Selama menjadi mahasiswa di ibukota provinsi ini, aku selalu dan hampir setiap hari mengunjungi perpustakaan milik pemerintah provinsi, sehingga hampir semua pegawai yang bekerja pada instansi ini mengenalku dan akrab denganku, baik yang pria dan wanitanya.
Namun dalam pikiran nakalku yang mampu menilai sesorang, hanya terdapat dua orang ( yang jelas wanita ) yang mampu menarik perhatianku sehingga aku selalu memberikan atensi yang lebih terhadap dua orang ini. Yang pertama adalah staf bagian informasi dan teknologi yang sebut saja namanya Mbak Diah, aku memanggilnya begitu, 32 th-an, perempuan cantik semampai proporsional berkulit putih berambut sepunggung yang selalu memakai supra-nya setiap ke kantor, belum menikah dan aku belum terlalu mendalami kehidupan pribadinya.Kedua adalah staf administrasi yang berkantor di lantai tiga bangunan ini, Ibu Ayu, manis berambut sebahu, 37 th-an, corak standar manusia-manusia Indonesia, menikah dan punya 2 anak, yang paling kecil SMP kelas 2 dan satunya SMU kelas 3, escudo kuning yang selalu menemaninya tiap pagi saat berangkat ke kantor.Dari kedua wanita tersebut hanya dengan Ibu Ayu saja aku tampak lebih akrab sehingga aku pun mengetahui dengan benar seluk beluk kehidupan rumah tangganya beserta dengan segala masalah yang dihadapinya.
Suatu siang, saat aku baru datang, kulihat Ibu Ayu sedang melihat TV yang memang sengaja dipasang di lobby untuk para pengunjung instansi ini, kudekati dan duduk di sebelahnya.“Siang, Bu!, lagi santai nih?” Tanyaku membuka percakapan. “Eh, Dik Adi!, iya, tadi habis kunjungan keluar bareng ibu kepala dan nganter si Santi (putri tertuanya) pulang. Udah selesai kuliahnya?” jawabnya. “Sudah.., tadi cuma ada satu mata kuliah” “O gitu!, O ya, ntar malam di Cafe ada konsernya Peterpan, mau nonton nggak?” “Sama Santi, ya!, ntar saya ikut!” Kataku merajuk soalnya anaknya itu menuruni kecantikan ibunya sewaktu muda. “Ya, nanti Santi tak suruh ikut!” “Lha emang Bapak kemana, Bu?” “Lagi mengikuti Pak Walikota ke Jakarta sampai tiga hari mendatang” “Okelah kalau begitu, nanti sore saya kesini lagi, trus berangkat!” “Sip kalau begitu ” Jawabnya senang.
Sore yang dijanjikan pun tiba, aku masuk kedalam kantornya dan menemukan dia sedang membereskan beberapa map pekerjaannya. “Tunggu di bawah ya, Dik!, aku mau ganti baju, dan tadi Santi telepon katanya tidak bisa ikut karena besok ada ulangan dan agak tidak enak badan” Katanya menyambutku. Dan aku pun mengeluh, gagal deh kencan dengan Santi. Tak berapa lama kutunggu, Ibu Ayu sudah menemuiku dengan berganti pakaian dinasnya menjadi blus ketat dengan jins, wah.., oke juga nih ibu-ibu, nggak mau kalah dengan yang muda dalam soal dugem. “Ayo!” Ajaknya. Aku pun mengikutinya menuju escudo kuningnya dan berlalu dari kantor instansi tersebut. “Kemana kita?, bukannya konsernya ntar malam?” Tanyaku. “Bagaimana kalo kita cari makan dulu sambil ngobrol-ngobrol nunggu jam lapan buat nonton konser ? ” Usulnya. “Boleh juga!, dimana?” “Ntar, liat aja, biar Ibu yang charge, OK!” Aku pun mengangguk mengiyakan nya.
Di sebuah resto china dijalan protokol kota ini, setelah menyantap hidangan laut, kami pun mengobrol mengahbiskan waktu dengan membahas berbagai persoalan baik itu maslah sosial maupun pribadi. Seperti halnya Ibu Ayu menceritakan padaku tentang bagaimana menjemukannya kehidupan rumah tangganya. “Wah, kalau soal itu saya tidak bisa memberikan pendapat, Bu!, masalahnya saya belum pernah berumah tangga.” kataku meresponnya. “Ini cuma sekedar curhat koq, Dik!, biar besok menjadi semacam panduan bila nantinya dik Adi sudah menjalan kehidupan bersama” Jawab Ibu Ayu diplomatis. “Dan, jangan panggil Ibu, dong!, panggil saja Mbak, khan usia kita ngga terlalu jauh banget bedanya, paling cuma 13 tahun !” Tambahnya. Dan aku pun tertawa mendengar kelakar tersebut.
Ketika waktu telah menunjukkan saatnya, kami keluar dari resto tersebut disambut dengan gerimis, berlari-lari menuju mobil untuk meluncur ke cafe yang dimaksud. Selama konser tampak Ibu Ayu sangat menikmati suasana tersebut sambil sesekali mengenggam tanganku, sehingga mau tidak mau pun aku menjadi ikut terbawa oleh suasana yang menyenangkan. Konser pun berakhir, dan saatnya kami untuk pulang. Sambil-sesekali berceloteh dan bersenandung, kami menuruni tangga cafe, yang entah karena apa, Ibu Ayu terpeleset namun untunglah aku sempat memeganginya namun salah tempat karena secara reflek aku menariknya kedalam pelukan ku dan tersentuh buah dadanya. Sejenak Ibu Ayu terdiam, memandangku, mempererat pelukannya dan seakan enggan melepaskannya. “Bu, eh..Mbak, udah dong, malu ntar dilihat orang” Kataku. Dia pun melepaskan pelukannya, dan kami menuju ke mobil dengan keadaan Ibu Ayu sedikit pincang kaki nya.
Tengah malam kurang sedikit, kami sampai di rumah Ibu Ayu, karena aku sudah terbiasa pulang pagi, jadi kudahulukan untuk mengantar kerumahnya untuk memastikan keadaannya. Rumah dalam keadaan sepi, penghuninya sudah tidur semua kurasa, dan aku pun duduk di sofa sambil sejenak melepaskan lelah. Sambil terpincang-pincang, Ibu Ayu membawakan segelas teh manis hangat untukku, dan duduk di sampingku. Aku jadi teringat kejadian di tangga cafe tadi. “Masalah tadi, maafin saya Mbak, itu reflek yang nggak sengaja.” Kataku. “Nggak papa koq, Mbak ngga hati-hati si, pegel banget nih!” Katanya. “Sini saya pijitin” kataku sambil mengangkat kakinya dang menggulung celana jins nya sampai selutut.
Dia pun merebahkan badannya agar aku bisa leluasa memijitnya. Tak berapa lama kemudian dia bangkit sambil ikut memijiti kakinya sendiri. Saat tangan kami bersentuhan ada getar-getar halus yang kurasakan menggodaku namun berhasil kutepiskan. Namun tak disangka, Ibu Ayu memegang lengan ku dan menarikku ke dalam pelukannya. “temani aku malam ini, Dik!” Bisiknya lirih di telingaku. Kurasa habislah pertahanan ku kali ini. Di lumatnya bibirku dengan ganasnya, apa boleh buat, aku pun memberikan respon serupa. Kami saling berpagut dengan sesekali mempermainkan lidah. Tangannya menggerayangi tubuhku, mengusap-usap celanaku yang menggembung, sedangkan aku meremas-remas buah dadanya yang masih cukup ranum untuk wanita seusianya.
Lama kami bercumbu di atas sofa, lalu Ibu Ayu menggamitku untuk memasuki kamarnya, dan kami meneruskan cumbuan sepuas-puasnya. Foreplay dilanjutkan setelah kami saling membuka baju, hanya tinggal mengenakan celana dalam saja kami bergelut di atas kasur yang empuk dalam kamar berpendingin udara. Kujilati puting susunya sampai Mbak Ayu mendesah-desah, sementara tangannya menggengam kemaluanku yang dengan lembut dikocoknya perlahan.“Mbak.., aku buka ya, celananya!” Bisikku yang disambut dengan anggukannya. Setelah secarik kain tipis itu terlepas dari pinggulnya, Ibu Ayu mengangkang kan pahanya, dan tampak vaginanya yang kehitaman tertutup lebat rambut. Saat kusibak kerimbunan itu, gundukan daging itu berwarna kemerahan berdenyut panas.
Ibu Ayu memekik dan mendesah perlahan saat vaginanya kujilati. Ditekannya kepalaku sepertinya dia sangat menikmati permainan ini, sampai suatu saat kurasa vaginanya mulai basah dengan keluarnya lendir yang berlebihan. Dengan nafas terengah-engah Ibu Ayu menarik kemaluanku untuk dimasukkan kedalam vaginanya. Kupegan tangannya dan kupermainkan kemaluanku di pintu masuk liang kenikmatan nya itu beberapa lama, kupukul-pukul kan kepala kemaluanku dibibir vaginanya, kumasukkan kemaluanku sedikit dalam vaginanya lalu kutarik keluar kembali, begitu berulang-ulang. “Ayo dong, Dik!, jangan buat aku semakin ……” bisiknya“Tapi aku belum pernah berhubungan badan, Mbak!” Balasku berbisik. “Ayolah, Dik!, aku beri kamu pengalaman menikmati surga ini, ayo..!” Akupun mengangguk
Ibu Ayu berbaring telentang di pinggiran ranjang dengan kaki mengangkang, sementara aku berlutut hendak memasukkan kemaluanku. Di pegangnya kemaluanku dan di arahkan ke dalam vaginanya, kugesek-gesekkan kepala kemaluanku dibibir vaginanya sementara dia mendesah-desah, lalu dengan dorongan perlahan kubenamkan seluruh kemaluanku kedalam liang vaginanya. Sebuah sensasi kenikmatan dan kehangatan yang luar biasa menyelubungi ku, sejenak keresapi kenikmatan ini sebelum Ibu Ayu mulai mengalungkan pahanya pada pinggulku dan memintaku untuk mulai menyetubuhi nya.
Kudorong tubuh Ibu Ayu ketengah ranjang, setelah tercapai posisi yang enak, kugerakkan pinggulku maju mundur mengeksplorasi seluruh kenikmatan yang dimiliki oleh Ibu Ayu. Ruangan kamar yang dingin seolah tidak terasa lagi, yang ada hanya lengguhan-lengguhan kecil kami di timpahi suara kecepok beradunya kemaluan kami, sementara disekeliling kepala kami terbungkus dengan hawa dan bau khas orang bersetubuh. “hh..terus, Dik!, goyangnya yang cepat..Ohh..ohh, Ouuch!” Desahnya. “Yang erat, Mbak!, ayo sayang,..sshh,..hhh..” Desahku. “Ouuw… hh..,…lebih ce…aaahhhh!” “Tenang aja, manisku…ohh.., enak Mbak!” “Sss…. sama… aku juga…ohh..ohh!”
Entah sudah berapa lama kami saling bergelut mencari kenikmatan, lambat laun kemaluanku terasa seperti diremas-remas, lalu Ibu Ayu mendesah panjang sebelum pelukannya terasa melemah. “aku.., sam…,Dik!, …Aaaaakkhhh !” Desahnya. Kurasakan momen ini yang ternikmat dari bagian-bagian sebelumnya, maka sebelum remasn-remasan itu mengendur, kupercepat gerakanku dan kurasakan panas tubuhku meningkat sebelum ada sesuatu yang berdesir dari seluruh bagian tubuhku untuk segera berebut keluar lewat kemaluanku yang membuatku bergetar hebat dengan memeluk tubuh Ibu Ayu lebih erat lagi. “Ohhh..ohh….!” Desahku tak lama kemudian.
Aku bergulir di samping Ibu Ayu mencoba mengatur nafas, sementara dia terpejam dengan ritme nafas yang tak beraturan juga. Kemaluan ku masih tegak berdiri berkilat-kilat diselimuti cairan-cairan licin sebelum lemas. Setelah beberapa saat, nafasku pulih kembali, kubelai rambut Ibu Ayu. Dia tersenyum padaku. “Makasih, Mbak! Enak sekali tadi” Kataku tersenyum“Sama-sama,Dik! Hebat sekali kamu tadi, padahal baru pertama, ya!” jawabnya. Ibu Ayu mencoba duduk, kulihat cairan spermaku meleleh keluar dari lipatan vaginanya yang lalu di usapnya dengan selimut. “Aku keluarkan di dalam tadi, Mbak! habis enak dan ngga bisa nahan lagi, ngga jadi anak khan nanti?” Tanyaku. “Enggak, santai saja, sayang!” Katanya manja sambil mencium pipiku. “Emm..,Mbak!” Tanyaku. “Apa sayang?” Jawabnya. “Kapan-kapan boleh minta lagi, nggak?” “Anytime, anywhere, honey!” Katanya sambil memelukku dan melumat bibirku.
Setelah kejadian itu, tiga hari berikutnya aku menikmati servis istimewa dari Ibu Ayu untuk lebih mengeksplorasi ramuan kenikmatan dengan berbagai gaya yang diajarkan olehnya, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Pada mulanya anaknya yang kuincar menjadi cewek ku, ternyata malah mendapat layanan plus yang memuaskan dari ibunya.
Namun dalam pikiran nakalku yang mampu menilai sesorang, hanya terdapat dua orang ( yang jelas wanita ) yang mampu menarik perhatianku sehingga aku selalu memberikan atensi yang lebih terhadap dua orang ini. Yang pertama adalah staf bagian informasi dan teknologi yang sebut saja namanya Mbak Diah, aku memanggilnya begitu, 32 th-an, perempuan cantik semampai proporsional berkulit putih berambut sepunggung yang selalu memakai supra-nya setiap ke kantor, belum menikah dan aku belum terlalu mendalami kehidupan pribadinya.Kedua adalah staf administrasi yang berkantor di lantai tiga bangunan ini, Ibu Ayu, manis berambut sebahu, 37 th-an, corak standar manusia-manusia Indonesia, menikah dan punya 2 anak, yang paling kecil SMP kelas 2 dan satunya SMU kelas 3, escudo kuning yang selalu menemaninya tiap pagi saat berangkat ke kantor.Dari kedua wanita tersebut hanya dengan Ibu Ayu saja aku tampak lebih akrab sehingga aku pun mengetahui dengan benar seluk beluk kehidupan rumah tangganya beserta dengan segala masalah yang dihadapinya.
Suatu siang, saat aku baru datang, kulihat Ibu Ayu sedang melihat TV yang memang sengaja dipasang di lobby untuk para pengunjung instansi ini, kudekati dan duduk di sebelahnya.“Siang, Bu!, lagi santai nih?” Tanyaku membuka percakapan. “Eh, Dik Adi!, iya, tadi habis kunjungan keluar bareng ibu kepala dan nganter si Santi (putri tertuanya) pulang. Udah selesai kuliahnya?” jawabnya. “Sudah.., tadi cuma ada satu mata kuliah” “O gitu!, O ya, ntar malam di Cafe ada konsernya Peterpan, mau nonton nggak?” “Sama Santi, ya!, ntar saya ikut!” Kataku merajuk soalnya anaknya itu menuruni kecantikan ibunya sewaktu muda. “Ya, nanti Santi tak suruh ikut!” “Lha emang Bapak kemana, Bu?” “Lagi mengikuti Pak Walikota ke Jakarta sampai tiga hari mendatang” “Okelah kalau begitu, nanti sore saya kesini lagi, trus berangkat!” “Sip kalau begitu ” Jawabnya senang.
Sore yang dijanjikan pun tiba, aku masuk kedalam kantornya dan menemukan dia sedang membereskan beberapa map pekerjaannya. “Tunggu di bawah ya, Dik!, aku mau ganti baju, dan tadi Santi telepon katanya tidak bisa ikut karena besok ada ulangan dan agak tidak enak badan” Katanya menyambutku. Dan aku pun mengeluh, gagal deh kencan dengan Santi. Tak berapa lama kutunggu, Ibu Ayu sudah menemuiku dengan berganti pakaian dinasnya menjadi blus ketat dengan jins, wah.., oke juga nih ibu-ibu, nggak mau kalah dengan yang muda dalam soal dugem. “Ayo!” Ajaknya. Aku pun mengikutinya menuju escudo kuningnya dan berlalu dari kantor instansi tersebut. “Kemana kita?, bukannya konsernya ntar malam?” Tanyaku. “Bagaimana kalo kita cari makan dulu sambil ngobrol-ngobrol nunggu jam lapan buat nonton konser ? ” Usulnya. “Boleh juga!, dimana?” “Ntar, liat aja, biar Ibu yang charge, OK!” Aku pun mengangguk mengiyakan nya.
Di sebuah resto china dijalan protokol kota ini, setelah menyantap hidangan laut, kami pun mengobrol mengahbiskan waktu dengan membahas berbagai persoalan baik itu maslah sosial maupun pribadi. Seperti halnya Ibu Ayu menceritakan padaku tentang bagaimana menjemukannya kehidupan rumah tangganya. “Wah, kalau soal itu saya tidak bisa memberikan pendapat, Bu!, masalahnya saya belum pernah berumah tangga.” kataku meresponnya. “Ini cuma sekedar curhat koq, Dik!, biar besok menjadi semacam panduan bila nantinya dik Adi sudah menjalan kehidupan bersama” Jawab Ibu Ayu diplomatis. “Dan, jangan panggil Ibu, dong!, panggil saja Mbak, khan usia kita ngga terlalu jauh banget bedanya, paling cuma 13 tahun !” Tambahnya. Dan aku pun tertawa mendengar kelakar tersebut.
Ketika waktu telah menunjukkan saatnya, kami keluar dari resto tersebut disambut dengan gerimis, berlari-lari menuju mobil untuk meluncur ke cafe yang dimaksud. Selama konser tampak Ibu Ayu sangat menikmati suasana tersebut sambil sesekali mengenggam tanganku, sehingga mau tidak mau pun aku menjadi ikut terbawa oleh suasana yang menyenangkan. Konser pun berakhir, dan saatnya kami untuk pulang. Sambil-sesekali berceloteh dan bersenandung, kami menuruni tangga cafe, yang entah karena apa, Ibu Ayu terpeleset namun untunglah aku sempat memeganginya namun salah tempat karena secara reflek aku menariknya kedalam pelukan ku dan tersentuh buah dadanya. Sejenak Ibu Ayu terdiam, memandangku, mempererat pelukannya dan seakan enggan melepaskannya. “Bu, eh..Mbak, udah dong, malu ntar dilihat orang” Kataku. Dia pun melepaskan pelukannya, dan kami menuju ke mobil dengan keadaan Ibu Ayu sedikit pincang kaki nya.
Tengah malam kurang sedikit, kami sampai di rumah Ibu Ayu, karena aku sudah terbiasa pulang pagi, jadi kudahulukan untuk mengantar kerumahnya untuk memastikan keadaannya. Rumah dalam keadaan sepi, penghuninya sudah tidur semua kurasa, dan aku pun duduk di sofa sambil sejenak melepaskan lelah. Sambil terpincang-pincang, Ibu Ayu membawakan segelas teh manis hangat untukku, dan duduk di sampingku. Aku jadi teringat kejadian di tangga cafe tadi. “Masalah tadi, maafin saya Mbak, itu reflek yang nggak sengaja.” Kataku. “Nggak papa koq, Mbak ngga hati-hati si, pegel banget nih!” Katanya. “Sini saya pijitin” kataku sambil mengangkat kakinya dang menggulung celana jins nya sampai selutut.
Dia pun merebahkan badannya agar aku bisa leluasa memijitnya. Tak berapa lama kemudian dia bangkit sambil ikut memijiti kakinya sendiri. Saat tangan kami bersentuhan ada getar-getar halus yang kurasakan menggodaku namun berhasil kutepiskan. Namun tak disangka, Ibu Ayu memegang lengan ku dan menarikku ke dalam pelukannya. “temani aku malam ini, Dik!” Bisiknya lirih di telingaku. Kurasa habislah pertahanan ku kali ini. Di lumatnya bibirku dengan ganasnya, apa boleh buat, aku pun memberikan respon serupa. Kami saling berpagut dengan sesekali mempermainkan lidah. Tangannya menggerayangi tubuhku, mengusap-usap celanaku yang menggembung, sedangkan aku meremas-remas buah dadanya yang masih cukup ranum untuk wanita seusianya.
Lama kami bercumbu di atas sofa, lalu Ibu Ayu menggamitku untuk memasuki kamarnya, dan kami meneruskan cumbuan sepuas-puasnya. Foreplay dilanjutkan setelah kami saling membuka baju, hanya tinggal mengenakan celana dalam saja kami bergelut di atas kasur yang empuk dalam kamar berpendingin udara. Kujilati puting susunya sampai Mbak Ayu mendesah-desah, sementara tangannya menggengam kemaluanku yang dengan lembut dikocoknya perlahan.“Mbak.., aku buka ya, celananya!” Bisikku yang disambut dengan anggukannya. Setelah secarik kain tipis itu terlepas dari pinggulnya, Ibu Ayu mengangkang kan pahanya, dan tampak vaginanya yang kehitaman tertutup lebat rambut. Saat kusibak kerimbunan itu, gundukan daging itu berwarna kemerahan berdenyut panas.
Ibu Ayu memekik dan mendesah perlahan saat vaginanya kujilati. Ditekannya kepalaku sepertinya dia sangat menikmati permainan ini, sampai suatu saat kurasa vaginanya mulai basah dengan keluarnya lendir yang berlebihan. Dengan nafas terengah-engah Ibu Ayu menarik kemaluanku untuk dimasukkan kedalam vaginanya. Kupegan tangannya dan kupermainkan kemaluanku di pintu masuk liang kenikmatan nya itu beberapa lama, kupukul-pukul kan kepala kemaluanku dibibir vaginanya, kumasukkan kemaluanku sedikit dalam vaginanya lalu kutarik keluar kembali, begitu berulang-ulang. “Ayo dong, Dik!, jangan buat aku semakin ……” bisiknya“Tapi aku belum pernah berhubungan badan, Mbak!” Balasku berbisik. “Ayolah, Dik!, aku beri kamu pengalaman menikmati surga ini, ayo..!” Akupun mengangguk
Ibu Ayu berbaring telentang di pinggiran ranjang dengan kaki mengangkang, sementara aku berlutut hendak memasukkan kemaluanku. Di pegangnya kemaluanku dan di arahkan ke dalam vaginanya, kugesek-gesekkan kepala kemaluanku dibibir vaginanya sementara dia mendesah-desah, lalu dengan dorongan perlahan kubenamkan seluruh kemaluanku kedalam liang vaginanya. Sebuah sensasi kenikmatan dan kehangatan yang luar biasa menyelubungi ku, sejenak keresapi kenikmatan ini sebelum Ibu Ayu mulai mengalungkan pahanya pada pinggulku dan memintaku untuk mulai menyetubuhi nya.
Kudorong tubuh Ibu Ayu ketengah ranjang, setelah tercapai posisi yang enak, kugerakkan pinggulku maju mundur mengeksplorasi seluruh kenikmatan yang dimiliki oleh Ibu Ayu. Ruangan kamar yang dingin seolah tidak terasa lagi, yang ada hanya lengguhan-lengguhan kecil kami di timpahi suara kecepok beradunya kemaluan kami, sementara disekeliling kepala kami terbungkus dengan hawa dan bau khas orang bersetubuh. “hh..terus, Dik!, goyangnya yang cepat..Ohh..ohh, Ouuch!” Desahnya. “Yang erat, Mbak!, ayo sayang,..sshh,..hhh..” Desahku. “Ouuw… hh..,…lebih ce…aaahhhh!” “Tenang aja, manisku…ohh.., enak Mbak!” “Sss…. sama… aku juga…ohh..ohh!”
Entah sudah berapa lama kami saling bergelut mencari kenikmatan, lambat laun kemaluanku terasa seperti diremas-remas, lalu Ibu Ayu mendesah panjang sebelum pelukannya terasa melemah. “aku.., sam…,Dik!, …Aaaaakkhhh !” Desahnya. Kurasakan momen ini yang ternikmat dari bagian-bagian sebelumnya, maka sebelum remasn-remasan itu mengendur, kupercepat gerakanku dan kurasakan panas tubuhku meningkat sebelum ada sesuatu yang berdesir dari seluruh bagian tubuhku untuk segera berebut keluar lewat kemaluanku yang membuatku bergetar hebat dengan memeluk tubuh Ibu Ayu lebih erat lagi. “Ohhh..ohh….!” Desahku tak lama kemudian.
Aku bergulir di samping Ibu Ayu mencoba mengatur nafas, sementara dia terpejam dengan ritme nafas yang tak beraturan juga. Kemaluan ku masih tegak berdiri berkilat-kilat diselimuti cairan-cairan licin sebelum lemas. Setelah beberapa saat, nafasku pulih kembali, kubelai rambut Ibu Ayu. Dia tersenyum padaku. “Makasih, Mbak! Enak sekali tadi” Kataku tersenyum“Sama-sama,Dik! Hebat sekali kamu tadi, padahal baru pertama, ya!” jawabnya. Ibu Ayu mencoba duduk, kulihat cairan spermaku meleleh keluar dari lipatan vaginanya yang lalu di usapnya dengan selimut. “Aku keluarkan di dalam tadi, Mbak! habis enak dan ngga bisa nahan lagi, ngga jadi anak khan nanti?” Tanyaku. “Enggak, santai saja, sayang!” Katanya manja sambil mencium pipiku. “Emm..,Mbak!” Tanyaku. “Apa sayang?” Jawabnya. “Kapan-kapan boleh minta lagi, nggak?” “Anytime, anywhere, honey!” Katanya sambil memelukku dan melumat bibirku.
Setelah kejadian itu, tiga hari berikutnya aku menikmati servis istimewa dari Ibu Ayu untuk lebih mengeksplorasi ramuan kenikmatan dengan berbagai gaya yang diajarkan olehnya, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Pada mulanya anaknya yang kuincar menjadi cewek ku, ternyata malah mendapat layanan plus yang memuaskan dari ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar