera dalam label sertifikasi. Aku segera menelpon Aling dan memberitahukannya tentang hasil uji coba di lapangan. Ia sangat terkejut ketika kuberitahu hasilnya kurang memuaskan. Ia berjanji akan datang ke kantor untuk membicarakan hal tersebut. Kalaupun hasilnya kurang bagus ia meminta agar dibuat berita acara hasil uji coba di lapangan.
Ketika ia datang ke kantor, aku sedang berbicara dengan supervisor lapangan di telepon. Begitu tahu Aling datang maka kusampaikan agar Aling langsung berbicara dengan supervisor. Aling tampak penuh percaya diri ketika berbicara dengan supervisor rekanku. Akhirnya dengan lega Aling menutup telpon dan meminta masuk ke ruang meeting untuk memberitahukan hasilnya. Perusahaanku memang bukanlah perusahaan besar dan aku sendiri tidak mendapat ruangan khusus. Hanya Direksi saja yang mempunyai ruangan tersendiri.
Kamipun masuk ke ruang meeting untuk mendiskusikan masalah ini.
“Pak Anto, ternyata ada kesalahan pemakaian produk saya di lapangan dan saya sudah memberitahu cara pemakaian yang benar. Mungkin hasilnya akan dapat dilihat seminggu lagi,” katanya membuka pembicaraan. “Oh ya, terima kasih kalau rekan-rekan dilapangan sudah diberitahu cara pemakaian yang benar. Maaf sudah merepotkan dan menyusahkan Ibu Aling”. “Ah tidak apa-apa. Itu sudah menjadi bagian tugas saya kok. Kalau pelanggan puas kan saya senang juga,” katanya sambil menatapku.
Aku balas menatapnya dan sekarang baru kulihat bahwa gadis peranakan China ini punya pesona tersendiri. Tubuhnya yang langsing, dengan tinggi kukira sekitar 165 cm, rambutnya panjang terurai sampai di punggungnya, muka oval, bibir tipis, dada yang kencang dan segar membusung di balik bajunya dan kulitnya yang, so pasti, kuning mulus. Hanya sayang hidungnya sedikit mancung ke dalam dan ada sedikit bekas jerawat di pipinya. Tapi overall nilainya kukira dapat 7,5. Dan stocking hitam membungkus kakinya yang indah. Degup jantungku agak sedikit kencang ketika melihat kakinya itu. Ia duduk tepat di depanku dan meskipun ia duduk dengan merapatkan pahanya, namun pikiranku sudah membayangkan apa yang ada di balik rok span hijaunya.
Aku tiba-tiba aku tersentak ketika tersadar bahwa kami sedang berbicara di dalam ruang meeting. “Oh.. Sorry, sampai di mana tadi ya?” tanyaku tergagap.“Bapak ini melamun terus. Malam minggu masih lama, sekarang baru Selasa. Begini saja Pak, nanti saya tunggu laporannya minggu depan. Mudah-mudahan puas dengan produk kami dan bisa menjadi customer kami”. “Ya tentu saja, mudah-mudahan saja Ibu… Eh maaf, produk Ibu bisa kami pakai,”
Aku sengaja memelesetkannya dan menunggu reaksinya. Ia hanya tersenyum lebar tanpa mengomentari perkataanku. Akhirnya dia mohon diri untuk kembali dan melaporkan hasil pertemuan ini pada pimpinannya.
Kurang lebih seminggu kemudian aku mendapat laporan dari lapangan bahwa ternyata setelah diulang sesuai dengan rekomendasi Aling maka hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan produk yang lama. Aku segera menelpon Aling untuk memberitahukan tentang hasil uji coba kali ini, namun menurut operator di kantornya dia sedang pergi ke Bank. Aku hanya menitipkan pesan supaya nanti ia menghubungiku. Menjelang sore aku baru dapat telpon dari Aling.
“Pak Anto, tadi telepon ke kantor ya? Sorry tadi aku ke Bank sebentar,” katanya. “Iya, tadi telpon mau kasih tahu hasil uji coba produknya”.“Bagaimana Pak? Masih ada komplain? Atau puas dengan saya… Maksud saya produk kami?” Tanyanya bertubi-tubi dengan nada penuh ingin tahu dan yang terakhir tadi aku tidak tahu apakah ia sengaja memelesetkan kata-kata atau sekedar menggodaku saja. “Excited, the great satisfaction”.“Baiklah kalau begitu sudah bisa saya siapkan tagihannya dong”.“Ibu ini kalau masalah uang cepatnya bukan main. Bagianku mana?” kataku menggodanya. “Benar nih Pak? Beritahu saja rekening Bapak, nanti saya transfer”. “Ah nggak, cuma bercanda saja kok”. “Beneran juga nggak pa-pa, itu biasa. Toh Bapak juga telah membantu untuk menerima produk kami”.
Aku tetap menolak, karena idealismeku yang mengharuskanku untuk menolak pemberian dari rekanan. Akhirnya, “Ya sudah kalau Bapak nggak mau, tapi ijinkan saya atas nama perusahaan dan kalau nanti malam tidak ada acara kami ingin mengajak Bapak makan malam”. “Oke, kalau urusan makan saya tidak berani menolaknya”. Aku memang hobi makan, namun badanku juga tidak terlalu overweight.
Setelah jam kantor akupun langsung menuju ke restoran yang sudah disepakati. Aku sengaja tidak pulang dulu, takut nggak keburu lagi. Sampai di restoran kurang lebih jam setengah enam, kulihat Aling sudah duduk sendirian di meja yang terletak di sudut ruangan.
“Selamat malam Bu Aling. Sorry terlambat nih,” kataku. “Malam juga, nggak kok. Saya juga baru sampai dan lihat-lihat menu. Pak Anto mau makan apa. Oh ya, pimpinan saya minta maaf tidak bisa ikut, beliau titip salam untuk Bapak”.“Terserah Ibu saja, saya makan apa saja bisa kok. Satu yang nggak bisa saya makan hanyalah makanan yang nggak enak. Minumnya saya minta orange juice”. “Baiklah kalau begitu,” katanya sambil menulis pesanan kami.
Sambil menunggu pesanan kami mengobrol. Mulanya hanya masalah pekerjaan berkaitan dengan produk yang kami pakai. Lama kelamaan mulai masuk dalam pembicaraan yang lebih pribadi. Akhirnya kami saling memanggil nama saja, toh usia kami tidak berbeda jauh. Usianya hanya setahun lebih muda dariku. Ternyata ia berasal dari Bangka, dan di Jakarta baru dua tahun.
Akhirnya ia bercerita bahwa sebenarnya ia sudah mempunyai seorang anak di luar nikah karena kecelakaan, dan sekarang anaknya dititipkan ke Engkongnya di Bangka. Akupun memberikan empatiku dengan mengatakan bahwa semua orang punya masa lalu yang mungkin saja tidak baik, namun kalau kita selalu memandang ke masa lalu maka masa depan yang ada di hadapan kita akan terlewatkan.
Kami makan dengan cepat. Selesai makan, kamipun keluar restoran dan ia menawariku untuk mengantarku pulang. Aku memang belum dapat jatah mobil kantor. Ada satu mobil kantor yang nganggur dan biasa kupakai, tapi sewaktu-waktu diperlukan aku harus rela naik kendaraan umum. Sore ini mobil tersebut sedang dipakai ke Tanjung Priok untuk mengawasi pemuatan barang di kapal.
Sambil menyetir Aling pun mulai bercerita lagi tentang dirinya, “Aku masih muda dan bodoh waktu itu. Ketika kekasihku mengajakku untuk melakukan hal itupun aku tak bisa menolaknya. Aku hamil setelah melakukannya beberapa kali. Celakanya Ahin, kekasihku menolak untuk bertanggungjawab dan memilih pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahnya”. “Sudahlah, Ling. Itu masa lalu yang mestinya bisa kau kubur. Tidak ada seorangpun yang menginginkan hal seperti itu terjadi dalam kehidupannya. Lagipula sekarang ini di Jakarta orang akan lebih menghargai prestasi seseorang daripada melihat ke masa lalunya.
Rumah Aling ternyata satu jalur dengan rumahku, rumahnya terlebih dahulu dan empat kilometer kemudian barulah rumahku. “To, kita mampir ke apotik sebentar ya! Ada obat yang akan aku beli. Kalau nggak keberatan mampir ke rumahku dulu, aku masih ingin ngobrol denganmu. Sepertinya ngobrol denganmu ada satu sudut pandang tersendiri. Kamu bisa memberikan rasa percaya diri dan mengomentari sesuatu dari sudut positifnya,” katanya sambil memarkir mobilnya di depan sebuah apotik.
Aku hanya menunggu di mobil saja, karena Aling melarangku turun, katanya sebentar saja kok. Ternyata memang hanya sepuluh menit Aling sudah keluar dari dalam apotik. “Sebentar saja kan? Sekalian Anto jagain mobilku, hi… Hi… hikk,” ia tertawa ketika masuk ke dalam mobil.
Jam baru menunjukkan pukul setengah delapan ketika kami sampai di rumahnya. Sebuah rumah kontrakan yang cukup lumayan untuk seorang gadis muda sepertinya. Kamar tidurnya ada dua, ruangan tamu yang kecil namun asri dan dapur dengan gaya minimalis. Aku duduk di sofa ruang tamu.
“Sebentar To, aku ganti pakaian dulu. Oh ya, mau minum apa?” katanya. “Martini satu gelas dengan es batu,” kataku menggodanya. “Ihh, nggak ada lah ya. Emangnya disini bar?” katanya serius. “Ya sudah kalau nggak ada. Air es juga sudah cukup kok,” kataku sambil tertawa. “Dasar. Emang tukang ngegoda.. Sebentar ya, tiga menit lagi minuman sudah siap,” katanya sambil berjalan ke dalam kamarnya.
Setelah berganti pakaian Aling keluar dari kamar dan ke dapur. Tak lama kemudian iapun kembali ke ruang tamu dengan dua gelas air dingin dari kulkas. Tanpa menunggu ditawari kuteguk isi gelasku sampai habis. Ia tersenyum dan berkomentar.
“Kasihan. Haus ya? Kalau kurang gelas satunya boleh kau minum lagi!”“Cukup kok, tapi biar aja gelas satunya lagi untukku”. Aling mengangsurkan gelasnya di depanku. “Untukmu,” katanya. “Lho terus minum kamu mana?” tanyaku. “Biar aja. Aku nggak begitu haus. Lagian kan gampang saja entar kalau haus. Di kulkas masih banyak air putih”.
Aling duduk di depanku. Ia memakai celana pendek santai dengan kaus oblong putih tipis yang longgar. BH nya yang berwarna merah tampak jelas membayang di balik kausnya. Dari bawah lengan kausnya kadang-kadang bisa terlihat pangkal payudaranya yang padat. Sementara pahanya yang mulus sering terlihat saat ia mengubah posisi duduknya. Pada saat pangkal buah dadanya atau paha mulusnya tersingkap tentu saja aku merasa tertantang, namun aku tidak berani memulai atau membawa pembicaraan kami agar lebih mengarah. Adik kecilku sudah mulai bereaksi, namun tidak sampai mendesak celanaku.
Akhirnya kami terhanyut dalam obrolan panjang. Ia yang lebih banyak mendominasi pembicaraan. Aku hanya mendengarkan saja dan sesekali mengomentari apa yang diucapkannya. Kelihatannya ia senang ada yang mendengarkan dan menanggapi keluhannya. Ia sering menatapku dengan pandangan tajam dan menyiratkan suatu keinginan. Aku masih ragu dengan situasi ini. Kalaupun terjadi hal-hal yang diinginkan, aku harus yakin bahwa aku menguasai keadaan.
Setelah jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan akupun minta diri untuk kembali ke rumahku. Ia hanya menatapku tanpa mengiyakan. Aku berdiri dan sampai di depan pintu sekali lagi aku berpamitan. Kembali ia hanya diam saja. Aku kebingungan sendiri. Aku merasa bahwa gadis ini menginginkan sesuatu, namun aku sendiri tidak yakin dengan perasaanku sekarang ini. Lagipula ia seorang gadis Chinese mana mungkin menghendaki diriku yang berkulit coklat agak gelap ini.
Aku berjalan ke pintu pagarnya dan kulihat Aling menutup pintunya. Ketika aku membuka pintu pagar kulihat bayangan di balik korden jendela. Aku putuskan apa salahnya mencoba keberuntunganku malam ini. Aku akan kembali masuk ke dalam rumahnya dan berdalih mengambil sesuatu yang tertinggal.
Belum sempat aku mengetuk pintu, Aling telah membuka pintu dan menarik tanganku ke dalam rumahnya. Aku tahu saat ini aku tidak bisa mengelak lagi. Begitu pintu tertutup, maka Aling sudah berada dalam pelukanku.
“Kalau aku salah tangkap atas sikapmu maafkan aku dan aku akan pulang, namun…,” kataku memancingnya. Belum selesai aku berbicara, Aling telah mencium pipiku dan membalas memelukku. “Kamu sadar Ling, kemana arah kita ini?” tanyaku lagi. “Aku sangat sadar dan menginginkanmu malam ini. Please… Anto,” ia mendesah.
Kucium bibir tipisnya dengan lembut. Ia membalasnya dan lama kelamaan ciuman kami sudah menjadi lumatan yang ganas. Lidahku menerobos masuk ke dalam ke mulutnya dan menyapu langit-langit mulutnya. Aling menggeliat dan membalas ciumanku dengan membalas mendorong lidahku. Lidahnya kusedot dan tanganku mulai bekerja di dadanya. Kuremas dadanya dengan lembut. Payudaranya masih terasa padat. Jariku menjalar dari dada ke arah perut terus ke bawah hingga ke pahanya. Kuusap pahanya dari luar celana pendeknya. Lidahku kini beraksi menggelitik lubang telinganya.
Aling mulai membuka kancing kemejaku satu per satu. Ketika semua kancing kemejaku sudah terlepas, maka ia mengusap dadaku dan merebahkan kepalanya. Aku memeluknya sambil berjalan ke kamarnya. Sambil berjalan kuusap pinggulnya. Tubuhnya padat dan kencang.
Sampai di dalam kamar kusapukan bibirku ke lehernya dan pelan-pelan bergerak ke bawah sambil menciumi dan menjilati leher mulusnya. Aling semakin merepatkan tubuhnya ke tubuhku, dadanya yang padat menekan keras dadaku. Dengan perlahan ia melepas bajuku. Kembali diiusap-usapnya dadaku dan putingku dijilatinya dengan lembut.
Kusingkapkan kausnya dan kubuka lewat kepalanya. Payudaranya tertutup BH warna merah yang tampak kontras sekali dengan warna kulitnya. Tangannya menarik ritsluitingku dan kemudian membuka celana panjangku. Tanganku pun tak mau kalah membuka celana pendeknya. Aku mendorongnya ke ranjang dan kutindih tubuhnya. Tanganku bergerak ke punggungnya dan membuka BH-nya. Dadanya kini terbuka polos di hadapanku. Buah dadanya membulat cukup besar dan kencang dengan putingnya yang berwarna kemerahan mengeras dan berdiri tegak.
Muluku menyusuri wajah, bibir dan lehernya. Aling mendorong lidahnya jauh ke dalam rongga mulutku kemudian memainkan lidahku dengan menggelitik dan memilinnya. Sesekali lidahku membalas mendorong lidahnya. Kami saling memilin lidah dan berpagutan ganas hendak menuntaskan gairah birahi yang semakin meninggi. Tanganku memilin puting serta meremas payudaranya.
Tanganku bergerak ke bawah dan menarik celana dalamnya. Ia sedikit mengangkat pantatnya agar memudahkanku melepas celana dalamnya. Payudaranya yang sebelah kiri kuisap dan kujilati, sementara yang sebelah kanannya kuremas dengan tangan kiriku. Kulakukan demikian berganti-ganti. Aling mengerang dan merintih ketika putingnya kugigit. Kuamati sejenak kulit tangannya dan tanganku. Terasa sangat kontras, kulitku coklat gelap sementara kulitnya putih mulus khas bangsa Chinese.
“Upps… Anto. Ououououhhh… Nghgghhh, Anto ayo teruskan… Ouuhhh… Anto” Aling melenguh. Payudaranya kukulum habis. Aling menggoyang-goyangkan kepalanya menahan desakan kenikmatan. Kucium lehernya sampai ke tengkuk. Akupun sudah tidak tahan. Kejantananku sudah mengeras, siap untuk menuntaskan gairah yang terpendam. Tangannya menurunkan celana dalamku sampai ke paha dan dengan kakinya ia melepas celana dalamku.
Ia berbisik di telingaku, “To, pakai kondom. Ambil di bawah bantal. Sorry, tapi aku tidak mau kejadian yang dulu terulang lagi. Lain kali aku akan pakai kontrasepsi lainnya, mungkin kurang nikmat namun kali ini tidak ada cara lain”. Kuambil kondom di bawah bantalnya dengan muka heran. Ia tersenyum, “Jangan berpikiran yang bukan-bukan. Selama ini aku tidak menyimpan kondom di rumah, tapi kamu ingat kalau aku tadi singgah ke apotik kan?”
Kurobek pembungkusnya dan segera kupasang kondom dengan rapi di penisku yang sudah sangat keras. Kukocok sebentar untuk meyakinkan ketegangan penisku. Perlahan kumasukkan kejantananku ke dalam liang kemaluannya. Ketika kepala penisku sudah melewati bibir guanya maka kudorong dengan satu hentakan keras sehingga ia melenguh. “Uuuhhh… Anto… Auuw,” katanya. Kudorong kejantananku dengan keras dan penuh tenaga. Kini kejantananku sudah bergerak maju mundur di dalam lorong kenikmatannya.
Kucabut kemaluanku, kutahan dan kukeraskan ototnya kemudian pelan-pelan kugesekkan dan kemudian kumasukkan kepalanya saja ke bibir guanya yang lembab dan merah. Aling terpejam menikmati kontraksi kemaluanku pada bibir kemaluannya.
“Hgggk… Ouhhh.. Nikmat To…” Dia menjerit tertahan ketika tiba-tiba kusodokkan kemaluanku sampai mentok ke rahimnya. Kumaju mundurkan dengan pelan setengah batang sampai lima hitungan kemudian kusodokkan dengan kuat sampai semua batangku amblas. Aling menggerakkan pinggulnya memutar dan naik turun sehingga kami sama-sama mengalami kenikmatan yang luar biasa. Kusedot payudaranya sampai ke pangkalnya dan kumainkan putingnya dengan lidahku.
Aku pernah dengar bahwa kemaluan wanita Chinese lebih basah dan becek dibandingkan milik wanita Melayu. Ternyata memang benar. Vagina Alingpun terasa becek dan sangat licin. Kuraih tissue di atas kepala ranjang. Kucabut kejantananku sesaat dan kulap vaginanya dengan tissue. Aling kelihatannya tidak suka, namun kubisikkan.
“Sorry Ling, terlalu basah. Ditambah dengan memakai kondom, sangat jauh kenikmatan yang kuharapkan”. Iapun mengerti, namun dengan cepat ia meraih kejantananku dan langsung mengarahkannya pada vaginanya. Pantatnya naik menyambut penisku. Kini keadannya agak lumayan, meskipun belum sepenuhnya memenuhi keinginanku. Aku lebih mengandalkan kontraksi penisku untuk menstimulirnya.
Kami sama-sama bergerak untuk mendapatkan kenikmatan. Semakin lama gerakan kami semakin cepat dan liar. Dalam posisi kemaluanku terbenam seluruhnya aku menciumi bibir, leher dan payudaranya serta menggerakkan otot kemaluan. Aling bergetar menggigil menahan kenikmatan. Ia menggigit dadaku dan tangannya memukul-mukul punggungku seperti histeris.
“Auuhkhh… Terus… Teruskan.. Anto.. Nikmat.. Ooh” Kakiku bergerak sehingga kedua kakiku berada dalam posisi di luar kedua kakinya.. Aku menghentikan kontraksiku dan mulai menggenjot lagi. Aling seperti seekor kuda betina dari padang gurun. Tubuhnya seakan melonjak-lonjak dan sukar dikendalikan. Akhirnya tidak ada suara apapun di dalam kamar itu selain desah napas kami yang memburu beradu dengan suara paha bertemu dan derit ranjang. Keringat sudah membanjir di tubuh kami. Kupacu kuda betinaku mendaki lereng terjal kenikmatan. Kami saling memagut, mencium dan menjilati bagian tubuh pasangan kami.
Kubuka lagi kedua kakinya, kini kakinya yang membelit pinggangku. Matanya terpejam dan mulutnya setengah terbuka seperti ikan di dalam kolam yang kering. Badannya menggantung di tubuhku. Kini aku siap untuk menembakkan peluruku.
“To… Anto, sebentar lagi Anto… Aku mau sampai”. “Ling Ouh… Akupun juga sayang, kita sama-sama…” “Sekarang To sekarang… Ouuhhh” Aku merasakan aliran yang kuat menerjang keluar dari lubang kejantananku. Aku mengejang ketika aliran kepuasan tersebut membersit keluar.
“Anto… Agghhh” kakinya menjepit kakiku dan mengejang sehingga kejantananku seperti tertarik mau keluar dari vaginanya. Aku tetap menekan pinggulku menahan agar penisku tetap berada dalam vaginanya. Matanya terpejam, tangannya meremas rambutku, mulutnya mengerang menyebut namaku. Kemaluan kami masih saling berdenyut sampai beberapa detik. Setelah beberapa saat kemudian keadaan menjadi sunyi menyusul napas kami yang mulai teratur.
Kami saling membersihkan diri di bawah shower. Ketika kembali ke kamar ia memintaku untuk menginap di rumahnya saja. Akupun menyanggupinya, sudah terlanjur basah jadi biar basah sekalian. Toh besok pagi-pagi masih bisa mandi basah.
Kami tidur berdampingan. Kepalanya disandarkan di bahuku. Berkali-kali ia mengecup pipi dan bibirku. “Thanks untuk malam ini Anto. Aku masih menginginkannya lagi”. “Kamu sering melakukannya Ling?” Aku bertanya asal saja. Aku tidak peduli dengan jawabannya, bahkan jika ia tadi siangpun baru bersetubuh dengan orang lain. “Jujur saja, sejak di Jakarta aku pernah beberapa kali melakukannya dengan pria Chinese. Namun kali ini luar biasa. Baru sekali ini aku melakukannya dengan pria Melayu”. “Ok, aku akan memuaskanmu malam ini. Kita istirahat dulu sebentar. Satu hal yang perlu diingat, bahwa kita, atau saya khususnya, melakukan ini just for fun. Tidak ada komitmen atau ikatan apapun”.
Aling hanya diam saja tanpa mengeluarkan komentar. “Ling-ling, kamu tahu artinya kata ‘lingga’?” tanyaku. “Nggak tuh”. “Lingga dalam bahasa Sanskerta artinya adalah penis. Pantas saja penisku ingin merasakannya”. “Jahat kamu. Akkhh, jahat sekali kamu!” Ia memukul dan mencubitku.
Kami masih ngobrol sampai setengah jam kemudian ketika mulutnya mulai menciumi dan menyusuri leherku. Ia menindihku dan menciumku dengan ganas.
“Anto… Please, lagi.. Yuk”. Mulutnya terus bergerak ke bawah dan tahu-tahu Aling menjilati batang kejantananku dan mengisap buah zakarku. Kupalingkan mukaku ke samping untuk menahan rangsangan dan kugigit ujung bantal.
Tiba-tiba secara refleks meriamku mengencang hingga hampir merapat di permukaan perutku ketika lidah Aling mulai menjilat kepalanya. Kukencangkan otot perutku sehingga meriamku juga ikut bergerak dan berdenyut-denyut.
“Hmmm… Keras dan berdenyut. Pantas saja luar biasa nikmatnya,” komentar Aling sambil terus melakukan aktivitasnya. Kuangkat kepalaku dan kulihat Aling sedang asyik menjilat, menghisap dan mengulum meriamku. Kadang-kadang ia melihat ke arahku dan tersenyum.
Ia memutar badannya sehingga kami dalam posisi 69. Ia semakin lincah menjilat dan memainkan penisku. Rambut kemaluannya tidak terlalu lebat. Bibir vaginanya kubuka dengan jariku. Terlihat bagian dalam vaginanya yang kemerahan. Sementara itu lidahku mulai menyusup di celah guanya, menjilati dinding dan klitorisnya. Ia terpekik ketika lidahku menekan keras klitorisnya dan ia semakin liar mengisap penisku. Dinding vaginanya mulai berair sehingga menimbulkan aroma khas yang segar. Kujilati lendirnya, terasa agak asin dan lengket. Kujepit klitorisnya dengan bibirku. Ia menggeliat liar dan menjepit kepalaku dengan pahanya. Isapannya pada penisku juga semakin kuat sehingga akupun juga harus menahan agar aku tidak kalah dalam pertarungan ini.
Aling melepaskan kepalanya dari selangkanganku memutar badannya. Bibirnya menyambar bibirku. Kubalas dengan ganas dan kusapukan lidahku pada bibir dan masuk dalam rongga mulutnya. Lidah kami kemudian saling memilin dan mengisap. Tanganku mengembara ke selangkangannya dan kemudian jari tengahku masuk menerobos liang kenikmatannya sampai menemukan tonjolan kecil di dinding atasnya. Aling meremas dan mengocok meriamku. Meriamku semakin tegang dan keras. Kami saling memberikan stimulasi.
“Ouououhhkkk Anto… Nikmat sekali… Puaskan aku sekali lagi,” ia memohon dengan suara tertahan. Kemudian tangannya mengurut dan menggenggam erat meriamku. Tangannya kemudian mengambil kondom, membuka bungkusnya dan kemudian memasangnya pada penisku.
“Sorry To, namun ini harus kulakukan,” katanya sambil menatapku lembut. Aku hanya mengangguk saja. Tak lama kemudian kondom sudah terpasang sempurna di penisku. Ia meraih tissue dan kini ia sendiri yang mengelap vaginanya.
Kurasakan pantat dan pinggul Aling bergoyang menggesek meriamku. Dan tanpa kesulitan kemudian kepala meriamku masuk ke dalam gua kenikmatannya. “Akhhh… Anto ayo kita sama-sama nikmati… Oukkkhhh”. Kujilati lehernya dan bahunya. Ia terus menggoyangkan pantatnya sehingga sedikit demi sedikit makin masuk dan akhirnya semua batang meriamku sudah terbenam dalam guanya.
Aling bergerak naik turun untuk mendapatkan kenikmatan. Pantatnya bergerak maju mundur. Gerakannya berubah dari perlahan menjadi cepat dan semakin cepat sampai akhirnya dia berhenti karena kelelahan. Ia mengubah gerakannya menjadi ke kanan ke kiri dan berputar-putar. Pantatnya naik agak tinggi sehingga hanya kepala meriamku berada di bibir guanya dan bibir guanya kemudian berkontraksi mengurut kepala meriamku.
Tidak terlalu kuat kontraksi otot vaginanya, hanya sedikit terasa meremas batang kemaluanku. Kemudian ia menggesek-gesekkan bibir guanya pada kepala meriamku sampai beberapa kali dan kemudian dengan cepat ia menurunkan pantatnya hingga seluruh batang meriamku tenggelam seluruhnya. Ketika batang meriamku terbenam seluruhnya badannya bergetar dan kepalanya bergoyang ke kanan dan kekiri. Napasnya terputus-putus.
Kuisap putingnya yang sudah keras. Buah dadanya yang bulat dan padat terasa sangat nikmat di mulutku. Putingnya yang kemerahan tidak begitu besar namun sudah mengeras. Gerakannya semakin liar dan cepat. Tanganku memeluk punggungnya dengan erat sehingga tubuh kami merapat total. Ia juga memeluk diriku rapat-rapat. Kini gerakannya pelan namun sangat terasa. Pantatnya naik ke atas sampai kemaluanku hampir terlepas, tinggal ujung kepalanya yang berada di bibir vaginanya, dan ia menurunkan pinggulnya dengan cepat dan kusambut dengan gerakan pantatku ke atas. Kembali meriamku menembus guanya. Ia merinding dan menggelepar. Tangannya meremas rambutku dan mencakar punggungku, punggungnya melengkung menahan kenikmatan. Mulutnya merintih dengan kata-kata yang tidak jelas dan mengerang keras.
“Anto… Ouhh Anto, aku mau dapat, aku tidak tahan mau kelu… ar,” desahnya.“Sshhh… Shhh” “Anto sekarang ouhhh… Aku dapat lagi… Sampai…” ia memekik. Tubuhnya mengeras, merapat di atasku dan kakinya membelit betisku. Pantatnya ditekan ke bawah dengan keras dan vaginanya menjadi sangat basah hingga terasa licin.
Tubuh Aling mulai melemas. Keringatnya menitik di sekujur pori-porinya. Kemaluanku yang masih menegang tetap dibiarkan di dalam vaginanya. “Terima kasih jantanku. Kau sungguh hebat sekali. Aku puas dengan permainanmu. Berikan aku istirahat sebentar, lalu kita arungi lagi lautan ini…,” ia berbisik di telingaku. Kusambar bibirnya dengan bibirku dan kugulingkan ke samping. Penisku yang memang belum menuntaskan kewajiannya tentu saja masih keras.
“Sebentar sayang, biarkan aku istirahat sebentar saja…” Aku tidak menghiraukannya. Kugenjot vaginanya sampai menimbulkan suara berdecak yang sangat merangsang. Ia diam saja menerima genjotanku, mungkin ia masih perlu beristirahat sebentar lagi.
Vaginanya terasa sangat licin dan ditambah lagi kondisi otot vaginanya yang sudah kendor tidak terlatih, maka ronde ini juga tidak memberikan kenikmatan yang maksimal. Kucabut penisku dan kuambil tissue lagi untuk mengelap vaginanya supaya agak kering. Aku naik lagi ke atas tubuhnya. Kembali kuarahkan moncong meriamku ke sasaran. Kudorong pelan, meleset sampai beberapa kali. Kuangkat kedua kakinya dan kurenggangkan pahanya. Dengan tenaga penuh kudorong pantatku. Kini berhasil, dan langsung kugenjot dengan tempo perlahan saja. Lumayan, dalam keadaan dinding vagina kering begini baru bisa terasa nikmat.
Aling kembali bangkit nafsunya setelah beberapa menit beristirahat. Iapun kemudian mengimbangi permainanku dengan gerakan pinggulnya. Kuganjal pantatnya dengan bantal sehingga kemaluannya agak naik. Kami berciuman dengan penuh gairah. Kaki kami saling menjepit dengan posisi silang, kakiku menjepit kaki kirinya dan kakinya juga menjepit kaki kiriku. Dalam posisi seperti ini dengan gerakan yang minimal dapat memberikan kenikmatan optimal, sehingga sangat menghemat tenaga.
Kami makin terbuai dengan gerakan masing-masing. Kini kedua kakinya menjepit kakiku. Ia memutar-mutar pinggul dan membuat gerakan naik turun. Aku meremas, memilin serta mengisap payudaranya. Kami bisa saling memberikan kenikmatan.
“Ouh.. Achch… Mmmhh… Ngngngnhhhk” Aling mendesah tertahan. Kugenjot pinggulku naik turun dengan irama tertentu. Kadang cepat kadang sangat lambat. Setiap gerakanku kubuat pinggulku naik agak tinggi sehingga penisku terlepas dari vaginanya, lalu kutekan lagi. Setiap penisku dalam posisi masuk, menggesek bibir vaginanya ia terpekik kecil. Kakinya bergerak dan kedua kakinya kujepit dengan kedua kakiku. Dalam posisi begini aku hanya menarik penisku setengah batang saja saja karena kalau sampai tercabut keluar susah untuk memasukkannya lagi. Namun keuntungannya jepitan vaginanya jadi sangat terasa.
Kami mengubah posisi lagi, kembali dalam posisi konvensional. Kedua kakinya kuangkat ke atas bahuku, lututnya menempel pada perutnya. Dengan bertumpu pada tangan kubiarkan tubuhku melayang tanpa menempel pada tubuhnya. Hanya kemaluan kami saja yang saling berpaut.
“Anto… Ouhh nikmat sekali, hebat sekali permainanmu…” Kuperkirakan sudah setengah jam kami bercinta, tenaga sudah mulai berkurang sehingga kuputuskan untuk segera mencapai puncak. Kupercepat gerakanku dan gerakannya juga semakin liar.
“Ke atas sedikit Anto… Ya… Ya… Yeassh … Oooh,” pintanya. Kuturuti permintaannya. Aku menggeser tubuhku, sehingga penisku menggesek bagian atas vaginanya. Gesekan penisku dengan klitorisnya membuatnya merasa sangat nikmat.
Bunyi deritan ranjang, erangan, bunyi selangkangan dan paha beradu seakan-akan berlomba. Tubuh kami sudah basah oleh keringat yang membanjir. Dinginnya udara kamar tak terasa lagi. Kurasakan ada aliran yang menjalar dalam penisku. Inilah saatnya akan kuakhiri permainan ini. Aling terengah-engah menikmati kenikmatan yang dirasakannya.
“Aling… Ling sebentar lagi aku mau keluar…” Gerakanku semakin cepat hingga seakan-akan tubuhku melayang. Lututku mulai sakit.
“Ayolah Anto aku juga mmmau kkkel… Uar. Kita sama-sama sam… Pai”. Ketika kurasakan aliran pada penisku tak tertahankan lagi maka kurapatkan tubuhku ke tubuhnya dan kulepaskan kakinya dari atas bahuku. Kakinya mengangkang lebar. Dalam posisi konvensional kuhunjamkan pantatku kuat-kuat sambil memekik tertahan.
“Aling… Ling-ling… Ouh … Sekarang… Sekarang aku keluar”. “Ouh Anto aku… Juga… Keluar”. Kakinya membelit kakiku, kepalanya mendongak dan pantatnya diangkat. Kurasakan denyutan dalam vaginanya sangat kuat. Kutembakkan laharku sampai beberapa kali. Giginya dibenamkan dalam-dalam di dadaku sampai terasa pedih dan meninggalkan bekas merah. Napas kami masih tersengal-sengal, kucabut penisku dan menggelosor di sampingnya. Tangannya memeluk lenganku dan jarinya meremas jariku. Kami masih berpelukan dengan keringat yang membanjir.
“Ling…”“Hmmh…”“Sepertinya kamu harus melatih otot vaginamu dengan senam Kegel”.“Apa itu?” Kujelaskan cara melatih otot PC dengan senam Kegel untuk meningkatkan kualitas hubungan intim. Iapun lalu mencoba dan tertawa ketika kusuruh ia memasukkan jarinya ke dalam vaginanya dan meremas dengan otot PC nya.
“Boleh juga pengetahuanmu tentang ini. Tentunya pengalamanmu dengan wanita juga sudah banyak”. Hmmh, ini lagi, aku paling tidak suka melewati pertanyaan ini setiap kali kujelaskan kepada wanita yang kutiduri tentang pengetahuan dan teknik bercinta.
Pagi harinya kami masih sempat melakukannya sekali lagi dengan tempo yang pelan. Setelah mandi dan berpakaian kerja, Aling mengantarku ke rumah agar aku berganti pakaian. Selanjutnya ia mengantarku sampai ke kantor. Untung masih pagi sehingga belum ada orang di kantor yang melihatku turun dari mobilnya. Kami masih berhubungan sampai beberapa bulan kemudian. Aling melakukan pengamanan dengan kontrasepsi suntik. Iapun juga melatih otot PC nya sehingga lama kelamaan kualitas hubungan intim kamipun semakin meningkat. Ia selalu tersenyum puas ketika kuhentakkan pantatku untuk mengakhiri permainan. Lendir dalam vaginanya juga sudah berkurang karena kusarankan ia minum jamu tradisional.
Namun kemudian lama-kelamaan kami mulai mengurangi frekuensi pertemuan. Ia takut kalau nantinya hubungan kami menjadi serius dan ia justru tidak bisa melupakanku. Ia sebenarnya mau saja untuk menikah dengan pria pribumi, namun aku sendiri yang belum ingin terikat. Lagipula bagaimanapun juga ia sudah memiliki seorang anak. Saat terakhir kami bertemu, kami melakukannya di sebuah cottage di Ancol. Dua hari dua malam kami melampiaskan gairah kami.
Setelah produk tersebut dikirimkan ke lapangan dan diuji coba, maka supervisor lapangan menyatakan bahwa produk tersebut tidak sesuai dengan apa yang tertera dalam label sertifikasi. Aku segera menelpon Aling dan memberitahukannya tentang hasil uji coba di lapangan. Ia sangat terkejut ketika kuberitahu hasilnya kurang memuaskan. Ia berjanji akan datang ke kantor untuk membicarakan hal tersebut. Kalaupun hasilnya kurang bagus ia meminta agar dibuat berita acara hasil uji coba di lapangan.
Ketika ia datang ke kantor, aku sedang berbicara dengan supervisor lapangan di telepon. Begitu tahu Aling datang maka kusampaikan agar Aling langsung berbicara dengan supervisor. Aling tampak penuh percaya diri ketika berbicara dengan supervisor rekanku. Akhirnya dengan lega Aling menutup telpon dan meminta masuk ke ruang meeting untuk memberitahukan hasilnya. Perusahaanku memang bukanlah perusahaan besar dan aku sendiri tidak mendapat ruangan khusus. Hanya Direksi saja yang mempunyai ruangan tersendiri.
Kamipun masuk ke ruang meeting untuk mendiskusikan masalah ini.
“Pak Anto, ternyata ada kesalahan pemakaian produk saya di lapangan dan saya sudah memberitahu cara pemakaian yang benar. Mungkin hasilnya akan dapat dilihat seminggu lagi,” katanya membuka pembicaraan. “Oh ya, terima kasih kalau rekan-rekan dilapangan sudah diberitahu cara pemakaian yang benar. Maaf sudah merepotkan dan menyusahkan Ibu Aling”. “Ah tidak apa-apa. Itu sudah menjadi bagian tugas saya kok. Kalau pelanggan puas kan saya senang juga,” katanya sambil menatapku.
Aku balas menatapnya dan sekarang baru kulihat bahwa gadis peranakan China ini punya pesona tersendiri. Tubuhnya yang langsing, dengan tinggi kukira sekitar 165 cm, rambutnya panjang terurai sampai di punggungnya, muka oval, bibir tipis, dada yang kencang dan segar membusung di balik bajunya dan kulitnya yang, so pasti, kuning mulus. Hanya sayang hidungnya sedikit mancung ke dalam dan ada sedikit bekas jerawat di pipinya. Tapi overall nilainya kukira dapat 7,5. Dan stocking hitam membungkus kakinya yang indah. Degup jantungku agak sedikit kencang ketika melihat kakinya itu. Ia duduk tepat di depanku dan meskipun ia duduk dengan merapatkan pahanya, namun pikiranku sudah membayangkan apa yang ada di balik rok span hijaunya.
Aku tiba-tiba aku tersentak ketika tersadar bahwa kami sedang berbicara di dalam ruang meeting. “Oh.. Sorry, sampai di mana tadi ya?” tanyaku tergagap.“Bapak ini melamun terus. Malam minggu masih lama, sekarang baru Selasa. Begini saja Pak, nanti saya tunggu laporannya minggu depan. Mudah-mudahan puas dengan produk kami dan bisa menjadi customer kami”. “Ya tentu saja, mudah-mudahan saja Ibu… Eh maaf, produk Ibu bisa kami pakai,”
Aku sengaja memelesetkannya dan menunggu reaksinya. Ia hanya tersenyum lebar tanpa mengomentari perkataanku. Akhirnya dia mohon diri untuk kembali dan melaporkan hasil pertemuan ini pada pimpinannya.
Kurang lebih seminggu kemudian aku mendapat laporan dari lapangan bahwa ternyata setelah diulang sesuai dengan rekomendasi Aling maka hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan produk yang lama. Aku segera menelpon Aling untuk memberitahukan tentang hasil uji coba kali ini, namun menurut operator di kantornya dia sedang pergi ke Bank. Aku hanya menitipkan pesan supaya nanti ia menghubungiku. Menjelang sore aku baru dapat telpon dari Aling.
“Pak Anto, tadi telepon ke kantor ya? Sorry tadi aku ke Bank sebentar,” katanya. “Iya, tadi telpon mau kasih tahu hasil uji coba produknya”.“Bagaimana Pak? Masih ada komplain? Atau puas dengan saya… Maksud saya produk kami?” Tanyanya bertubi-tubi dengan nada penuh ingin tahu dan yang terakhir tadi aku tidak tahu apakah ia sengaja memelesetkan kata-kata atau sekedar menggodaku saja. “Excited, the great satisfaction”.“Baiklah kalau begitu sudah bisa saya siapkan tagihannya dong”.“Ibu ini kalau masalah uang cepatnya bukan main. Bagianku mana?” kataku menggodanya. “Benar nih Pak? Beritahu saja rekening Bapak, nanti saya transfer”. “Ah nggak, cuma bercanda saja kok”. “Beneran juga nggak pa-pa, itu biasa. Toh Bapak juga telah membantu untuk menerima produk kami”.
Aku tetap menolak, karena idealismeku yang mengharuskanku untuk menolak pemberian dari rekanan. Akhirnya, “Ya sudah kalau Bapak nggak mau, tapi ijinkan saya atas nama perusahaan dan kalau nanti malam tidak ada acara kami ingin mengajak Bapak makan malam”. “Oke, kalau urusan makan saya tidak berani menolaknya”. Aku memang hobi makan, namun badanku juga tidak terlalu overweight.
Setelah jam kantor akupun langsung menuju ke restoran yang sudah disepakati. Aku sengaja tidak pulang dulu, takut nggak keburu lagi. Sampai di restoran kurang lebih jam setengah enam, kulihat Aling sudah duduk sendirian di meja yang terletak di sudut ruangan.
“Selamat malam Bu Aling. Sorry terlambat nih,” kataku. “Malam juga, nggak kok. Saya juga baru sampai dan lihat-lihat menu. Pak Anto mau makan apa. Oh ya, pimpinan saya minta maaf tidak bisa ikut, beliau titip salam untuk Bapak”.“Terserah Ibu saja, saya makan apa saja bisa kok. Satu yang nggak bisa saya makan hanyalah makanan yang nggak enak. Minumnya saya minta orange juice”. “Baiklah kalau begitu,” katanya sambil menulis pesanan kami.
Sambil menunggu pesanan kami mengobrol. Mulanya hanya masalah pekerjaan berkaitan dengan produk yang kami pakai. Lama kelamaan mulai masuk dalam pembicaraan yang lebih pribadi. Akhirnya kami saling memanggil nama saja, toh usia kami tidak berbeda jauh. Usianya hanya setahun lebih muda dariku. Ternyata ia berasal dari Bangka, dan di Jakarta baru dua tahun.
Akhirnya ia bercerita bahwa sebenarnya ia sudah mempunyai seorang anak di luar nikah karena kecelakaan, dan sekarang anaknya dititipkan ke Engkongnya di Bangka. Akupun memberikan empatiku dengan mengatakan bahwa semua orang punya masa lalu yang mungkin saja tidak baik, namun kalau kita selalu memandang ke masa lalu maka masa depan yang ada di hadapan kita akan terlewatkan.
Kami makan dengan cepat. Selesai makan, kamipun keluar restoran dan ia menawariku untuk mengantarku pulang. Aku memang belum dapat jatah mobil kantor. Ada satu mobil kantor yang nganggur dan biasa kupakai, tapi sewaktu-waktu diperlukan aku harus rela naik kendaraan umum. Sore ini mobil tersebut sedang dipakai ke Tanjung Priok untuk mengawasi pemuatan barang di kapal.
Sambil menyetir Aling pun mulai bercerita lagi tentang dirinya, “Aku masih muda dan bodoh waktu itu. Ketika kekasihku mengajakku untuk melakukan hal itupun aku tak bisa menolaknya. Aku hamil setelah melakukannya beberapa kali. Celakanya Ahin, kekasihku menolak untuk bertanggungjawab dan memilih pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahnya”. “Sudahlah, Ling. Itu masa lalu yang mestinya bisa kau kubur. Tidak ada seorangpun yang menginginkan hal seperti itu terjadi dalam kehidupannya. Lagipula sekarang ini di Jakarta orang akan lebih menghargai prestasi seseorang daripada melihat ke masa lalunya.
Rumah Aling ternyata satu jalur dengan rumahku, rumahnya terlebih dahulu dan empat kilometer kemudian barulah rumahku. “To, kita mampir ke apotik sebentar ya! Ada obat yang akan aku beli. Kalau nggak keberatan mampir ke rumahku dulu, aku masih ingin ngobrol denganmu. Sepertinya ngobrol denganmu ada satu sudut pandang tersendiri. Kamu bisa memberikan rasa percaya diri dan mengomentari sesuatu dari sudut positifnya,” katanya sambil memarkir mobilnya di depan sebuah apotik.
Aku hanya menunggu di mobil saja, karena Aling melarangku turun, katanya sebentar saja kok. Ternyata memang hanya sepuluh menit Aling sudah keluar dari dalam apotik. “Sebentar saja kan? Sekalian Anto jagain mobilku, hi… Hi… hikk,” ia tertawa ketika masuk ke dalam mobil.
Jam baru menunjukkan pukul setengah delapan ketika kami sampai di rumahnya. Sebuah rumah kontrakan yang cukup lumayan untuk seorang gadis muda sepertinya. Kamar tidurnya ada dua, ruangan tamu yang kecil namun asri dan dapur dengan gaya minimalis. Aku duduk di sofa ruang tamu.
“Sebentar To, aku ganti pakaian dulu. Oh ya, mau minum apa?” katanya. “Martini satu gelas dengan es batu,” kataku menggodanya. “Ihh, nggak ada lah ya. Emangnya disini bar?” katanya serius. “Ya sudah kalau nggak ada. Air es juga sudah cukup kok,” kataku sambil tertawa. “Dasar. Emang tukang ngegoda.. Sebentar ya, tiga menit lagi minuman sudah siap,” katanya sambil berjalan ke dalam kamarnya.
Setelah berganti pakaian Aling keluar dari kamar dan ke dapur. Tak lama kemudian iapun kembali ke ruang tamu dengan dua gelas air dingin dari kulkas. Tanpa menunggu ditawari kuteguk isi gelasku sampai habis. Ia tersenyum dan berkomentar.
“Kasihan. Haus ya? Kalau kurang gelas satunya boleh kau minum lagi!”“Cukup kok, tapi biar aja gelas satunya lagi untukku”. Aling mengangsurkan gelasnya di depanku. “Untukmu,” katanya. “Lho terus minum kamu mana?” tanyaku. “Biar aja. Aku nggak begitu haus. Lagian kan gampang saja entar kalau haus. Di kulkas masih banyak air putih”.
Aling duduk di depanku. Ia memakai celana pendek santai dengan kaus oblong putih tipis yang longgar. BH nya yang berwarna merah tampak jelas membayang di balik kausnya. Dari bawah lengan kausnya kadang-kadang bisa terlihat pangkal payudaranya yang padat. Sementara pahanya yang mulus sering terlihat saat ia mengubah posisi duduknya. Pada saat pangkal buah dadanya atau paha mulusnya tersingkap tentu saja aku merasa tertantang, namun aku tidak berani memulai atau membawa pembicaraan kami agar lebih mengarah. Adik kecilku sudah mulai bereaksi, namun tidak sampai mendesak celanaku.
Akhirnya kami terhanyut dalam obrolan panjang. Ia yang lebih banyak mendominasi pembicaraan. Aku hanya mendengarkan saja dan sesekali mengomentari apa yang diucapkannya. Kelihatannya ia senang ada yang mendengarkan dan menanggapi keluhannya. Ia sering menatapku dengan pandangan tajam dan menyiratkan suatu keinginan. Aku masih ragu dengan situasi ini. Kalaupun terjadi hal-hal yang diinginkan, aku harus yakin bahwa aku menguasai keadaan.
Setelah jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan akupun minta diri untuk kembali ke rumahku. Ia hanya menatapku tanpa mengiyakan. Aku berdiri dan sampai di depan pintu sekali lagi aku berpamitan. Kembali ia hanya diam saja. Aku kebingungan sendiri. Aku merasa bahwa gadis ini menginginkan sesuatu, namun aku sendiri tidak yakin dengan perasaanku sekarang ini. Lagipula ia seorang gadis Chinese mana mungkin menghendaki diriku yang berkulit coklat agak gelap ini.
Aku berjalan ke pintu pagarnya dan kulihat Aling menutup pintunya. Ketika aku membuka pintu pagar kulihat bayangan di balik korden jendela. Aku putuskan apa salahnya mencoba keberuntunganku malam ini. Aku akan kembali masuk ke dalam rumahnya dan berdalih mengambil sesuatu yang tertinggal.
Belum sempat aku mengetuk pintu, Aling telah membuka pintu dan menarik tanganku ke dalam rumahnya. Aku tahu saat ini aku tidak bisa mengelak lagi. Begitu pintu tertutup, maka Aling sudah berada dalam pelukanku.
“Kalau aku salah tangkap atas sikapmu maafkan aku dan aku akan pulang, namun…,” kataku memancingnya. Belum selesai aku berbicara, Aling telah mencium pipiku dan membalas memelukku. “Kamu sadar Ling, kemana arah kita ini?” tanyaku lagi. “Aku sangat sadar dan menginginkanmu malam ini. Please… Anto,” ia mendesah.
Kucium bibir tipisnya dengan lembut. Ia membalasnya dan lama kelamaan ciuman kami sudah menjadi lumatan yang ganas. Lidahku menerobos masuk ke dalam ke mulutnya dan menyapu langit-langit mulutnya. Aling menggeliat dan membalas ciumanku dengan membalas mendorong lidahku. Lidahnya kusedot dan tanganku mulai bekerja di dadanya. Kuremas dadanya dengan lembut. Payudaranya masih terasa padat. Jariku menjalar dari dada ke arah perut terus ke bawah hingga ke pahanya. Kuusap pahanya dari luar celana pendeknya. Lidahku kini beraksi menggelitik lubang telinganya.
Aling mulai membuka kancing kemejaku satu per satu. Ketika semua kancing kemejaku sudah terlepas, maka ia mengusap dadaku dan merebahkan kepalanya. Aku memeluknya sambil berjalan ke kamarnya. Sambil berjalan kuusap pinggulnya. Tubuhnya padat dan kencang.
Sampai di dalam kamar kusapukan bibirku ke lehernya dan pelan-pelan bergerak ke bawah sambil menciumi dan menjilati leher mulusnya. Aling semakin merepatkan tubuhnya ke tubuhku, dadanya yang padat menekan keras dadaku. Dengan perlahan ia melepas bajuku. Kembali diiusap-usapnya dadaku dan putingku dijilatinya dengan lembut.
Kusingkapkan kausnya dan kubuka lewat kepalanya. Payudaranya tertutup BH warna merah yang tampak kontras sekali dengan warna kulitnya. Tangannya menarik ritsluitingku dan kemudian membuka celana panjangku. Tanganku pun tak mau kalah membuka celana pendeknya. Aku mendorongnya ke ranjang dan kutindih tubuhnya. Tanganku bergerak ke punggungnya dan membuka BH-nya. Dadanya kini terbuka polos di hadapanku. Buah dadanya membulat cukup besar dan kencang dengan putingnya yang berwarna kemerahan mengeras dan berdiri tegak.
Muluku menyusuri wajah, bibir dan lehernya. Aling mendorong lidahnya jauh ke dalam rongga mulutku kemudian memainkan lidahku dengan menggelitik dan memilinnya. Sesekali lidahku membalas mendorong lidahnya. Kami saling memilin lidah dan berpagutan ganas hendak menuntaskan gairah birahi yang semakin meninggi. Tanganku memilin puting serta meremas payudaranya.
Tanganku bergerak ke bawah dan menarik celana dalamnya. Ia sedikit mengangkat pantatnya agar memudahkanku melepas celana dalamnya. Payudaranya yang sebelah kiri kuisap dan kujilati, sementara yang sebelah kanannya kuremas dengan tangan kiriku. Kulakukan demikian berganti-ganti. Aling mengerang dan merintih ketika putingnya kugigit. Kuamati sejenak kulit tangannya dan tanganku. Terasa sangat kontras, kulitku coklat gelap sementara kulitnya putih mulus khas bangsa Chinese.
“Upps… Anto. Ououououhhh… Nghgghhh, Anto ayo teruskan… Ouuhhh… Anto” Aling melenguh. Payudaranya kukulum habis. Aling menggoyang-goyangkan kepalanya menahan desakan kenikmatan. Kucium lehernya sampai ke tengkuk. Akupun sudah tidak tahan. Kejantananku sudah mengeras, siap untuk menuntaskan gairah yang terpendam. Tangannya menurunkan celana dalamku sampai ke paha dan dengan kakinya ia melepas celana dalamku.
Ia berbisik di telingaku, “To, pakai kondom. Ambil di bawah bantal. Sorry, tapi aku tidak mau kejadian yang dulu terulang lagi. Lain kali aku akan pakai kontrasepsi lainnya, mungkin kurang nikmat namun kali ini tidak ada cara lain”. Kuambil kondom di bawah bantalnya dengan muka heran. Ia tersenyum, “Jangan berpikiran yang bukan-bukan. Selama ini aku tidak menyimpan kondom di rumah, tapi kamu ingat kalau aku tadi singgah ke apotik kan?”
Kurobek pembungkusnya dan segera kupasang kondom dengan rapi di penisku yang sudah sangat keras. Kukocok sebentar untuk meyakinkan ketegangan penisku. Perlahan kumasukkan kejantananku ke dalam liang kemaluannya. Ketika kepala penisku sudah melewati bibir guanya maka kudorong dengan satu hentakan keras sehingga ia melenguh. “Uuuhhh… Anto… Auuw,” katanya. Kudorong kejantananku dengan keras dan penuh tenaga. Kini kejantananku sudah bergerak maju mundur di dalam lorong kenikmatannya.
Kucabut kemaluanku, kutahan dan kukeraskan ototnya kemudian pelan-pelan kugesekkan dan kemudian kumasukkan kepalanya saja ke bibir guanya yang lembab dan merah. Aling terpejam menikmati kontraksi kemaluanku pada bibir kemaluannya.
“Hgggk… Ouhhh.. Nikmat To…” Dia menjerit tertahan ketika tiba-tiba kusodokkan kemaluanku sampai mentok ke rahimnya. Kumaju mundurkan dengan pelan setengah batang sampai lima hitungan kemudian kusodokkan dengan kuat sampai semua batangku amblas. Aling menggerakkan pinggulnya memutar dan naik turun sehingga kami sama-sama mengalami kenikmatan yang luar biasa. Kusedot payudaranya sampai ke pangkalnya dan kumainkan putingnya dengan lidahku.
Aku pernah dengar bahwa kemaluan wanita Chinese lebih basah dan becek dibandingkan milik wanita Melayu. Ternyata memang benar. Vagina Alingpun terasa becek dan sangat licin. Kuraih tissue di atas kepala ranjang. Kucabut kejantananku sesaat dan kulap vaginanya dengan tissue. Aling kelihatannya tidak suka, namun kubisikkan.
“Sorry Ling, terlalu basah. Ditambah dengan memakai kondom, sangat jauh kenikmatan yang kuharapkan”. Iapun mengerti, namun dengan cepat ia meraih kejantananku dan langsung mengarahkannya pada vaginanya. Pantatnya naik menyambut penisku. Kini keadannya agak lumayan, meskipun belum sepenuhnya memenuhi keinginanku. Aku lebih mengandalkan kontraksi penisku untuk menstimulirnya.
Kami sama-sama bergerak untuk mendapatkan kenikmatan. Semakin lama gerakan kami semakin cepat dan liar. Dalam posisi kemaluanku terbenam seluruhnya aku menciumi bibir, leher dan payudaranya serta menggerakkan otot kemaluan. Aling bergetar menggigil menahan kenikmatan. Ia menggigit dadaku dan tangannya memukul-mukul punggungku seperti histeris.
“Auuhkhh… Terus… Teruskan.. Anto.. Nikmat.. Ooh” Kakiku bergerak sehingga kedua kakiku berada dalam posisi di luar kedua kakinya.. Aku menghentikan kontraksiku dan mulai menggenjot lagi. Aling seperti seekor kuda betina dari padang gurun. Tubuhnya seakan melonjak-lonjak dan sukar dikendalikan. Akhirnya tidak ada suara apapun di dalam kamar itu selain desah napas kami yang memburu beradu dengan suara paha bertemu dan derit ranjang. Keringat sudah membanjir di tubuh kami. Kupacu kuda betinaku mendaki lereng terjal kenikmatan. Kami saling memagut, mencium dan menjilati bagian tubuh pasangan kami.
Kubuka lagi kedua kakinya, kini kakinya yang membelit pinggangku. Matanya terpejam dan mulutnya setengah terbuka seperti ikan di dalam kolam yang kering. Badannya menggantung di tubuhku. Kini aku siap untuk menembakkan peluruku.
“To… Anto, sebentar lagi Anto… Aku mau sampai”. “Ling Ouh… Akupun juga sayang, kita sama-sama…” “Sekarang To sekarang… Ouuhhh” Aku merasakan aliran yang kuat menerjang keluar dari lubang kejantananku. Aku mengejang ketika aliran kepuasan tersebut membersit keluar.
“Anto… Agghhh” kakinya menjepit kakiku dan mengejang sehingga kejantananku seperti tertarik mau keluar dari vaginanya. Aku tetap menekan pinggulku menahan agar penisku tetap berada dalam vaginanya. Matanya terpejam, tangannya meremas rambutku, mulutnya mengerang menyebut namaku. Kemaluan kami masih saling berdenyut sampai beberapa detik. Setelah beberapa saat kemudian keadaan menjadi sunyi menyusul napas kami yang mulai teratur.
Kami saling membersihkan diri di bawah shower. Ketika kembali ke kamar ia memintaku untuk menginap di rumahnya saja. Akupun menyanggupinya, sudah terlanjur basah jadi biar basah sekalian. Toh besok pagi-pagi masih bisa mandi basah.
Kami tidur berdampingan. Kepalanya disandarkan di bahuku. Berkali-kali ia mengecup pipi dan bibirku. “Thanks untuk malam ini Anto. Aku masih menginginkannya lagi”. “Kamu sering melakukannya Ling?” Aku bertanya asal saja. Aku tidak peduli dengan jawabannya, bahkan jika ia tadi siangpun baru bersetubuh dengan orang lain. “Jujur saja, sejak di Jakarta aku pernah beberapa kali melakukannya dengan pria Chinese. Namun kali ini luar biasa. Baru sekali ini aku melakukannya dengan pria Melayu”. “Ok, aku akan memuaskanmu malam ini. Kita istirahat dulu sebentar. Satu hal yang perlu diingat, bahwa kita, atau saya khususnya, melakukan ini just for fun. Tidak ada komitmen atau ikatan apapun”.
Aling hanya diam saja tanpa mengeluarkan komentar. “Ling-ling, kamu tahu artinya kata ‘lingga’?” tanyaku. “Nggak tuh”. “Lingga dalam bahasa Sanskerta artinya adalah penis. Pantas saja penisku ingin merasakannya”. “Jahat kamu. Akkhh, jahat sekali kamu!” Ia memukul dan mencubitku.
Kami masih ngobrol sampai setengah jam kemudian ketika mulutnya mulai menciumi dan menyusuri leherku. Ia menindihku dan menciumku dengan ganas.
“Anto… Please, lagi.. Yuk”. Mulutnya terus bergerak ke bawah dan tahu-tahu Aling menjilati batang kejantananku dan mengisap buah zakarku. Kupalingkan mukaku ke samping untuk menahan rangsangan dan kugigit ujung bantal.
Tiba-tiba secara refleks meriamku mengencang hingga hampir merapat di permukaan perutku ketika lidah Aling mulai menjilat kepalanya. Kukencangkan otot perutku sehingga meriamku juga ikut bergerak dan berdenyut-denyut.
“Hmmm… Keras dan berdenyut. Pantas saja luar biasa nikmatnya,” komentar Aling sambil terus melakukan aktivitasnya. Kuangkat kepalaku dan kulihat Aling sedang asyik menjilat, menghisap dan mengulum meriamku. Kadang-kadang ia melihat ke arahku dan tersenyum.
Ia memutar badannya sehingga kami dalam posisi 69. Ia semakin lincah menjilat dan memainkan penisku. Rambut kemaluannya tidak terlalu lebat. Bibir vaginanya kubuka dengan jariku. Terlihat bagian dalam vaginanya yang kemerahan. Sementara itu lidahku mulai menyusup di celah guanya, menjilati dinding dan klitorisnya. Ia terpekik ketika lidahku menekan keras klitorisnya dan ia semakin liar mengisap penisku. Dinding vaginanya mulai berair sehingga menimbulkan aroma khas yang segar. Kujilati lendirnya, terasa agak asin dan lengket. Kujepit klitorisnya dengan bibirku. Ia menggeliat liar dan menjepit kepalaku dengan pahanya. Isapannya pada penisku juga semakin kuat sehingga akupun juga harus menahan agar aku tidak kalah dalam pertarungan ini.
Aling melepaskan kepalanya dari selangkanganku memutar badannya. Bibirnya menyambar bibirku. Kubalas dengan ganas dan kusapukan lidahku pada bibir dan masuk dalam rongga mulutnya. Lidah kami kemudian saling memilin dan mengisap. Tanganku mengembara ke selangkangannya dan kemudian jari tengahku masuk menerobos liang kenikmatannya sampai menemukan tonjolan kecil di dinding atasnya. Aling meremas dan mengocok meriamku. Meriamku semakin tegang dan keras. Kami saling memberikan stimulasi.
“Ouououhhkkk Anto… Nikmat sekali… Puaskan aku sekali lagi,” ia memohon dengan suara tertahan. Kemudian tangannya mengurut dan menggenggam erat meriamku. Tangannya kemudian mengambil kondom, membuka bungkusnya dan kemudian memasangnya pada penisku.
“Sorry To, namun ini harus kulakukan,” katanya sambil menatapku lembut. Aku hanya mengangguk saja. Tak lama kemudian kondom sudah terpasang sempurna di penisku. Ia meraih tissue dan kini ia sendiri yang mengelap vaginanya.
Kurasakan pantat dan pinggul Aling bergoyang menggesek meriamku. Dan tanpa kesulitan kemudian kepala meriamku masuk ke dalam gua kenikmatannya. “Akhhh… Anto ayo kita sama-sama nikmati… Oukkkhhh”. Kujilati lehernya dan bahunya. Ia terus menggoyangkan pantatnya sehingga sedikit demi sedikit makin masuk dan akhirnya semua batang meriamku sudah terbenam dalam guanya.
Aling bergerak naik turun untuk mendapatkan kenikmatan. Pantatnya bergerak maju mundur. Gerakannya berubah dari perlahan menjadi cepat dan semakin cepat sampai akhirnya dia berhenti karena kelelahan. Ia mengubah gerakannya menjadi ke kanan ke kiri dan berputar-putar. Pantatnya naik agak tinggi sehingga hanya kepala meriamku berada di bibir guanya dan bibir guanya kemudian berkontraksi mengurut kepala meriamku.
Tidak terlalu kuat kontraksi otot vaginanya, hanya sedikit terasa meremas batang kemaluanku. Kemudian ia menggesek-gesekkan bibir guanya pada kepala meriamku sampai beberapa kali dan kemudian dengan cepat ia menurunkan pantatnya hingga seluruh batang meriamku tenggelam seluruhnya. Ketika batang meriamku terbenam seluruhnya badannya bergetar dan kepalanya bergoyang ke kanan dan kekiri. Napasnya terputus-putus.
Kuisap putingnya yang sudah keras. Buah dadanya yang bulat dan padat terasa sangat nikmat di mulutku. Putingnya yang kemerahan tidak begitu besar namun sudah mengeras. Gerakannya semakin liar dan cepat. Tanganku memeluk punggungnya dengan erat sehingga tubuh kami merapat total. Ia juga memeluk diriku rapat-rapat. Kini gerakannya pelan namun sangat terasa. Pantatnya naik ke atas sampai kemaluanku hampir terlepas, tinggal ujung kepalanya yang berada di bibir vaginanya, dan ia menurunkan pinggulnya dengan cepat dan kusambut dengan gerakan pantatku ke atas. Kembali meriamku menembus guanya. Ia merinding dan menggelepar. Tangannya meremas rambutku dan mencakar punggungku, punggungnya melengkung menahan kenikmatan. Mulutnya merintih dengan kata-kata yang tidak jelas dan mengerang keras.
“Anto… Ouhh Anto, aku mau dapat, aku tidak tahan mau kelu… ar,” desahnya.“Sshhh… Shhh” “Anto sekarang ouhhh… Aku dapat lagi… Sampai…” ia memekik. Tubuhnya mengeras, merapat di atasku dan kakinya membelit betisku. Pantatnya ditekan ke bawah dengan keras dan vaginanya menjadi sangat basah hingga terasa licin.
Tubuh Aling mulai melemas. Keringatnya menitik di sekujur pori-porinya. Kemaluanku yang masih menegang tetap dibiarkan di dalam vaginanya. “Terima kasih jantanku. Kau sungguh hebat sekali. Aku puas dengan permainanmu. Berikan aku istirahat sebentar, lalu kita arungi lagi lautan ini…,” ia berbisik di telingaku. Kusambar bibirnya dengan bibirku dan kugulingkan ke samping. Penisku yang memang belum menuntaskan kewajiannya tentu saja masih keras.
“Sebentar sayang, biarkan aku istirahat sebentar saja…” Aku tidak menghiraukannya. Kugenjot vaginanya sampai menimbulkan suara berdecak yang sangat merangsang. Ia diam saja menerima genjotanku, mungkin ia masih perlu beristirahat sebentar lagi.
Vaginanya terasa sangat licin dan ditambah lagi kondisi otot vaginanya yang sudah kendor tidak terlatih, maka ronde ini juga tidak memberikan kenikmatan yang maksimal. Kucabut penisku dan kuambil tissue lagi untuk mengelap vaginanya supaya agak kering. Aku naik lagi ke atas tubuhnya. Kembali kuarahkan moncong meriamku ke sasaran. Kudorong pelan, meleset sampai beberapa kali. Kuangkat kedua kakinya dan kurenggangkan pahanya. Dengan tenaga penuh kudorong pantatku. Kini berhasil, dan langsung kugenjot dengan tempo perlahan saja. Lumayan, dalam keadaan dinding vagina kering begini baru bisa terasa nikmat.
Aling kembali bangkit nafsunya setelah beberapa menit beristirahat. Iapun kemudian mengimbangi permainanku dengan gerakan pinggulnya. Kuganjal pantatnya dengan bantal sehingga kemaluannya agak naik. Kami berciuman dengan penuh gairah. Kaki kami saling menjepit dengan posisi silang, kakiku menjepit kaki kirinya dan kakinya juga menjepit kaki kiriku. Dalam posisi seperti ini dengan gerakan yang minimal dapat memberikan kenikmatan optimal, sehingga sangat menghemat tenaga.
Kami makin terbuai dengan gerakan masing-masing. Kini kedua kakinya menjepit kakiku. Ia memutar-mutar pinggul dan membuat gerakan naik turun. Aku meremas, memilin serta mengisap payudaranya. Kami bisa saling memberikan kenikmatan.
“Ouh.. Achch… Mmmhh… Ngngngnhhhk” Aling mendesah tertahan. Kugenjot pinggulku naik turun dengan irama tertentu. Kadang cepat kadang sangat lambat. Setiap gerakanku kubuat pinggulku naik agak tinggi sehingga penisku terlepas dari vaginanya, lalu kutekan lagi. Setiap penisku dalam posisi masuk, menggesek bibir vaginanya ia terpekik kecil. Kakinya bergerak dan kedua kakinya kujepit dengan kedua kakiku. Dalam posisi begini aku hanya menarik penisku setengah batang saja saja karena kalau sampai tercabut keluar susah untuk memasukkannya lagi. Namun keuntungannya jepitan vaginanya jadi sangat terasa.
Kami mengubah posisi lagi, kembali dalam posisi konvensional. Kedua kakinya kuangkat ke atas bahuku, lututnya menempel pada perutnya. Dengan bertumpu pada tangan kubiarkan tubuhku melayang tanpa menempel pada tubuhnya. Hanya kemaluan kami saja yang saling berpaut.
“Anto… Ouhh nikmat sekali, hebat sekali permainanmu…” Kuperkirakan sudah setengah jam kami bercinta, tenaga sudah mulai berkurang sehingga kuputuskan untuk segera mencapai puncak. Kupercepat gerakanku dan gerakannya juga semakin liar.
“Ke atas sedikit Anto… Ya… Ya… Yeassh … Oooh,” pintanya. Kuturuti permintaannya. Aku menggeser tubuhku, sehingga penisku menggesek bagian atas vaginanya. Gesekan penisku dengan klitorisnya membuatnya merasa sangat nikmat.
Bunyi deritan ranjang, erangan, bunyi selangkangan dan paha beradu seakan-akan berlomba. Tubuh kami sudah basah oleh keringat yang membanjir. Dinginnya udara kamar tak terasa lagi. Kurasakan ada aliran yang menjalar dalam penisku. Inilah saatnya akan kuakhiri permainan ini. Aling terengah-engah menikmati kenikmatan yang dirasakannya.
“Aling… Ling sebentar lagi aku mau keluar…” Gerakanku semakin cepat hingga seakan-akan tubuhku melayang. Lututku mulai sakit.
“Ayolah Anto aku juga mmmau kkkel… Uar. Kita sama-sama sam… Pai”. Ketika kurasakan aliran pada penisku tak tertahankan lagi maka kurapatkan tubuhku ke tubuhnya dan kulepaskan kakinya dari atas bahuku. Kakinya mengangkang lebar. Dalam posisi konvensional kuhunjamkan pantatku kuat-kuat sambil memekik tertahan.
“Aling… Ling-ling… Ouh … Sekarang… Sekarang aku keluar”. “Ouh Anto aku… Juga… Keluar”. Kakinya membelit kakiku, kepalanya mendongak dan pantatnya diangkat. Kurasakan denyutan dalam vaginanya sangat kuat. Kutembakkan laharku sampai beberapa kali. Giginya dibenamkan dalam-dalam di dadaku sampai terasa pedih dan meninggalkan bekas merah. Napas kami masih tersengal-sengal, kucabut penisku dan menggelosor di sampingnya. Tangannya memeluk lenganku dan jarinya meremas jariku. Kami masih berpelukan dengan keringat yang membanjir.
“Ling…”“Hmmh…”“Sepertinya kamu harus melatih otot vaginamu dengan senam Kegel”.“Apa itu?” Kujelaskan cara melatih otot PC dengan senam Kegel untuk meningkatkan kualitas hubungan intim. Iapun lalu mencoba dan tertawa ketika kusuruh ia memasukkan jarinya ke dalam vaginanya dan meremas dengan otot PC nya.
“Boleh juga pengetahuanmu tentang ini. Tentunya pengalamanmu dengan wanita juga sudah banyak”. Hmmh, ini lagi, aku paling tidak suka melewati pertanyaan ini setiap kali kujelaskan kepada wanita yang kutiduri tentang pengetahuan dan teknik bercinta.
Pagi harinya kami masih sempat melakukannya sekali lagi dengan tempo yang pelan. Setelah mandi dan berpakaian kerja, Aling mengantarku ke rumah agar aku berganti pakaian. Selanjutnya ia mengantarku sampai ke kantor. Untung masih pagi sehingga belum ada orang di kantor yang melihatku turun dari mobilnya. Kami masih berhubungan sampai beberapa bulan kemudian. Aling melakukan pengamanan dengan kontrasepsi suntik. Iapun juga melatih otot PC nya sehingga lama kelamaan kualitas hubungan intim kamipun semakin meningkat. Ia selalu tersenyum puas ketika kuhentakkan pantatku untuk mengakhiri permainan. Lendir dalam vaginanya juga sudah berkurang karena kusarankan ia minum jamu tradisional.
Namun kemudian lama-kelamaan kami mulai mengurangi frekuensi pertemuan. Ia takut kalau nantinya hubungan kami menjadi serius dan ia justru tidak bisa melupakanku. Ia sebenarnya mau saja untuk menikah dengan pria pribumi, namun aku sendiri yang belum ingin terikat. Lagipula bagaimanapun juga ia sudah memiliki seorang anak. Saat terakhir kami bertemu, kami melakukannya di sebuah cottage di Ancol. Dua hari dua malam kami melampiaskan gairah kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar