Kamis, 21 Februari 2008

Gairah Tante Vivi

Tante Vivi menyuruhku datang malam ini ke rumahnya. Sebenarnya agak malas juga dan khawatir, bagaimanapun saya lebih senang mengajak Selva, pacarku untuk menemani, ini membuatku ragu-ragu untuk berangkat. 9.15 malam: Aku masih ragu-ragu…, berangkat…, tidak…, berangkat…, tidak. 9.25 malam: Akhirnya Tante Vivi tanpa kuduga benar-benar menelepon, kebetulan aku sendiri yang menerima.
“Lho…, Ar…, kok kamu belum berangkat, bisa dateng tidak Ar?..”, tanyanya kendengaran agak kecewa. “Mm…, gimana ya Tante…, agak gerimis nih di sini…”, sahutku beralasan. “Masa iya Ar…, yaah…, kalo gitu Tante jemput aja yaa…”, balasnya seolah tak mau kalah. Aku jadi blingsatan dibuatnya. “Waah…, tidak usah deh Tante…, okelah saya ke sana sekarang Tante…, mm Selva saya ajak ya Tante…”, sahutku kemudian. Aku pikir ke sana malam-malam mau tidak mau akhirnya pasti harus nginap. Kalau ada Selva kan aku tidak begitu risih, masa aku bawa Selva pulang malam-malam. Tapi… “iih…, jangan Ar…, Selva jangan diajak…, mm pokoknya ke sini aja dulu Ar…, yaa…, Tante tunggu…, Klik”, sekali lagi seolah disengaja Tante Vivi langsung memutuskan hubungan. Sialan pikirku, dia mengerjaiku, ngapain malam-malam ke sana kaya tidak ada waktu siang atau pagi kek. Aku jadi kesal, ngapain Selva kemarin cerita kalau aku banyak ngerti masalah Komputer. Wuueek…, kaya pakar wae…, sekarang baru kena getahnya.
Akhirnya dengan perasaan malas, malam itu benar-benar agak gerimis, badanku sampai kedinginan terkena rintik air gerimis malam yang dingin. Sekitar pukul 10.00 malam: Aku sampai juga di tempat Tante Vivi, suasana di komplek perumahan itu sudah sepi sekali, aku membuka pintu pagar yang sengaja belum dikunci dan kumasukkan sepeda motor ke dalam.Belum sempat aku mengetuk pintu, ternyata Tante Vivi rupanya sudah mengetahui kedatanganku. Mungkin ia mendengar deru suara motorku ketika datang tadi. “aahh…, akhirnya dateng juga kamu Ar…”, katanya ramah dari balik pintu depan. “Iya…, Tante…”, sahutku berusaha ramah, bagaimanapun aku masih setengah kesal, sudah datang malam-malam kehujanan lagi. “Agak gerimis ya Ar…”, tanyanya seolah tak mau tau. “Hsii…”, Tanpa sadar aku terbersin. “Eehh…, kamu Flu Ar…”, tanyanya kemudian.
Aku mengusap wajah dan hidungku yang setengah lembab terkena air gerimis. Tante Vivi menarik tanganku masuk ke dalam dan menutup pintu. “Klik…”, sekaligus menguncinya. Aku tak begitu memperhatikannya karena aku sendiri kuatir dengan kondisiku yang terasa agak meriang. Kuusap berulang kali wajahku yang dingin. Lalu tiba-tiba kurasakan sebuah telapak tangan yang hangat dan lembut membantu ikut mengusap pipi kananku.
“Pipimu dingin sekali Ar…, kamu pasti masuk angin yaa…, Tante bikinin susu jahe anget yaa…”, sahutnya lembut. Aku menoleh dan astaga wajahnya itu begitu dekat sekali dengan mukaku. “Duh…, cantiknya”. Kulitnya yang putih mulus dan halus, matanya yang hitam bulat sedikit sipit dengan bentuk alisnya yang hitam memanjang tanpa celak, hidungnya yang kecil bangir, dan bentuk bibirnya yang menawan tanpa lipstik. Terlihat sedikit tebal dan begitu ranum. Sexy sekali bibirnya. Tante Vivi tersenyum kecil melihatku setengah melongo. “Kamu duduk dulu Ar…, Tante ke belakang dulu…”, sahutnya pelan.
Tanpa menunggu jawabanku, ia membalikkan tubuh dan bergegas berjalan melintasi ruang tengah menuju ke belakang. Tubuhnya yang tingginya mungkin sekitar 160 cm kelihatan begitu seksi ramping dan padat. Sempat kulihat langkah kakinya yang berjalan sangat elok, saat itukuingat jelas ia memakai celana Jeans putih ketat serta memakai baju kemeja halus berwarna merah muda dan dibiarkan berada di luar celana. Baju yang dikenakannya seperti umumnya baju kemeja sekarang yang relatif panjang, membuat celana jeans yang dikenakannya tertutupsampai ke atas paha. Namun karena sifatnya yang lemas, membuat bajunya itu seolah menempel ketat pada bentuk tubuhnya yang memang sangat seksi dan montok. Pinggulnya yang bulat padat bergoyang indah kekiri dan kanan. Begitu gemulai bagai penari Jaipong.
Kuhempaskan pantatku dengan perasaan lelah di atas sofa empuk ruang tamunya. Aku memandang ke sekeliling ruangan tamunya yang cukup mewah. Lukisan besar pemandangan alam bergaya naturalis tergantung di atas tembok persis di belakang tempat dudukku. Selebihnya berupa lukisan-lukisan naturalis sederhana yang berbingkai kecil dan sedangtentang suasana kehidupan pulau Bali. Aku tak begitu tertarik dengan lukisan, sehingga aku tak sampai mengamati lama-lama.
Sepuluh menit kemudian, Tante Vivi muncul dengan segelas besar susu jahe yang masih kelihatan panas, karena asapnya masih terlihat mengepul. Dengan wajah cerah dan senyum manis bibirnya yang menggemaskan, mau tak mau aku jadi ikutan senang. “Waah…, asiik nih kelihatannya…, wangi lagi baunya…, mm..”, kataku spontan. “Pelan-pelan Ar…, masih panas…”, sahutnya pendek, sambil memberikan minuman jahe itu kepadaku. Lalu tanpa risih ia duduk di sebelahku. Aku jadi deg-degan juga. “Gimana kuliah Selva Ar…, kapan nih rencana mau majunya…”, Tanya Tante Vivi kemudian. “Entah Tante…, setahu saya sih bulan depan ini dia harus menyelesaikan seluruh asistensi skripsinya. Soal maju ujian skripsi saya kurang tau Tante..”, sahutku polos. “iih.., kamu ini gimana sih Ar…, pacarnya sendiri kok tidak tahu, asyiik pacaran aja yaa rupanya…”, ujar Tante Vivi setengah bercanda. “aah…, Tau aja Tante…, tidak salah…”, sahutku sambil ketawa nyaring. “Kamu menyukai dia Ar…”, tanya Tante Vivi kemudian, seolah setengah malas menanggapi candaku. ” Waah…, Tante ini gimana sih…, ya jelas dong Tante…, lagipula sekarang kami sudah sangat serius menjalin hubungan ini…, sayamencintainya Tante…”, sahutku sedikit serius.
Tante Vivi tersenyum kepadaku, giginya yang putih bersih terawat kelihatan indah, serasi dengan bentuk bibirnya yang tak terlalu lebar. “Tidak Ar…, Tante khan cuman nanya…, soalnya Tante lihat Selva sayang sekali sama kamu…”, ujarnya kemudian. “Jangan kuatir deh Tante…”, sahutku pelan sambil mulutku mulai menyeruput wedang susu jahe bikinannya itu. Terasa sedikit pedas di bibir namun hangat manis di lidah dan kerongkonganku. “Komputernya di taruh mana Tante…”, tanyaku tanpa memandangnya sambil terus seteguk demi seteguk menghabiskan minumanku. “Tuh…, di kamar kerja Tante…”,sahutnya pendek. Sejenak akumeletakkan minuman dan memandang Tante Vivi yang berada di sebelahku. “Lalu tunggu apalagi nih…”, ujarku setengah bercanda. “Apanya…?”, tanya Tante Vivi seakan tak mengerti. Pandangan matanya kelihatan sedikit bingung. “Lhoh…, katanya pengen diker…, eeh diajarin…”, lanjutku. Hampir aja aku kelepasan ngomong ngeres, jantungku sampai kaget sendiri dag-dig-dug tidak karuan. Untung tidak kebablasan ngomong. “ooh…, iya.., aduuh Tante sampai kaget…, Yuk ke kamar Ar…”, sahutnya sambil mencolek lenganku. Kami berdiri dan berjalan beriringan ke tempat yang ia maksud. Kami melintasi ruangan tengah yang lebih lapang dan mewah. Kulihat sebuah meja pendek tempat dudukan pesawat Televisi ukuran besar mungkin sekitar 51 inchi lengkap dengan satu set sound systemnya sekaligus berada di sebelah kiri ruang itu. Sedangkan kami menuju ke sebuah ruangan di sebelah kanan yang pintunya sudah setengah terbuka. Tante Vivi menyilahkanku masuk duluan.
“Masuk Ar…, sorry ruangannya agak berantakan…”, ujarnya sambil memberi jalan. Aku masuk dulu kedalam ruangan diikuti Tante Vivi. Ruangan atau kamar itu cukup besar berukuran 5 x 7 meter dan pada umumnya tampak rapi walau masih ada sedikit acak-cakan karena di ataslantai persis di depan tempatku berdiri yang terhampar sebuah karpet berukuran sedang tampak berserakan beberapa majalah wanita yang halamannya masih terbuka disana-sini. Di depannya ada sebuah meja kerja yang cukup besar, dan di atas meja terdapat beberapa buah buku kecil dan agenda kerja, selain itu terlihat 2 kardus besar dan beberapa kardus kecil yang aku sudah hapal bentuk dan cirinya, apalagi pada kardus besar yang berbentuk kotak itu terdapat tulisan besar GoldStar Monitor. Ketika aku menengok ke sebelah kiri, waah…, ternyata di situ terdapat sebuah ranjang berukuran sedang. Kasurnya jelas Spring Bed yang terlihat dari ukurannya yang tebal, tertutup dengan sprei berwarna merah jambu. Bantalnya bertumpuk rapi di sisi kiri dan kanan tempat tidur. Di sebelah kiri tempat tidur terdapat sebuah meja kecil dan seperangkat mini stereo.
“Waduuh…, ini tempat kerja apa kamar Tante…?”, tanyaku heran dan kagum. Bagiku ruangan selapang ini terlalu besar untuk kamar tidur. Kamarku sendiri yang berukuran 3×4 meter aja menurutku sudah gede, apalagi sebesar ini. “Dua-duanya Ar…, ya kamar kerja ya…, tempat tidur…, mm…, Tante khan cuman sendirian di rumah ini Ar…”, sahut Tante Vivi yang berada di sebelah kananku. “Sendirian…, maksud Tante?”, tanyaku kepadanya tak mengerti. “Lhoh…, apa Selva tidak pernah bilang sama kamu…, Tante khan…, sudah bercerai Ar…”, sahutnya kemudian. Kedengaran sekali kalimat terakhir yang diucapkannya sedikit terpatah-patah.
Astaga…, seruku dalam hati. Pantas, seolah baru menyadari. Selama ini aku tak pernah ingat apalagi menanyakan tentang suami Tante Vivi ini. Jadi selama ini Tante Vivi itu seorang Janda. Ya ampuun…, kenapa aku tak menyadari sejak semula. Semenjak pertama kali aku datang ke sini bersama Selva, memang aku tak melihat orang lain lagi selain Inem pembantunya. Waktu itu kupikir suaminya sedang bekerja. Pantas ketika aku datang tadi hanya Tante Vivi sendirian yang menyambutku. Jadii…, hatiku jadi setengah grogi juga. Aku jadi teringat tentang beberapa kisah nyata di majalah yang pernah kubaca tentang kehidupan seorang janda muda, terutama sekali mengenai soal seks. Pada umumnya katanya mereka sangat mudah dirayu dan tak jarang juga pintar merayu. Jangan-jangan…, pikirku mulai ngeres lagi. “ooh…, maaf Tante saya baru tahu sekarang…”, ujarku lirih sejenak kemudian. Tante Vivi tersenyum kecil.” Udahlah Ar…, itu masa lalu…, tidak usah diungkit lagi…”, ujarnya setengah menghindar. Terlihat ada setetes air menggenang di pelupuk kedua matanya yang indah.
Sedetik kemudian ia sengaja memalingkan mukanya dari tatapanku, mungkin ia tak ingin terlihat sedih di depanku. Kemudian ia berjalan ke depan dan setengah berjongkok memunguti semua majalah yang masih berserakan di atas karpet, spontan aku segera menyusul hendakmembantunya. “Sini Ari bantu Tante…”, kataku pendek. Tanpa menoleh ke arahnya aku langsung nimbrung mengumpulkan majalah yang masih tersisa. “iih sudah Ar…, tidak usah…, kok kamu ikutan repot…”,sahutnya. Kali ini wajahnya kulihat sudah cerah kembali. Bibirnya yang ranum setengah terbuka menyunggingkan sebuah senyuman manis. Manis sekali.Aku sempat terpana selama 2 detik.
” Tante tidak menikah lagi…?”, tanyaku padanya tanpa sadar. Sedikit kaget juga aku dengan pertanyaanku, jangan-jangan ia marah atau sedih kembali. Namun ternyata tidak, sambil tetap tersenyum ia balik bertanya. “Siapa yang mau sama aku Ar…?” “aah…, Ari kira banyak Tante…”“Siapaa…?” “Ari juga mau Tante…”, kataku cuek, karena maksudku memang bercanda. Ia mendelik lalu sambil setengah ketawa tangannya mencubit lenganku sekaligus mendorongku ke samping. “Hik…, hik…, kamu ini ada-ada aja Ar…, jangan nyindir gitu dong Ar, memangnya gampang cari laki-laki jaman sekarang…”, ujarnya. Lalu kulihat ia terduduk diam seribu bahasa. Aku jadi heran sekaligus geli melihatnya melamun sambil memegangi majalah. “Kenapa Tante… “, tanyaku padanya. Tante Vivi sedikit kaget mendengar pertanyaanku. Namun sambil tersenyum kecut ia hanya menjawab pendek. “Sudahlah Ar…, jangan bicara masalah itu…”. Akupun tak mengubernya walau sebenarnya masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi dulu dengan perceraiannya.
Singkat cerita, malam itu aku hanya menghabiskan waktu sekitar 20 menit untuk merakit komputer barunya. Untung saja Tante Vivi membeli komputer jenis Build Up sehingga aku tak perlu untuk memeriksa 2 kali, cuman periksa tegangan input, tinggal sambung kabel ke monitordan CPU, pasang external modem, pasang speaker aktifnya ke output soundcard, sambung ke stavolt…, sudah beres.
“Sudah beres Tante…, mm…, mau sambung ke internet…?”, tanyaku puas. Agak keringetan juga rasanya mukaku, walau cuman sekedar sambung sana-sini. “aah masa…?, secepat itu Ar…?”, tanya Tante Vivi yang sejak tadi juga tak pernah beranjak dari sebelah kananku, asyik melihatku bekerja. “Lha…, iya…, gampang khan…”, sahutku pendek. Kupandangi wajah cantiknya yang setengah melongo seolah tak yakin. “Makanya dicoba dulu dong Tante…, biar tidak nanya-nanya lagi…, mana nih stop kontaknya”, tanyaku kemudian. “iih…, hik…, hik…, gitu aja sewot…, jahat kamu Ar…, hik…, hik…, ehem…, itu ada di belakang meja sebelah bawah Ar…”, jawabnya sambil setengah tertawa kecil. Aku melongok ke bawah meja…, astaga di bawah situ berarti mestinya aku harus merangkak di situ…, sejenak aku melongo. “Kenapa Ar…?” “Ooh tidak Papa Tante..”.
Akhirnya mau tak mau akhirnya aku harus merangkak masuk ke bawah meja kerjanya yang cukup besar itu sambil tangan kananku menarik kabel power CPU-nya ke bawah. Pengap juga di bawah situ karena memang agak remang, maklum penerangan di kamar ini hanya cuma menggunakan sebuah lampu bohlam sekitar 100 Watt, sinarnya kurang kuat di bawah sini.Sedang lampu meja kerja terpaksa dimatikan untuk stroom komputer. Setelah terpasang ke stop kontak, sambil setengah merangkak mundur aku langsung membalikkan tubuh dan astaga…, aku terhenyak kaget karena melihat Tante Vivi ikut juga melongok membungkuk ke bawah meja, tanpa disengaja kedua mataku menyaksikan pemandangan vulgar yang luar biasa indah.
Woow, Tante Vivi dengan posisi tubuh seperti itu membuat baju kemejanya yang sedikit gombrong dan karena jenis kainnya yang sangat lemas membuatnya jadi melorot ke bawah pas dibagian dada, apalagi kancing kemejanya yang sedikit rendah, membuat kedua bulatanpayudaranya yang sangat besar dan berwarna putih terlihat menggantung bak buah semangka, diantara keremangan aku masih dapat melihat dengan sangat jelas betapa indah kedua bongkah susunya yang kelihatan begitu sangat montok dan kencang. Samar kulihat kedua puting mungilnya yang berwarna merah kecoklatan. “Yaa aammpuunn…”, bisikku lirih tanpa sadar, “Ia tidak pake Behaa…”
Tante Vivi semula tak menyadari apa yang terjadi dan apa yang sedang kupelototi, 5 detik saja…, bagiku itu sudah cukup lama, Tante Vivi seolah baru menyadari ia menjerit lirih. “iih…”, serunya lirih. Masih dalam posisi membungkuk, tangan kanannya reflek menarik bajunya sampai ke atas leher, setengah pucat ia memandangku lalu berdiri dan mundur 1 langkah. Sudah telanjur, percuma kalau malu, akhirnya dengan cuek aku merangkak ke luar dan berdiri di hadapannya, sambil senyam-senyum seolah tidak salah, akhirnya aku minta maaf juga kepadanya.
“Maaf Tante…, sa…, Ari tidak sengaja…”, ujarku cuek. Tante Vivi masih dengan sedikit pucat, akhirnya hanya bisa tersenyum kecil. Wajahnya kelihatan memerah. “Sudahlah…, Ar…”, sahutnya pendek. Dalam hati aku berbisik, lumayan dapat tontonan susu gede gratiss.Selama 30 menit kedepan, bak seorang instruktur kawakan aku mengajari Tante Vivi tentang penggunaan program aplikasi Windows dan Internet. Aku berusaha menjelaskan sesingkat dan seefisien mungkin agar tidak terlalu membuang banyak waktu, bagaimanapun aku jadi tidak enak juga karena hari sudah semakin malam. Kulirik arlojiku sudah hampir setengah 12 malam.“Sudah malem Tante…, besok-besok khan masih bisa belajar Tante…, mm sekarang saya pulang dulu ya Tante…”, kataku sambil setengah berjalan hendak keluar kamar. “Iya deh…, waah…, makasih ya Ar…, kamu pinter sekali mm…, Tante gimana harus ngucapin terima kasih sama kamu Ar…, hik…, hik..”, tanyanya sambil tertawa kecil. “aah…, Tante ini ada-ada aja…, sudah deh…, sudah malem Tante…”, jawabku sambil berjalan keluar, Tante Vivi mengikuti di belakangku. Kami terdiam sejenak. Sambil berjalan aku tersenyum, “Gilaa…”, Tante Vivi begitu baik dan sopan, ternyata tak seperti yang aku duga dasar otak ngeres, bisikku dalam hati.
Dipintu depan, sekali lagi Tante Vivi mengucapkan banyak terima kasih, aku menyalaminya tangannya yang halus erat-erat. Aku sudah hendak membuka pintu depan, ketika tiba-tiba seekor laba-laba hitam yang cukup besar dengan kaki-kakinya yang panjang langsung meloncatke lantai begitu tanganku memegang handle pintu, refleks tanganku kutarik ke belakang sambil meloncat mundur, aku tidak tahu dan tidak sengaja ketika diriku menabrak tubuh Tante Vivi, sontak ia terhuyung dan menjerit hendak jatuh. Namun dengan sigap walaupun tubuhku masihsetengah merinding, aku langsung memegang lengan kanannya dan kutarik tubuhnya ke arahku. Dalam sedetik tubuhnya telah berada dalam pelukanku. Sweear…, saya memang tidak sengaja memeluk tubuhnya. “Aduuh…, Ar…, ada apa sih kamu..”, pekiknya. “Anuu Tante…, laba-laba gedhe…”, sahutku sambil memandang ke sekeliling ruangan, aku bener-benar senewen sekali rasanya. Sialaan, laba-laba sialaan ngagetin orang aja” bisikku dalam hati. Saat itu aku masih belum sadar kalau kedua tanganku masih memeluk tubuh Tante Vivi, maklum aku sendiri masih terasa merinding.
“Ar…”, bisik Tante Vivi di telingaku. Aku menoleh dan terjengah. Ya Ampuun, wajah cantiknya itu begitu dekat sekali dengan mukaku. Hembusan nafasnya yang hangat sampai begitu terasa menerpa daguku. Wajahnya kelihatan sedikit berkeringat, sorotan kedua matanya yang sedikit sipit kelihatan begitu sejuk dalam pandanganku, hidungnya yang putih mbangir mendengus pelan, dan bibirnya yang ranum kemerahan terlihat basah setengah terbuka…, duh cantiknya. Sejenak aku terpana dengan kecantikan wajahnya yang alami. Ada banyak kesamaan lekuk wajahnya yang cantik dengan wajah kekasihku Selva. Seolah teringat kemesraan dan kebersamaanku bersama Selva, seolah tanpa sadar dan tanpa dapat aku mencegahnya…, kudekatkan mukaku kepadanya. Kesemuanya seolah terjadi begitu saja tanpa aku mengertisama sekali. Seolah ada magnet yang menuntun dan membimbingku di luar kesadaran…, dan dalam 2 detik bibirku telah mengecup lembut bibir Tante Vivi yang setengah terbuka. Begitu terasa hangat dan lunak. Kupejamkan kedua mataku menikmati kelembutan bibir hangatnya…,terasa manis.
Selama kurang lebih 10 detik aku mengulum bibirnya, meresapi segala kehangatan dan kelembutannya. Dan ketika aku menyadari bahwa Tante Vivi bukanlah Selva, maka… ” ooh…”, bisikku kaget, sesaat setelah kecupan itu berakhir. Dengan perasaan kaget bercampur malu aku melepaskan pelukanku. Aku memandang Tante Vivi dengan sejuta rasa bersalah, namun seolah tak yakin aku juga baru menyadari kalau Tante Vivi sama sekali tak memberontak ketika aku menciumnya. Kini yang aku lihat betapa wajahnya yang cantik kelihatan semakin cantik. Kedua pipinya yang putih bersih bersemu merah bak boneka barbie, kedua matanya yang sipit memandang redup kepadaku, sementara kedua belah bibirnya masih setengah terbuka dan merekah basah menawan hati. “Tan.., te…, apa yang kulakukan…”, bisikku masih setengah takpercaya atas sikapku barusan kepadanya. Tante Vivi sama sekali tak menjawab. Tidak ada rona kemarahan di wajahnya yang cantik. Ia hanya tersenyum setengah malu-malu dan menundukkan muka. Sejenak kami berdua terdiam…, hening dalam pikiran masing-masing.
Kali ini aku benar-benar malu pada diriku sendiri, terlalu gampang mengumbar perasaan kepada setiap orang…, aahh tetapi…, kenapa ada sesuatu yang lain pada tubuhku…, sesuatu yang aku begitu sangat mengenalnya…, astaga…, aku merasa batang penisku telah berdiritegak…, tuing…, tuiing…, gilaa begitu cepatnya batang penisku mengeras dan mendesak celana dalamku seolah ingin berontak keluar. “Sudahlah Ar… “, bisik Tante Vivi lirih, memecah keheningan itu. Aku tersadar pula. “Maafkan Ari Tante…, sa…, saya…, teringat Selva Tante…”,sahutku setengah gugup.
Tante Vivi tersenyum semakin manis. Bibir ranumnya yang barusan kukecup semakin indah menawan membentuk senyuman mesra. “Kamu rindu Ar…, sama dia…”, tanyanya seolah melupakan peristiwa yang barusan. Aku sedikit bernapas lega karena ia kelihatan sama sekali tidak marah. Aku tidak tahu apa alasannya namun yang penting aku bisa meredam rasa maluku.“Eehh…, iya Tante…”, sahutku beralasan. “Ya sudahlah…, tidak pa-pa Ar…”, sahutnya enteng. Mau tak mau aku jadi bingung juga melihat sikapnya. Semudah itukah. Mencium seseorangyang bukan apa-apanya secara disengaja, itu tidak apa-apa? “Tante tidak marah…?”, tanyaku balik. Entah kenapa aku seolah diatas angin melihat sikapnya dan seolah timbul keberanianku.“Tidak Ar…”, jawabnya sambil tetap tersenyum manis. Kedua matanya memandangku dengan sejuta arti. Dalam pandanganku wajahnya kelihatan semakin bertambah cantik dan cantik.
Sebagai seorang laki-laki dan sebagai seorang terpelajar seperti aku yang sudah kenyang dengan cerita pengalaman orang lain plus pengalamanku sendiri, apalagi soal perilaku seks. Sikap Tante Vivi seperti itu seolah sebagai tantangan dan ajakan. Otakku berpikir cepat, menimbang…, dan memutuskan. Sampai disitu jalan pikiranku menjadi buntu…, yang ada hanyalah…, nafsu.
Seolah ada yang memberiku kekuatan dan keberanian, kuraih tubuh Tante Vivi yang masih berada di hadapanku dan kubawa kembali ke dalam pelukanku. Benar saja…, ia sama sekali tak melawan atau memberontak. Seolah lemas saja tubuhnya yang seksi montok itu berada dalam dekapanku. Wajahnya yang cantik bak bidadari kahyangan memandangku pasrah dan tetap dengan senyum manis bibirnya yang kian menggoda. Kedua pipinya kelihatan semakin memerah pula menambah kecantikannya. Aku semakin terpana. “Apa yang ingin kau lakukan Ar…”, bisiknya lirih setengah kelihatan malu.
Kedua tanganku yang memeluk pinggangnya erat terasa sedikit gemetar memendam sejuta rasa. Dan tanpa terasa jemari kedua tanganku telah berada di atas pantatnya yang bulat. Mekal dan padat. Lalu perlahan kuusap mesra sambil berbisik. “Tante pasti tahu apa yang akan Ari lakukan…”, bisikku pelan. Jiwaku telah terlanda nafsu. Telah kulupakan bayangan Dina dan juga Selva. Aku lupa diri, setan-setan burik telah menyapu habis pikiranku tentang mereka.“Kau yakin Ar…”, tanya Tante Vivi lirih. Ooh…, desakan kedua buah payudaranya yang besar pada dadaku membuat batang penisku semakin tegang tak terkira. “Yaa…, Tante…”, sahutku tanpa mengerti maksud pertanyaannya. Dengan cepat aku sudah membayangkan keindahan tubuhnya yang telanjang bulat, kemontokan payudaranya yang besar dan kencang, kemulusan kulit tubuhnya dan…, aahh bukit kemaluannya yang besar…, wooww…
Tanpa terasa batang penisku kurasakan memuntahkan cairan beningnya, aku merasa seolah telah memasuki liang vaginanya. Tanpa dapat kucegah, kuremas gemas kedua belah pantatnya yang terasa kenyal padat dari balik celana jeans ketatnya. “Oouuhh… “, Tante Vivi mengeluh lirih. Bagaimanapun juga anehnya aku saat itu masih bisa menahan diri untuk tidak bersikap over atau kasar terhadapnya, walau nafsu seks-ku saat itu terasa sudah diubun-ubun namun aku ingin sekali memberikan kelembutan dan kemesraan kepadanya. Hanya setan-setan burik sialanitu yang menyuruhku agar segera melucuti pakaian Tante Vivi dan memperkosa sepuasnya. “aah…, ki.. Kita ke kamar Tante…”, bisikku semakin bernafsu.
Lalu dengan gemas aku kembali melumat bibirnya. Kusedot dan kukulum bibir hangatnya secara bergantian dengan mesra atas dan bawah. Kecapan-kecapan kecil terdengar begitu indah, seindah cumbuanku pada bibir Tante Vivi. Kedua jemari tanganku masih mengusap-usap sembari sesekali meremas pelan kedua belah pantatnya yang bulat padat dan kenyal. Aku masih menahan diri untuk tak bergerak terlalu jauh, walau sebenarnya hatiku begitu ingin sekali meraba selangkangan atau meremas payudaranya. Entah kenapa aku ingin bersikap lembut dan romantis. Bahkan kecupan bibirku padanya kulakukan selembut dan semesra mungkin, aku kira Tante Vivi sangat menyukainya. Bibirnya yang terasa hangat dan lunak berulang kali memagut bibirku sebelah bawah dan aku membalasnya dengan memagut bibirnya yang sebelah atas. ooh…, terasa begitu nikmatnya. Dengusan pelan nafasnya beradudengan dengusan nafasku dan berulang kali pula hidungnya yang kecil mbangir beradu mesra dengan hidungku. Kurasakan kedua lengan Tante Vivi telah melingkari leherku dan jemari tangannya kurasakan mengusap mesra rambut kepalaku.
Batang kejantananku terasa semakin besar dan mendesak liar di dalam CD-ku. Teng…, teng…, teng…, aku mulai merasakan kesakitan apalagi karena posisi tubuh kami yang saling berpelukan erat membuat batang penisku yang menonjol dari balik celanaku itu terjepit dan menempel keras di perut Tante Vivi yang empuk.
Sampai disitu aku tak mampu menahan diri lagi, birahiku telah mengalahkan segala-galanya. Keyakinan dan akal sehatku seakan telah tertutup oleh lingkaran nafsu. Kenikmatan seks yang pernah kurasakan bersama Dina telah membuatku semakin lupa diri. Seolah menemukan daging segar yang baru, sejenak kemudian kulepaskan pagutan bibirku pada bibir Tante Vivi. aah…, wajah cantiknya itu kelihatan semakin berkeringat, dan bibirnya yang basah oleh liurku merekah indah. Begitu ranum bak bibir gadis remaja. Kedua bola matanya sedikit redup dan memandangku pasrah. Aku melihat ada sejuta keinginan terpendam dalam sorot matanya itu. Aku bisa menduga Tante Vivi pasti tak tahan hidup menjanda, bagaimanapun aku tahu ia pasti jelas sudah tak perawan lagi,… aku hanya bisa menduga-duga dengan apa Tante Vivi melampiaskan kebutuhan batinnya selama ini.
“Aku menginginkanmu, Tante…”, bisikku padanya terus terang. Pikiranku sudah tertutup oleh nafsu, namun bagaimanapun aku tak ingin grusa-grusu seenak sendiri. Dengan sikapku ini otomatis aku melatih diri untuk mengontrol keinginan seks-ku yang cenderung vulgar.“oouh…, Ar…, Tante juga ingin…, oouhh..”. Belum habis ucapannya yang sangat merangsang itu, badanku membungkuk dan meraih tubuh montok Tante vivi dalam pondonganku. Ia agak sedikit kaget melihat tindakanku, namun sejenak kemudian ia tertawa genit dan manja ketika aku mulai membopong tubuh seksinya itu masuk kembali melintasi ruang tengah menuju ke dalam kamar. Lengan kanannya merangkul leherku sementara jemari tangan kirinya mengusap mesra kedua pipi dan wajahku. Tante vivi kelihatan setengah malu-malu kubopong seperti ini.“Kamu ganteng Ar…”, bisiknya padaku mesra sambil tersenyum manis. “Kamu juga cantik Tante…”, balasku tak kalah mesra. Kami berdua sempat tertawa kecil karena kekanakan ini. “Ar…, panggil aku Vivi saja yaa…”, ujar Tante Vivi padaku. Aku mengangguk senang.
Di dalam kamarnya, kuturunkan tubuh Tante Vivi dari boponganku di sisi kiri tempat tidurnya. Kami berdua saling berpandangan mesra dalam jarak sekitar 1 meter. Aah…, kunikmati seluruh keindahan bidadari di depanku ini, mulai dari wajahnya yang cantik menawan, lekak-lekuk tubuhnya yang begitu seksi dan montok, bayangan bundar kedua buah payudaranya yang besar dan kencang dengan kedua putingnya yang lancip, perutnya yang ramping dan pantatnya yang bulat padat bak gadis remaja, pahanya yang seksi dan aah…, kubayangkan betapa indah bukit kemaluannya yang kelihatan begitu menonjol dari balik celana jeansnya…, mm…, betapa nikmatnya nanti saat batang penisku memasuki liang vaginanya yang sempit dan hangat…, mm akan kutumpahkan sebanyak mungkin air maniku ke dalam liang vaginanya sebagai bukti kejantananku…, “Oohh.., Vivi…”, bisikku dalam hati. Akan kulumat dirimu dengan kenikmatan.“Ar…, kamu duluan sayang…”, bisik Tante Vivi, membuyarkan fantasi seks-ku padanya.
Wajahnya yang cantik tersenyum manis, seolah ia mengetahui apa yang ada dalam pikiranku kedua jemari tangannya kini berada di atas kedua belah payudaranya sendiri. Tante Vivi mulai mengusap perlahan kedua bulatan payudaranyanya yang besar dari balik baju kemejanya. Seolah merangsang dan menggodaku. Aku tak tahan melihat tingkahnya, andai saja Tante Vivi tahu betapa sakitnya batang penisku yang terjepit di dalam CD-ku seolah memberontak ingin keluar. aah…, dengan cuek aku mulai membuka kancing kemejaku satu persatu dengan cepat…, srrt…, kulemparkan bajuku sekenanya ke samping, pandangan kedua mataku seolah tak lepas dari tubuh Tante Vivi yang semakin menggoda…, srrt…, kutarik kaos singletku keatas sampai lepas dan kulempar sekenanya pula. Tak puas sampai di situ, dengan jemari gemetar menahan nafsu aku mulai membuka sabuk celana dan menarik turun ritsluiting celana panjangku dan sruut…, langsung turun ke bawah (kebetulan aku mengenakan celana baggy dari katun).
“Ooh…”, Tante Vivi memekik kecil saat melihat tubuhku yang setengah polos. Kulihat kedua jemari tangannya meremas kuat payudaranya sendiri yang besar, mulutnya yang manis sedikit melongo dan kedua bola matanya yang hitam seakan setengah melotot pula memandang ketubuhku bagian bawah. Sekilas aku melirik ke bawah dan tersenyum geli sendiri. Bagaimana tidak ternyata batang penisku yang sudah tegak itu mendesak hebat ke atas sampai kepala penisku tanpa terasa melongok keluar dari dalam celana dalamku. Begitu besar dan tebal mendongak ke atas persis di bawah pusarku. Kepala penisku kelihatan bengkak memerah karena tegang yang tak terkira. Batang penisku tidak terlalu panjang memang hanya sekitar 14 centi, namun ukuran diameternya cukup besar dan yang paling membuatku bangga adalah bentuknya yang mirip sekali dengan milik bintang film porno “Rocco Siffredi”…, montok dan berurat. Kuusap pelan batang penisku yang sedang berdiri nakal itu dari balik celana dalam. mm…, terasa begitu nikmat. Kurasakan ada sedikit cairan bening yang keluar dan menempel pada jemari tanganku. mm…, bagaimanapun juga batang penisku ini pernah merobek dan merenggut keperawanan Dina. Tass…, Sekelebat bayangan wajah Dina seolah berada di depan pelupuk mataku. Aku seolah tersadar kembali.
Astaga…, aah…, apa yang aku lakukan ini?, nuraniku seakan menjerit. Sejenak pikiranku berkecamuk. Dan ketika bayangan wajah kekasihku Selva muncul, batinku semakin menjerit. aah…, apa yang aku lakukan Selva..? Terjadi perang berkecamuk di dalam batinku. Nuraniku mengatakan agar aku sadar mengingat resiko buruk yang mungkin terjadi dengan perbuatan bejatku, namun dilain pihak pikiranku mengatakan sangat ingin mencumbu dan melampiaskan nafsu seks-ku kepada Tante Vivi. Sikap Tante Vivi bagiku merupakan kejutan besar yang menggairahkan hati. Aku tak ingin melewatkan kesempatan indah yang tak mungkin dilain waktu akan terulang lagi. Batinku menjerit namun pikiranku yang dipenuhi nafsu seolah lebih kuat. Entah berapa lama aku memejamkan mata menanti perang di batinku akan berakhir. Aku merasa imanku terlalu lemah sedangkan darah mudaku yang penuh dengan gejolak birahi terlalu begitu perkasa. Ketika aku membuka kedua mataku kembali kulihat Tante Vivi sudah tak berada di hadapanku lagi. Semula aku sedikit heran, lalu instingku menoleh ke samping kiri dan…, Astagaa…, mataku terbeliak kaget menyaksikan pemandangan indah yang begitu luar biasa…, begitu mempesona…, begitu menggairahkan…, begitu aahh…
Kedua mataku melotot sampai ingin keluar menyaksikan tubuh Tante Vivi yang kini ternyata telah berada di atas pembaringan tanpa tertutup sehelai benang. Betapa begitu putih mulus tubuh moleknya yang bugil telanjang bulat, jauh lebih putih dari tubuh Dina…, memamerkansemua keindahan, kemulusan dan kemontokan lekak-lekuk tubuhnya yang bak gadis usia remaja. Tante Vivi sambil tersenyum manis ke arahku rebah telentang dengan posisi setengah mengangkang mempertontonkan seluruh anggota tubuhnya yang paling terlarang. Kedua buah dadanya yang ternyata memang sangat besar terlihat masih begitu kencang, sama sekali tidak kendor, membentuk bulatan indah bak buah semangka. Kedua puting payudaranya yang kecil berwarna coklat kemerahan mengacung ke atas seolah menantangku untuk segera kujamah. Begitu pula perutnya masih terlihat ramping dan seksi tanpa lipatan lemak, menandakan Tante Vivi belum pernah melahirkan seorang anak. Aku menelan ludah melihat bagian bawah tubuhnya yang kini ternyata tak memiliki sehelai rambutpun. Rupanya Tante Vivi telah mencukur habis bulu kemaluannya yang kemarin sempat kulihat begitu sangar dan vulgar.
oohh…, tanpa terasa mulutku mendesah takjub menyaksikan keindahan bukit kemaluannya yang besar. Seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan alat kemaluan wanita dari keturunan Tionghoa. Belahan bibir kemaluannya yang sangat putih mulus walau sedikit kecoklatan terlihat sangat tebal membentuk sebuah bukit kecil mulai sekitar 6-8 centi di bawah pusar yang terbelah di bagian tengahnya sampai ke selangkangan bagian bawah di atas lubang duburnya yang hitaman kecoklatan. Labia Mayoranya yang sangat merangsang itu terlihat masih saling menutup rapat satu sama lain meskipun Tante Vivi sudah setengah mengangkangkan kedua pahanya, seolah menyembunyikan liang vaginanya yang memang sangat terlarang. Ini berarti liang vaginanya pasti masih sangat sempit walaupun ia sudah tak perawan lagi. Dari lekukan sempit dan panjang yang terbentuk dari kedua belah labia mayoranya itu aku sedikit dapat melihat dan menduga betapa merahnya liang kenikmatan miliknya.
Batang penisku yang semula agak lemas kini langsung kembali perkasa. Dengan cepat kurasakan kepala penisku kembali mendesak ke atas melongok keluar dari celana dalam seolah ingin mengintip apa yang sedang terjadi dihadapanku dan membuatku takjub. oohh…, Vivi..”, bisikku lemah. Batinku seolah menyerah kalah., “Maafkan aku Selva…, aku sangat mencintaimu…, tapi ini hanyalah seks…, bukan cinta…”
Lalu kreekk…, Dengan gemas kurobek celana dalamku yang terasa kecil bagi alat kelelakianku. Aku sudah tak peduli lagi dengan segala sesuatunya. Batang penisku yang tegang itu langsung mengacung keluar setengah mengarah ke atas sambil manggut-manggut naik turun menyetujui pikiranku yang ngeres. Aku sedikit heran juga menyaksikan batang penisku yang kelihatan sedikit lebih besar dari biasanya, begitu pula dengan kepala penisku yang terlihat begitu nanar dan mekal berwarna kemerahan saking tegangnya. Urat-urat diseluruh permukaan batang penisku sampai menonjol keluar semua membentuk guratan-guratan kasar setengah melingkar.
Dengan lutut setengah gemetar seakan tak percaya menyaksikan semua itu, perlahan-lahan aku mulai naik ke atas pembaringan menyusul Tante Vivi yang sudah menungguku sejak tadi. Dengan rambut setengah terurai di pipi Tante Vivi tersenyum manis memamerkan keindahan bibir dan gigi-giginya yang putih menawan. Matanya seolah meredup dan pasrah. Namun nafasnya sedikit terdengar kurang teratur menandakan ia sedikit tegang atau mungkin juga ia sedang dilanda nafsu birahinya. “Vivii…”, bisikku penuh nafsu. Setengah dag-dig-dug kubaringkan tubuhku persis di sebelah kanan tubuhnya yang bugil. Kupandangi wajahnya yang cantik mempesona, lalu dengan jemari gemetar kuelus mesra kedua belah pipinya yang halus. Tante Vivi tersenyum manja padaku.
“Ar…, beri aku kenikmatan…”, bisiknya tanpa malu-malu. Sorot matanya terlihat lemah seolah memohon. Aku tersenyum penuh gairah. “Aahh Vivi…, aku akan memberimu kepuasan…, aahh…, kau lihat penisku Vi…, dia yang akan memberimu kenikmatan…”, bisikku nakal. Tante Vivi mau tak mau melirik ke bawah menyaksikan alat vitalku yang besar dan keras saking kuat ereksinya. “Iihh…, hik…, hik…, kau nakal Ar…, oohh…, sshh…, lakukanlah sekarang Ar…”, tiba-tiba ia berbisik sedikit keras. Aku terkaget heran. “Sekarang Tante…?”, tanyaku heran, sedikit kurang sambung. “Yaa…, sekarang Ar…, naiki aku…, masuki tubuhku sekarang…, sshh…”, bisiknya semakin keras. Sembari jemari tangan kirinya memegang lenganku mengajak untuk…
Astagaa…, Tante Vivi begitu bernafsunya sampai tanpa sungkan-sungkan lagi memintaku untuk segera menyetubuhinya. Namun sebenarnya aku masih ingin mencumbunya terlebih dulu, menikmati kehalusan kulit tubuhnya, meremas-remas dan menghisap kedua puting susunya sampai puas dan yang paling aku gemari adalah pasti mencumbu alat kelaminnya sampai ia orgasme seperti yang sering aku lakukan terhadap Dina. Terus terang aku sudah tergila-gila pada alat kelamin wanita. Setiap akan bersenggama dengan Dina tak pernah sekalipun aku mengawali persetubuhan tanpa terlebih dahulu aku mencumbu alat kewanitaannya sampai Dina orgasme berulang-ulang. Baru setelah Dina lemas kehabisan tenaga setelah melepas kenikmatan, aku baru memasukkan batang penisku ke dalam liang vaginanya yang sempit dan licin terkena muntahan cairan orgasmenya, mengocoknya di dalam situ sampai air manikumuncrat ejakulasi.
“Kita bercumbu dulu Tante…”, bisikku merasa diatas angin. Aku bisa menduga mungkin Tante Vivi terlalu lama menahan keinginan seksualnya sampai begitu kesempatan untuk itu ada ia sudah tak mampu menahan gejolak birahinya yang sekian lama tertahan. “aahh…, kita lakukan sekarang saja Ar…”, bisiknya seolah setengah memaksa. Tanpa rasa malu sedikitpun. Kuperhatikan jemari tangan kirinya kini telah berada di atas selangkangan mengusap-usap bukitkemaluannya yang montok merangsang.
Astaga…, rupanya Tante Vivi sudah tak tahan lagi. Aku tersenyum penuh gairah, aku tahu liang vaginanya pasti sudah gatal karena sekian lama tidak dipakai. Beruntung sekali suami Tante Vivi dulu yang pertama kali mencicipi dan menikmati keperawanannya…, pasti luar biasa nikmat saat pertama kali menembus liang vaginanya yang sempit. mm…, aku jadi tak tahan karena teringat saat pertama kali batang penisku memasuki liang vagina Dina dan merobek selaput keperawanannya. Adalah saat terindah bagi seorang laki-laki ketika memuntahkan air maninya dengan sepenuh rasa nikmat ke dalam liang vagina seorang wanita yang masih perawan. Saya telah mengalami hal itu dan memang luar biasa nikmat. Dan kini mungkin saatnya bagi saya untuk menikmati liang vagina seorang janda…, mm…, pikirku ngeres.
“Kau yakin Vi…, kita tidak bercumbu dulu sayang…”, bisikku gemas. “Ar…, kamu nakal…”, sahut Tante Vivi padaku, wajah cantiknya kelihatan memelas. Aku jadi geli baru pertama kali ini aku melihat seorang wanita dengan nafsu seks sebesar Tante Vivi, sampai memelas-melas seperti ini. Tapi aku maklum karena mungkin Tante Vivi telah ngempet tidak berhubungan seks bertahun-tahun. Tapi bagaimanapun aku berpantangan untuk tidak langsung menyetubuhinya. Tante Vivi bukanlah ayam betina yang langsung saja bisa digagahi. Aku ingin memberinyaterlebih dahulu sensasi-sensasi seks terindah pada seluruh sekujur tubuhnya sampai ia benar-benar merasakan puncak sekaligus akhir dari pendakian indah sebelum memasuki tahap persetubuhan untuk mencapai kenikmatan sesungguhnya. Walaupun sebenarnya aku mau saja langsung menggagahinya dan memuasinya dengan cepat, tapi bagiku itu tiada berkesan selain merasakan kenikmatan sesaat. Dan seolah bagai mimpi saja ketika akhirnya dengan sigap aku telah berada diatas tubuh Tante Vivi yang telanjang bulat dan menindihnya gemas.
Kami berdua secara bersamaan melenguh nikmat saat kulit tubuh kami saling bersentuhan dan akhirnya merapat dalam kemesraan. Aku tak pernah menyangka bisa meniduri bidadari secantik Tante Vivi. Batang penisku yang berdiri tegak seakan kena setrum saat menyentuh bukit kemaluan Tante Vivi yang halus dan sangat empuk. Maklum bukit kemaluannya memang relatif sangat besar dan montok. Jauh lebih montok dibanding milik Dina. Dengan nakal kepala penisku menyelip diantara bibir kemaluannya yang rapat. mm…, terasa begitu nikmat saat kulit kepala penisku menggesek daging celah labia mayoranya dan menyelip ke dalam. Tante Vivi mungkin mengira batang penisku ingin memasuki liang vaginanya, karena begitu kepala penisku menyelip di antara labia mayoranya kurasakan ia membuka kedua pahanya lebar-lebar. Aku merasa betapa begitu halus kulit kedua belah pahanya yang langsung mengapit pinggangku lembut. Sengaja aku tidak menekan pinggulku terlalu ke bawah untuk berjaga-jaga agar jangan sampai kepala penisku sampai terdorong kebawah memasuki liang vaginanya, walau aku sebenarnya juga bisa menduga pasti tidak mudah bagiku nanti memasukkan alat kejantananku ke dalam liang vaginanya. Kalau benar Tante Vivi sudah lama tidak berhubungan seks…, mm…, liang vaginanya pasti sempit luar biasa.
Sambil mengusap mesra rambut Tante Vivi yang panjang, mulutku dengan gemas kembali mengecup dan mengulum bibir Tante Vivi yang basah dan hangat. mm…, cupp…, cupp…, mulutku secara bergantian mengulum bibirnya yang atas dan yang bawah. Dengan tak kalah mesra Tante Vivi membalas cumbuanku pada bibirnya. Sesekali lidahnya dijulurkan keluar untuk dengan segera kuhisap dan kukulum mesra. Terasa begitu gurih manis lidah dan bibirnya. Sementara bibir kami bercumbu, kurasakan dua sensasi indah di dua tempat yang paling terlarang pada tubuh Tante Vivi. Pertama di selangkangannya, kedua di bagian dadanya.
mm…, kedua payudaranya yang luar biasa besar itu terasa begitu kenyal dan padat menekan nikmat dadaku, kedua puting payudaranya yang lancip seakan menggelitik kulit dadaku. Kedua jemari tangan Tante Vivi yang halus mengusap-usap gemas daging bokongku, berulang kali ia mencoba untuk menekan pantatku ke bawah agar batang penisku segera memasuki liang vaginanya, namun aku bertahan agar pinggulku tetap setengah terangkat, hanya kepala penisku saja yang sedikit terjepit diantara labia mayoranya. Butuh suatu kesabaran agar rasa nikmat pada kepala penisku yang sudah setengah terjepit di bibir kemaluannya itu tidak membuatku berbuat lebih jauh lagi menuruti keinginan Tante Vivi yang sudah ngebet.
Sesekali Tante Vivi dengan tak sabar menyelipkan jemari tangan kanannya diantara selangkangan kami, lalu dengan gemas ia meremas batang penisku dan mengarahkan kepala penisku yang sudah setengah terjepit di situ ke mulut liang vaginanya yang terasa licin danbuntu, menandakan liang vaginanya itu sangat jarang dipakai. Mungkin hanya mantan suaminya saja dulu. Aku segera menarik pinggulku agak ke atas karena terasa geli-geli nikmat pada batang penisku yang diremasnya. Aku melepaskan ciumanku pada bibir Tante Vivi. “Aaoohh…, Tante geli ahh…”, erangku setengah keenakan. “Uuhh…, kamu nakal Ar…”, bisik Tante Vivi lirih. Bibirnya yang ranum kemerahan sangat basah penuh air liurku. Kulihat wajah cantiknya tampak berkeringat basah. Kelihatan ia sudah sangat ngebet kepingin senggama. Kedua matanya yang semakin sipit memandangku lemah seolah memelas. Aku kasihan juga melihatnya. “Tante sudah kepingin sekali yaachh…”, bisikku gemas melihatnya. Tante Vivi tidak menjawab namun jemari tangannya mencubit pinggangku keras-keras. Aku memekik kesakitan. “Aaooww…”.
Lalu dengan gemas, mulutku kembali melumat bibir ranumnya yang basah…, hanya lima detik mulutku melepas bibirnya dan bergerak ke atas dan, “Oouuhh…”, Tante Vivi merintih manja saat bibir dan lidahku dengan gemas mulai menggelitiki telinga kirinya. Sesekali gigiku setengah menggigit membuat Tante Vivi menggelinjang geli keenakan. “Nngghh…, eenngghh…, Ar…”, pekiknya lirih. Ia sangat terangsang sekali dengan ulahku. 30 detik kemudian dengan cepat aku menggeser tubuh ke bawah. Kini saatnya bagiku untuk bermain-main dengan kedua buah payudaranya sepuas mungkin. Kali kurebahkan perutku merapat ke tubuh Tante Vivi, dan mm…, perutku terasa menekan nikmat bukit kemaluannya yang besar…, sedikit kurasakan kalau bukit kemaluannya itu sedikit agak kasar, seperti bekas kalo ada rambut yang dicukur.
Dari dekat aku dapat menyaksikan betapa luar biasa besarnya payudara Tante Vivi, warnanya begitu putih bersih dan mulus. Kedua putting payudaranya yang kecil lucu seakan tidak sebanding dengan besar susunya, berwarna coklat kemerahan. Baru kali ini aku melihat seorang wanita memiliki susu yang sangat besar, selama ini aku hanya melihatnya di dalam film BF, itupun milik cewek bule. Bahkan jemari tanganku yang kubuka selebar mungkin masih belum bisa melingkari bulatan kedua buah dada Tante Vivi yang extra large. Dalam hati…, susu sebesar ini berapa ukuran BH-nya yaah…, aku jadi makin tegang sendiri memikirkannya. Dengan gemas kedua jemari tanganku yang sudah melingkari kedua buah dadanya bergerak meremas-remas pelan…, wooww…, begitu kenyal, kencang dan hangat.
“Nngnngghh…, oouuhh”, Tante Vivi memejamkan kedua matanya dan mulutnya yang basah mengerang keenakan. Aku tersenyum. “Kuperkosa habis-habisan kau nanti Tante…” bisikku dalam hati penuh nafsu. Aku menunduk dan mulutku mulai menghisap nikmat susunya yang sebelah kiri secara perlahan. Lidahku dengan gemas menyentil putingnya dan menggigit pelan.“Aaww…, nngghh…”, Tante Vivi merintih semakin keras. Aku jadi ikutan terangsang. Mulutku mulai menghisap putingnya sedikit lebih keras dan semakin keras. Kubuka mulutku selebar mungkin, seolah ingin menelan susunya. Kuhisap sekuatnya susu kirinya sampai pipiku terasa kempot, lidahku dengan ganas memilin-milin putingnya dengan perasaan geregetan. mm…, nikmatnya…, Pop…, pop…, berulang kali aku menghisap dan melepaskan hisapanku dengan kuat sampai berbunyi nyaring. Puas dengan hisapan, lidahku yang basah kujalarkan menjilati seluruh permukaan payudaranya sampai penuh dan basah oleh air liur.
Tante Vivi bergerak semakin liar. Mulutnya berulang kali memekik dan mengerang keenakan menikmati sedotan mulutku pada susunya. “Aaww…, ngghh…, aww…”. Jemari tangannya tak tahan mengerumasi rambut kepalaku dengan gemas. Mulutku kini berpindah untuk menghisap,mengulum dan menjilati susunya yang sebelah kanan, sementara susunya yang kiri gantian kuremas-remas dengan lembut. Seperti juga yang kiri, aku mengenyot-ngenyot payudara kanannya membuat Tante Vivi semakin menggeliat hebat keenakan. “aaww…, Ar…, hu.., hu…, sudah Ar…, ngghh…, sudah sayang…”, erangnya tak kuat menahan rasa nikmat. Aku semakinbersemangat. Kuhisap, kukulum, kupilin, kukenyot dan kujilati payudaranya yang kanan berulang-ulang kali tanpa ampun, membuat Tante Vivi berulangkali pula memintaku untuk segera menyudahi. “aaww…, sudah sayang…, aduuh…, hu.., huu.., ngghh…, k…, kau nakal Ar…”, erang Tante Vivi sambil tetap mengerumasi rambut kepalaku. Aku tak peduli, cukup lama sekali aku mengenyot dan menyusu kedua belah payudaranya yang besar. Mungkin sekitar 10 menitan lebih. Setelah puas barulah aku dapat melihat kedua buah dadanya yang tadinya begitu putih mulus dan bersih itu kini sampai basah penuh liur, dan di sana sini tampak kemerahan bekas hisapan mulutku. Terutama disekitar kedua putingnya yang kini tampak semakin merah saja, kulihat ada sedikit guratan merah di situ mungkin bekas gigitanku tadi…, gemass sih.
Tante Vivi memandangku sayu, kedua matanya sedikit berair dan memerah, bibirnya gemetar. Wajah cantiknya itu kelihatan sedikit geregetan. “Kamu benar-benar nakal sekali Ar…, Awas kamu yaa…”, bisiknya lirih padaku seakan ingin membalas dendam. Aku tersenyum padanya,lalu tiba-tiba kedua jemari tangannya tadi mendorong kepalaku ke bawah. mm…, rupanya Tante Vivi ingin aku mencumbu alat kemaluannya. Wooww…, ini favoritku malah…, dengan sigap aku menggeser ke bawah…, mm terasa enaak saat perutku menggesek bukit kemaluannya. Lidahku kujulurkan menjilati permukaan perutnya yang halus dan sejenak sempat kugelitik lubang pusarnya dengan lidah dan bibirku. Dan ketika mukaku sampai di atas selangkangannya…, wooww…,ini dia ee…, alamak indahnya alat kemaluan milik Tante Vivi ini. Begitu putih dan mulus sesuai dengan warna kulit tubuhnya, disana-sini masih bisa terlihat secara samar kehitaman bekas cukuran bulu jembut kemaluannya. Alat kemaluannya itu kelihatan besar dan tebal, membentuk sebuah bukit kecil di atas selangkangannya.
Kini dengan jelas aku dapat melihat dari jarak kurang dari 15 centi bibir labia mayoranya yang tebal saling menutup sangat rapat satu sama lain membentuk lekukan celah sempit memanjang vertikal sampai diatas lubang duburnya yang kecil berwarna hitam kecoklatan. Liangvaginanya seolah tertutup rapat tersembunyi oleh ketebalan labia mayoranya itu. Aroma khas bau alat kemaluannya benar-benar memabukkanku. Hidungku kembang-kempis menarik napas panjang menghirup aroma nikmat bau alat kelaminnya. Mm…, memang aku begitu menyukai bau alat kelamin wanita. Baunya seharum milik Dina. Namun berbeda dengan milik Dina yang sedikit lebih kecil bentuknya, alat kemaluan Tante Vivi yang besar ini dapat kuduga memiliki liang senggama yang lebih panjang dan dalam. mm…, pasti daya tampung air maninya pasti banyak sekali. Seolah mengerti pikiranku, batang penisku yang sudah ereksi bak pisang raja itumanggut-manggut pelan mengiyakan walau sudah terjepit di atas kasur.
Tiba-tiba tanpa kuduga tangan Tante Vivi menekan kepalaku ke bawah, sehingga tanpa dapat kucegah lagi mukaku langsung nyosor terbenam ke dalam selangkangannya yang putih merangsang. Hidungku sampai amblas masuk terjepit diantara labia mayoranya yang tebal. Aku tidak bisa bernapas bebas, yang kurasakan hidungku hanya bisa menghisap udara bercampur aroma khas bau alat kewanitaannya yang menyengat dan memabokkan dari sela-sela bibir kemaluannya. Sementara mulutku yang menekan bukit kemaluannya agak sebelah bawah terasa pas berada dimulut liang vaginanya. Aku tak menyia-nyiakan. Lidahku langsung kujulurkan ke bawah sepanjang mungkin menyelip dan menembus bibir kemaluannya dan secara perlahan mulai memasuki liang vaginanya yang terasa sempit dan licin. Aku kira cairan lendir vaginanya mulai mengalir keluar cukup banyak, terbukti ketika lidahku yang masuk sekitar 1 centi ke dalam, liang vaginanya terasa penuh dengan cairan lendir yang sedikit amis namun nikmat dirasakan. Mulutku sampai mengecap nikmat berulangkali menyedot cairan vaginanya itu.
Tante Vivi menggeliat hebat dan mulutnya mengerang panjang keenakan…, pinggulnya terkadang digoyangkan lembut kekiri-kanan dan juga keatas menikmati cumbuanku. “aagghghh…, nggnnhhfff…, sshh…, aarr…”, pekiknya nikmat. Jemari tangannya semakin menekan kepalaku ke bawah, membenamkan mukaku seluruhnya ke bukit kemaluannya. Dalam posisi seperti ini, mau tak mau membuat hidungku semakin tak bisa bernafas, hidungku seolah tenggelam terjepit diantara bibir kemaluannya yang tebal. Bau khas alat kemaluannya terasa makin menyengat. Meski membuatku semakin terlena, namun aku bisa-bisa mati kehabisan napas juga.
Kususupkan kedua jemari tanganku menyusuri ke bawah ke balik bulatan pantatnya yang kenyal dan padat, tanganku mulai meremas gemas lalu dengan buas kugoyang-goyangkan mukaku mengusap ke seluruh permukaan bukit kemaluan Tante Vivi yang hangat dan empuk. Hidungku mengambil napas sebentar lalu dengan gairah tinggi kembali kuselipkan diantara bibir kemaluannya menyentil-nyentil bulatan mungil clitorisnya dengan ujung hidungku, sementarabibir dan lidahku yang kembali kutelusupkan sekitar 1 centi memasuki liang vagina sempitnya, menggelitik-gelitik lembut mulut liang vagina merahnya sembari terus menyedot cairan lendir miliknya yang masih tersisa. Tante Vivi menjerit dan mengerang-erang dengan keras, pinggulnya menggeliat semakin hebat menahan kenikmatan yang kuberikan pada alat kelaminnya. Aku benar-benar puas bisa membuatnya seperti itu. Kuremas dan kucengkeram kuat bulatan bokongnya yang kenyal agar jangan bergerak terlalu liar, seolah tak ingin melepaskan pagutannya, mukaku sedikit kuangkat kembali sembari menghirup udara segar lalu lidahku kujulurkan sepanjang mungkin sambil menyusuri dan menjilati permukaan bukit kemaluan lunaknya yang putih merangsang. Mulutku tak henti-hentinya mengecup gemas bukit terlarang milik Tante Vivi itu.
“oouuhh…, nngghhnngghh…, ngghh..”, mulut Tante Vivi merintih dan mengerang tak karuan menahan geli dan nikmat. Pinggulnya digoyang-goyang kiri kanan, sesekali kurasakan kedua pahanya yang kini menjepit kepalaku sambil mengejan kuat ke bawah seolah inginmemuntahkan cairan kenikmatan tubuhnya. Memang kenyataannya demikian, lidahku yang sesekali menelusup masuk ke dalam liang vaginanya sambil menyentil gemas daging clitorisnya seolah menemukan sumber air kecil yang mengalir deras. Sementara tangan kiriku masih mencengkeram bokongnya, dengan gemas lalu kusibakkan dengan jemari tangan kananku bibir kemaluannya yang tebal, jemariku itu sampai gemetar seolah masih tak percaya dengan segala keindahan ini, terasa begitu lunak, hangat dan basah ketika jemari tanganku secara perlahan menyibakkan bibir kemaluannya mengintip keindahan celah dan liang vagina sempitnya yang ternyata berwarna kemerahan.
oohh…, kulihat…, liang vaginanya yang terletak sedikit di atas lubang duburnya, begitu kecil dan terlihat sempit sembari mengalirkan keluar cairan lendir kemaluannya yang berwarna bening. Agak di sebelah atas liang kewanitaannya itu kulihat bulatan daging kecil clitorisnya yang besarnya mirip seperti biji kacang ijo. Aku sedikit heran, karena liang vagina milik Tante Vivi ini kecilnya hampir sama dengan liang vagina milik Dina. Aahh…, batang penisku yang sudah berdiri tegak menunggu giliran untuk take over jadi makin cenat-cenut…, teng-teng tidak karuan…, tidak tahan nih kalau sempitnya seperti ini…, bisa-bisa tidak sampai digenjot 5 menit air maniku sudah muncrat keluar…, seperti yang aku rasakan bersama Dina akhir-akhir ini. Aku sendiri tidak habis pikir kenapa sewaktu aku dulu memperawani Dina bisa menahan gesekan dan jepitan liang vaginanya sampai 20 menit, tapi akhir-akhir ini bisa tahan tidak muncrat sampai 10 menit saja itu sudah lumayan. Mungkin saja aku terlalu terangsang saat menggagahi Dina. Entahlah.
“A.. Aarr…, Lagi sayangghh…”, Tante Vivi berbisik sedikit serak. Aku sejenak tersadar dari lamunan…, He.. He…, aku jadi geli juga…, di saat lagi asyik masyuk seperti itu masih bisa juga aku ngelamun…, ngeres lagi…, he…, he..”. Kudongakkan kepala ke atas sambil kupandang wajah cantik Tante Vivi yang berkeringat agak kusut sekilas, lalu kutundukkan muka, lidahkudengan liar penuh rasa gemas kembali menjilati kedua belah permukaan labia mayoranya, kepalaku sedikit kuputar sekitar 40 derajat kekiri lalu dengan nikmat mulut dan lidahku mulai mencumbu, mengulum, memilin dan menghisap bibir-bibir kemaluan Tante Vivi secara bergantian atas dan bawah, seperti kalau kami berdua berciuman mulut.
mm…, rasanya yang jelas tidak selezat daging hamburger McDonald atau Wendys tapi yang pasti ada semacam feel great dan sensasi keindahan bercampur kenikmatan tersendiri yang tak bisa diungkapkan kata-kata begitu indah rasanya mengulum dan mengecup bibir kemaluan wanita sambil menikmati aroma khas bau alat kelaminnya dan juga suara erangan nikmatnya.
mm…, aku benar-benar bangga membuat Tante Vivi sampai berulang kali mengejan ke bawah menghentakkan kedua belah pahanya yang putih seksi, sambil tak henti-hentinya mulutnya memekik kecil dan merintih panjang menahan geli bercampur sejuta kenikmatan. “Aahh…, nnggngghghh…, ngghghnhgghh…”, rintih Tante Vivi berulang kali.
Kurang lebih 2 menitan aku mengenyot kedua belah bibir labia mayoranya dengan mulutku lalu dengan nakal kembali kusibakkan sedikit lebih lebar bibir vaginanya dan dengan cepat kujulurkan lidahku mengusap lembut celah merah diantara bibir kemaluannya…, menyentil mulut liang vaginanya yang sempit dan mungil beberapa puluh detik lalu kembali menggelitik daging clitorisnya. Tante Vivi sampai menaik-turunkan pinggulnya menahan rasa nikmat. Saat bibir dan lidahku secara bersamaan menghisap dan memilin daging kecil clitorisnya sampai pipiku sedikit kempot, tiba-tiba Tante Vivi memekik keras dan akhirnya mendesah panjang…, pinggulnya sontak diangkat ke atas seolah tak kuat menahan rasa nikmat dan mengejan pelan. Kedua pahanya menjepit ketat kepalaku dari samping kiri dan kanan. Jemari tangan kiriku yang kini terasa bebas, mengusap mesra kedua belah bulatan bokong Tante Vivi dan meremas-remas lembut. “Aagghh…, aoohh…, sshhghffhhghh…” Desah Tante Vivi panjang. Aku tahu ia pasti sedang meregang menuju puncak kenikmatan…, Sedetik…, 2 detik…, 3 detik…, aku merasakan kedua belah pahanya yang begitu halus dan padat menekan kepalaku mulai bergetar lembut dan mengejan semakin kuat menandakan cairan lendir kenikmatannya segera tumpah keluar…, orgasmee.
Tetapi aku berpikir lain, seketika cepat kulepaskan hisapan mulutku pada daging clitorisnya dan dengan kuat kedua tanganku membuka kedua belah pahanya yang masih menjepit kepalaku. Begitu lepas, dengan sigap aku merangkak keatas dan rebah di samping tubuh bugil Tante Vivi. Kulihat Tante Vivi masih memejamkan kedua matanya seolah sedang menikmati sesuatu, sejenak begitu tersadar kenikmatan yang ia inginkan tak tercapai…, kedua matanya terbuka dan jelalatan setengah melotot memandang selangkangannya yang kosong…, dan TanteVivi mendapati diriku telah berada di sebelahnya sambil kutersenyum penuh kemenangan.
Wajah cantiknya yang berkeringat kelihatan memerah seolah menahan sesuatu, bibir bawahnya digigit keras seperti geram, kedua matanya yang sedikit merah memandangku seolah mau marah. Aku semakin tersenyum lebar, namun tidak demikian dengan Tante Vivi…, rupanya ia jengkel karena hampir saja aku membuatnya orgasme namun justru aku malah menghentikannya ditengah jalan. “K.., kkamu…, benar-benar nakal sekali Arr…, hh…, teganya kamu Sayang…”, bisiknya dengan bibir gemetar. Lalu dengan cepat tanpa kuduga sama sekali, Tante Vivi menggulingkan tubuh montok seksinya yang putih mulus ke atas menaiki tubuhku, Kedua pahanya dibuka lebar dan kedua belah bokongnya yang bulat padat terasa begitu kenyal dan tanpa ampun menduduki buah zakarku sementara bukit kemaluannya yang besar terasa begitu empuk menekan batang penisku yang sudah sangat tegang…, ooh…, nikmatnya.
Sambil menyunggingkan senyuman sadis Tante Vivi memandangku seolah ingin menelanku. “Tante mau lihat sehebat apa kamu Arr…”, bisiknya pelan. Aku yang masih terkaget menyaksikan ulahnya tadi hanya bisa melongo sambil menikmati sentuhan tubuh montoknya pada alat kejantananku sambil memandangi kedua buah payudara besarnya yang mengacung kencang ke depan memamerkan kedua buah puting susunya yang kelihatan sedikit membesar keras dan berwarna coklat kemerahan.
Aku masih terpana memandang keindahan tubuhnya, ketika dengan cepat Tante Vivi mengangkat pinggulnya yang ramping ke atas, kedua belah pahanya yang putih mulus kelihatan begitu seksi dan padat. Begitu gemas saat jemari tangan kanan Tante Vivi menggenggam dan meremas batang penisku…, lalu di arahkan ke bukit kemaluannya sebelah bawah…, ke depan mulut liang vaginanya…, oohh…, aku mendesah pelan menyaksikan semua itu. Aku tidak menyangka Tante Vivi melakukan semua itu tanpa perasaan risih sedikitpun, mungkin ia sudah begitu ngebet dan liang vaginanya sudah gatal kepingin disetubuhi.
Sejenak aku mengira ia pasti sukar sekali memasukkan batang penisku yang sudah berdiri tegak dan besar mirip punya Rocco Siffredi. Kuluruskan kedua pahaku ke bawah agar Tante Vivi tidak terlalu kesulitan menyetubuhiku nantinya. Tetapi kali ini aku kecele…, sambil menundukkan wajah yang membuat rambut panjangnya terurai indah, kulihat Tante Vivi sejenak berkutat masih mengarahkan batang penisku ke pintu liang vaginanya lalu dengan perlahan pinggulnya diturunkan.
Oogghh…, Aahh…, aku mendelik dan mengerang nikmat saat dengan mata kepalaku sendiri kulihat bibir kemaluannya yang tebal itu vagina lebar menerima tusukan kepala penisku dan liang vaginanya yang merah dan sempit mulai tersibak dan menjepit ujung kepala penisku yang secara perlahan-lahan mili demi mili mulut daging liang vaginanya semakin melebar sesuai ukuran kepala penisku dan mulai menenggelamkannya ke dalam liang vagina Tante Vivi. “Oougghhghh…, nngngnghhaahh…”, pekikku keras menahan rasa nikmat yang luar biasa saat kepala penisku dalam 5 detik telah berhasil memasuki liang vaginanya yang ketat. aahh…, di dalam situ kurasakan daging vaginanya seolah sudah menjepit sedemikian kuat seolah diremas-remas membuat kepala penisku berdenyut-denyut keenakan.
Tante Vivi melepaskan jemari tangan kanannya dari batang penisku, kini kedua tangannya diletakkan di atas dadaku sambil setengah membungkuk untuk menyangga tubuhnya bagian bawah yang masih melakukan penetrasi. Ia kini memandangku dengan senyuman manisnya kembali, bibirnya yang ranum merekah indah. Kedua buah dadanya yang besar dan kencang kini setengah menggantung bak buah pepaya. “Enaak…, Arr…”, bisik Tante Vivi tanpa malu-malu padaku. “I…, iiyaa tantee…”, sahutku gemetar menahan rasa nikmat. “Mm…, milikmu besar juga sayangg…”, bisiknya lagi. Lalu dengan perlahan-lahan Tante Vivi mulai menurunkan pinggulnya kebawah lagi sambil memejamkan mata. Namun mulutnya yang indah itu malah tersenyum seolah ikut menikmati apa yang sedang kurasakan sekarang.
“Aahhgghh…”, erangku keenakan saat daging liang vaginanya yang luar biasa sempit itu mili demi mili secara perlahan terus menjepit kuat dan menenggelamkan batang penisku yang masih tersisa sekitar 11 centi lagi. Dengan sekuat tenaga sambil menahan rasa nikmat kusaksikanterus proses penetrasi itu, urat-urat di seluruh batang penisku sampai menonjol keluar membentuk guratan-guratan kasar di sekeliling permukaan penis menahan jepitan daging liang vagina Tante Vivi yang terus berusaha menenggelamkan seluruh alat kejantananku itu. Milidemi mili kini berganti centi demi centi…, dengan tanpa hambatan berarti walau terasa begitu sesak dan sempit batang penisku melungsur masuk dengan ritme semakin cepat kedalam liang vaginanya. “Mm…, aahh…, mm”, Tante Vivi hanya mendesah dan merintih kecil saat batang penisku yang besar dengan perlahan telah hamper seluruhnya tenggelam ke dalam bagian tubuhnya yang paling sangat terlarang. Hanya tinggal 2 centi saja kulihat batang penisku yangmasih tersisa di luar liang vaginanya. Kedua mataku sudah merem melek keenakan, kedua pahaku sampai gemetaran saking hebatnya rasa nikmat itu. “ooww…” “Aaghghghh…”
Kami berdua mengerang nikmat hampir bersamaan, saat penetrasi yang terakhir berlangsung. Kulihat sekilas bukit kemaluan milik Tante Vivi itu sedikit menggembung lebih besar karena seluruh batang penisku yang tebal sepanjangnya 14 centi itu telah terbenam kandas di dalamliang vaginanya. Betapa indah menyaksikan dua alat kemaluan milik kami berdua yang telah menyatu padu. Selain jepitannya yang luar biasa ketat, kurasakan daging vagina Tante Vivi yang terasa hangat dan licin itu seolah memijat-mijat mesra dan menghisap lembut.Wooww…’ ujung jemari kakiku sampai gemetaran keenakkan. “mm…, Bagaimana sayang..”, bisik Tante Vivi pelan sambil memandangku mesra sekali. “Aahhghghg…, Nikmat sek.., kali Vii..”, sahutku gemetar. Kedua pahanya yang mulus kini menjepit pinggangku mesra, sementara pinggulnya menempel selangkanganku dengan ketat. Bokongnya yang kenyal menduduki kedua buah bola zakarku.
“Air maniku…, mau keluar Tante…”, bisikku menahan nikmat sambil setengah menggodanya.“Iihh…, Awas yaa kamu Ar..”, sahutnya sambil tersenyum. Ia seolah mengerti batang penisku tidak bakalan lama bertahan dijepit liang vagina miliknya seketat itu. “Ar…, Tante sudah lama sekali tidak melakukan ini…, mm…, tahan ya sayang…, tunggu Tante yaa..”,bisiknya begitu genit sekali.
Lalu dengan perlahan Tante Vivi mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun secara perlahan menggesekkan daging liang vagina sempitnya dengan batang penisku yang sudah tegak tak terkira. Seolah tidak ada hambatan walaupun terasa begitu sesak saking sempitnya ketika kedua alat kelamin kami saling beradu dan bergesekan. “Uuhh…, uhh…, uhh..”, Tante Vivi merintih kecil saat setiap kali pinggulnya bergerak turun memasukkan kembali batang penisku yang besar dan keras ke dalam liang vaginanya. Wajahnya yang cantik bergoyang lembut seiring dengan goyangan pinggulnya yang menggemaskan di atas selangkanganku. Kedua matanya dipejamkan rapat seolah sedang meresapi dan menikmati persenggamaan yang benar-benar luar biasa indah ini. Kedua buah dadanya yang besar terguncang-guncang begitu indah bak buah kelapa tertiup angin. Kedua jemari tangannya yang menyangga dan menekan lembut dadaku menghentak-hentak pelan setiap kali pinggul Tante Vivi bergoyang pelan naik turun secara teratur.
Aku tak sanggup lagi menikmati semua sensasi indah ini sendirian. Aku masih seakan tak percaya melihat sesosok tubuh cantik bak bidadari yang begitu montok dan seksi, begitu putih dan mulus dan kini malah sedang asyik menggoyangkan pinggulnya yang aduhai di atasselangkanganku menikmati alat kejantananku. “Oohhaahh…, hahahhgghh…”, erangku saking nikmatnya. Batang penisku seakan dikocok, dibelit, disedot dan dikenyot habis-habisan oleh daging liang vaginanya yang luarbiasa sempit dan licin. Kedua mataku merem-melek secara bergantian menikmati gesekan itu, setiap kali pinggul Tante Vivi bergerak ke atas aku merasa batang penisku seakan disedot kuat daging liang vaginanya namun begitu pinggulnya bergerak turun ke bawah batang penisku seakan diremas dan dilumat hebat oleh liang vaginanya.
Sukar diungkapkan dengan kata-kata rasa nikmatnya. “Vivi…, aagghh…, aahahhgghh…”, erangku berulangkali keenakan. Kedua tanganku berusaha menahan laju naik turun pinggulnya yang kurang ajar itu. Namun jemari kedua tanganku seolah tiada bertenaga mengangkat bokongnya yang berat, dan tanpa ampun secara terus-menerus liang vagina Tante Vivi dengan jepitannya yang luar biasa meluluh lantakkan seluruh batang penisku seperti pisang kepok yang takberdaya diremas dan dipilin-pilin sampai lumat. Aku tak sanggup bertahan meredam rasa nikmat seks yang luar biasa itu, air maniku sontak langsung mengalir mendesak-desak hendak muncrat keluar. Tante Vivi seolah tak mau tahu terus bergerak naik turun menggoyang pinggulmengeluar masukkan batang penisku ke dalam liang vagina sempitnya.
“Uuhh…, uuhh…, uu…, hh…, uuhh..”, erangnya berulangkali menikmati alat kejantananku yang sedang berada di dalam liang vaginanya. “aahahh…”, aku mengerang panjang sambil sejenak menahan napas untuk menghambat agar air maniku tidak sampai muncrat keluar. “uuh…, kamu mau keluar sayang…”, bisik Tante Vivi genit. “Iyyaa…, Vi..”, sahutku gemas tanpa memanggilnya dengan sebutan Tante lagi “ooh…, Aku bener-bener tidak tahan lagi.” “Hik…, hik…, oke Sayang…, kamu keluar duluan Ar…, Tante jepit lebih keras yaa Sayang…”, bisiknya semakin genit tanpa malu-malu. Aku jadi makin gemas dibuatnya.
Tante Vivi memang benar-benar luar biasa sambil menggoyang pinggul semakin cepat naik turun, kurasakan daging liang vaginanya seolah menjepit 2 kali lebih hebat, batang penisku seolah diremas dan dikenyot-kenyot hebat sambil digesekkan keluar masuk meski hanyasekitar 4 centi saja. oohh…, bak tanggul jebol akhirnya aku menyerah kalah…, aku tak mampu menahan desakan air maniku yang sudah sampai di leher batang penisku. Kuremas gemas kedua belah payudara Tante Vivi yang besar terguncang dengan kedua belah jemari tanganku. Aku menggeram keras dan melepas puncak kenikmatan seks.
“aagghhghghhgaahh…”, Teriakku nikmat…, saat dengan hebatnya air maniku muncrat keluar dengan tembakan-tembakannya yang keras dan kuat. “Craatt…, craatt…, Crraatt…, craatt..” ke dalam liang vagina Tante Vivi yang sempit licin dan hangat. “uu…, mm…, uu…, mm…, ooww.., banyak sekali manimu sayangghh…, uu…”, desahnya lembut saat air maniku kutembakkanberulang kali dengan sepenuh rasa nikmat ke dalam liang vaginanya. Jiwaku seakan terbang melayang jauh keatas awan…, begitu tinggi…, terasa begitu nikmatnya, “Oohh…”. Tubuhku seakan menggelepar dirajam kenikmatan yang tak terkira, begitu indah dan enaknya saatdaging liang vagina Tante Vivi yang menyempit hebat menggesek semakin cepat pula batang penisku yang sedang collapse…, ejakulasi, seakan milikku diurut-urut mesra sembari memuntahkan air mani yang sangat banyak dan kental. Crraat…, crraatt…, crraatt…, creett…
Kira-kira 8 semburan nikmat yang memabukkan. Aku masih terlena diawan kenikmatan menikmati sisa-sisa semprotan air maniku yang masih tersembur keluar di dalam liang vaginanya. Tante Vivi dengan masih bersemangat menggenjot pinggulnya naik turun dengan cepat meluluh lantakkan alat kejantananku yang benar-benar sudah lumat terkuras. Jiwaku seakan kembali terhempas keatas tanah…, seolah terlempar dari pusaran awan kenikmatan yang terasa begitu singkat.

Tidak ada komentar: