Aku sedang asik membuat laporan cashflows project yang harus kuselesaikan dan mengirimkannya malam itu juga ke perusahaan partner kami di Paris. Aku ditemani oleh seorang “OB” yang meski sudah beristri dan memiliki 1 orang anak, masih suka senang meladeni/mencari-cari orang yang salah sambung telepon ke kantor. Jam di meja kerjaku 10.30 tapi lampu (line) telepon masih menyala, sambil istirahat sebentar, kucari pesawat mana yang masih online itu. Belum sempat ketemu, “OB”-ku sudah panggil aku lewat intercom dari pentry tempatnya ber-online ria, “Bang, ada yang mau ngomong nih.. ambil yang kelap-kelip ya..” (Bang = Abang; “OB” kantorku yang satu ini selalu meng-Abang-kan).
Dengan malas kuangkat gagang telepon, sambil teriak ke “OB”-ku itu. “Siapa Nang?” “Angkat aja.. Bang,” jawabnya lagi sambil teriak dari pentry (pentry dengan mejaku agak berjauhan). Pada akhirnya salah sambung ini berkelanjutan jadi menarik. Nama orang yang “salah sambung” itu adalah Lia dan dengan setia akan meneleponku setiap 2 minggu sekali setiap jam 21:00 - 24:00 dan akhirnya aku juga jadi menunggu-nunggu telepon dari Lia. Perlu kuberitahukan di sini, sejak pertama telepon, Lia (aku memanggilnya “Li”) ini bicaranya tidak jauh dari selangkangan dan pusar, dan mungkin ini juga yang membuat aku ketagihan melayaninya. Hingga pada 4 bulan berikutnya, hari Sabtu kami copy darat. Dari situlah baru aku kenal Li dengan wajah melayunya, kulitnya putih, tinggi 162 cm, berat 55 kg, payudara 36C, betis kecil, pantatnya kecil tapi pinggulnya lebih lebar (bahenol), usianya sekitar 35 tahunan. Terus terang, fisiknya dari dada ke bawah lebih meruntuhkan iman, ketimbang wajahnya. Setelah makan dan ngobrol ngalor ngidul, kami ke luar.
“Li, mau terus pulang atau ada acara lain lagi nih..?” “Aku tadi ijin keluar mau ke Bogor, tempat temen waktu SMA, jadi kayaknya kalo pulang sekarang masih kesiangan deh.. kita jalan aja yuk..!” “Kemana?” tanyaku, sambil menggoda nakal. “Ah.. kamu ngelantur deh..” sambil mencubit pinggangku. aku hanya meringis, sambil aku langsung gandeng pinggangnya menuju mobil di parkiran. Keluar dari Wendy’s, aku langsung mengarahkan mobil ke tol Jagorawi. Setelah masuk tol, “Kok, kita ke sini.. mau kemana?” “Ya.. ke Bogor lah.. paling tidak kan, kamu nggak terlalu banyak bo’ongnya.” Lia diam saja sambil merenggut manja dan memalingkan wajah ke luar.
Kupegang bahunya, “Jangan marah gitu doong, eh.. tapi kamu manis juga kalo lagi cemberut gitu..” lagi-lagi Lia mencubitku di pinggang. Kali ini kubiarkan, malah kutangkap tangannya dengan tangan kiri, dan kutaruh tangannya di pangkuanku. Lia tidak menarik tangannya, malah mengelus-elus perlahan bagian terlarangku sampai menggeliat di balik celana. Mobil memasuki jalan desa di pesisir Kali Cisadane dan berbelok masuk ke rumah yang kubeli untuk beristirahat.
“Li.. kita udah sampai, yuk.. masuk..” aku mendahului langsung masuk kamar, membuka kaos dan jeans lalu menggantinya dengan celana pendek. “Li, kalo kamu mau pakai celana pendek atau kaos, di dalam ya..” teriakku dari dalam. “Iiihh.. emangnya aku mau langsung ngamar gitu..” sambil berjalan ragu-ragu, melongokkan wajah ke pintu kamar. “Eh.. yang mau begituan siapa..?” “Aku mau berenang di kali bawah, kalo kamu mau ikut, ganti kaos dan celana pendek, nih..”
Belum lagi Lia masuk, aku sudah berlari ke luar dan di pintu bertabrakan dengan Lia yang mau masuk. Kami jatuh bertindihan dan tertawa bersama-sama. “Li, gila nih.. aku jadi kepingin banget.. tadi niatnya mau berenang, tapi jadi berubah kebelet gini..” Dengan refleks kubopong Lia ke dalam kamar dan kubimbing untuk berdiri sambil kupeluk dari belakang, mulut dan bibirku ramai dengan kecupan rangsangan yang lembut namun bergairah di telinga, tengkuk, dan leher, tanganku mengusap-usap di sekitar perut. Ketika rangsangan itu menjalar di dadanya, Lia membalik, “Gi.. Aku juga spaning, nih..” sambil bibirnya terbuka dengan gemetar sensual karena gairah, mencari-cari bibirku. Kulumat bibirnya, kukecup bibir bawahnya dan kuputar dan kulepaskan dan langsung memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Belum lagi Lia siap, aku sudah menangkap lidahnya dan menghisapnya dalam-dalam, sambil tangan kiri menopang punggung, tangan kanan menjalar di antara dua bukit kembar bergantian. Lia terlihat sangat bergetar, menahan gejolak akibat rabaan tanganku di dadanya dan sedotan mulutku pada lidahnya sembari berjalan perlahan ke belakang untuk bersandar pada dinding kamar. Kutarik lepas BH-nya, aku agak renggangkan dan mengangkat tangannya ke atas untuk melepas t-shirtnya, dan menarik turun jeans beserta celana dalam yang dipakainya.
Lia tidak ketinggalan menarik lepas celana pendek dan CD yang kukenakan sekaligus, aku pun melepas kaosku sendiri. Sehingga kami sudah berbugil ria tanpa sehelai benangpun yang melekat. Pada posisinya berdiri kujilati sekitar permukaan vaginanya, jari-jariku bermain indah menyibakkan rambut di belahan kemaluannya yang coklat kemerahan dan lembab yang beraroma khas wanita, menciumi bibir luar vagina sebelah luar dan menjepitnya dengan bibir serta menariknya dengan lembut, melepaskannya, dan berulang-ulang, terlihat Lia menggeletar dan sedikitmembungkuk, menahan geli dan gejolak yang luar biasa, “Ssshh.. ah.. Gi.. sshh.. aduuhh.. enak bangeet.. sshh.. ahh..” kumasukkan lidah ke dalam liang vagina dan mengeluar-masukkannya secara teratur. Vagina Lia sudah banjir air liur dan cairan birahi kewanitaannya.
Lia memegang rambutku dan menekan-nekan kepalaku ke arah vaginanya, sambil menceracau. “Ogi.. ahh.. sshh.. terus masukin lagi.. sayang.. aduhh.. ahh.. lebih enak oralnyaini dari pada online, sayangghh.. sshh.. ahh..” (Selama kurang lebih 4 bulan Liaselalu melakukan “bercinta/mastubrasi” selama sedang online denganku). Kubimbing Lia untuk merebah di lantai yang berkarpet, dan kuputar tubuhku 180 derajat sehingga posisi “69″, dan langsung dilahapnya kemaluanku yang sudah menegang dan mengacung melengkung ke atas, dikulum, disedot, bukan main nikmatnya, sampai-sampai tidak bisa berkonsentrasi untuk mengerjaivaginanya. “Aahh.. agghh.. sshh agghh..” Hampir 10 menit kami melakukan posisi itu, dan sambil mengangkat pantatnya dan pinggulnya, Lia mengeluarkan cairan dari vaginanya, lembut hangat terasa di ujung lidahku. Aku seka dengan lidah dan kusedot sampai kering, nikmat sekali protein itu, dan Lia berhenti sejenak untuk ketegangan dan orgasme yang dilaluinya. “Ahh.. ahh.. ayo bikin aku keluar lagi sayang..”
Kuusap lagi vaginanya dan menekan-nekan di antara lubang vaginanya yang kiri dan kanan, sambilmenarik-narik rambut kemaluannya, sambil menjepit klitorisnya dengan bibirku. Sekali-kali kujulurkan lidahku menyentuh bagian dalam vaginanya, dari kekenduran sehabis orgasme. Vaginanya mulai terlihat menegang kembali, terus kupacu sampai kembali berdenyut-denyut seperti nadi. Sementara batang penis dan “topi baja” tak henti-hentinya dikerjai dan dijilati oleh Lia, yang hampir aku tidak kuat menahan. Sebelum terlontar, ternyata Lia sudah benar-benar “siap tempur” di vaginanya. “Ayo, Gi.. masukin kontol kamu ke memekku, aku udah enggakkh shhabar.. nihh..ahh..” Kulepaskan perlahan penisku dari genggaman dan kulumannya. Posisi kami sekarangberhadap-hadapan, kuangkat/berdirikan pahanya dan posisi telapak kaki tetap pada karpet, sehingga vaginanya benar-benar terlihat dan terkuak dengan lebarnya, dan kupandangi. “Li, memek kamu seksi banget, belum pernah aku nemuin yang kayak gini..” (berbohong). “Ayoo.. dong Gi.. udah nggak nahan nih.. kok cuma diliatin aja sih,” sambil memegangi paha. Terus ke arah vagina yang sudah lembab dan licin itu, kuarahkan penis yang sudah menegang melengkung dan mengkilap kepalanya itu ke vaginanya. Perlahan-lahan masuk, dan dengan tiba-tiba kutancapkan sampai sedalam-dalamnya. “Aghh.. gila.. kamu.. asshh..” tanpa menjawab kuputar searah jarum jam berkali-kali dan ke arah sebaliknya tanpa menarik penis, baru perlahan-lahan kutarik dan tekan, mulailah ceracaunya, “Aaghh.. Gi.. ahh.. agghh..” aku juga mengalami hal yang sama, “Li.. memek kamu hangat, dan kayak ngejepit kontolku nih.. ahh.. agghh..” Peluh sudah membanjir di tubuhku dan Lia, cairan birahi telah membanjir di dinding vagina Lia, sehingga menimbulkan suara yang romantis dan binal, “SsebBH.. beebb.. sebb..” berulang-ulang.
Lebih 15 menit kutarik keluar seluruh penisku, sehingga menimbulkan bunyi, “Plob..” Lia benar-benar sedang “on” dan nyaris klimaks, dan langsung melihat ke arahku. “Kenapa dicabut sayanghh..” “Sabar, ya.. kamu udah mau keluar khan.. tahan dulu yah..” sembari ganti posisi sambil kami istirahat, biar asik klimaksnya. Tanpa menjawab Lia setuju dengan alasan yang kuberikan. Kutelungkupkan posisi merangkak (doggy style) dan kumasukkan ke vaginanya, terpeleset.. dan dengan bantuan tangan Lia akhirnya penis yang sudah mengkilap saking tegangnya itu berhasil masuk ke dalam, dan mulai menarik dan mendorong pantat untuk menikmati permainan ini sampai puncak. kuraih bukit kembar yang bergelantungan, kuusap putingnya, kutarik-tarik dan kutekan, kujilati punggungnya yang penuh dengan peluh. Terlihat Lia menegang dan aku tidak tahan lagi, kucabut penis dan kubalikkan posisi Lia menjadi terlentang, kembali kumasukkan penisku ke vaginanya terus kupertahankan irama permainan sesantai mungkin. Rupa-rupanya cara inilah wanita yang biasa tergila-gila dalam mencapai orgasme klimaksnya yang tiada tara.
“Gi.. tekan sayang.. ahh.. agghh.. sshh..” bergantian ceracau kami berdua. Kami sama-sama menegang, terus berpacu dengan kenikmatan gelora yang tiada tara, dan pada hampir menit ke-50, kubisikkan kepada Lia, “Aku.. udahh.. mau keluar.. sayangghh.. agghh.. sshh.., bagaimana dengan kamu..?” “Aku juga mau keluarhh..” jawab Lia sambil merem-melek. “Ayoo.. kita keluarin bareng yahh.. aduhh.. sshh.. agghh..” Kami menegang, Lia menjepit pinggangku dan menjambak rambutku. Kuhisap bergantian puting bukit kembarnya sambil sekali-kali kumasukkan semuat-muatnya gundukan bukit itu dan kuhisap serta dilepaskan. Lia tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak tahu mana yang lebih nikmat pada penghujung permainan seks ini, dan aku tidak tahan, hampir bersamaan kami keluarkan cairan bersamaan, seolah tidak ada kering-keringnya. Hampir 14 kali tembakan penisku menyemburkan sperma di dalam vagina Lia, demikian Lia juga kurasakan mengalir seperti mata air, air mani yang dikeluarkannya pada saat klimaks.
Pulang dari Bogor, kuantar Lia ke rumahnya. Sampai di rumah, ternyata Lia masih berhasrat lagi, kebetulan di rumah hanya ada anaknya yang sudah kelas 2 SMU sedang tidur siang dan pembantu sedang mencuci di belakang. Aku khawatir juga, karena bermain api di kandang macan. “Suamimu pulang jam berapa?” tanyaku pelan. “Dia sih jam 9 malam baru sampai,” jawab Lia sambil menyodorkan minuman marquisa dingin. “Yuk.. kita ke atas!” ajaknya sambil manarik tanganku, dan lagi-lagi aku menurut. Baru saja kami melakukan warming up dan saling membelai dan berciuman, tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan-lahan dan entah sudah berapa lama Ita anak Lia berdiri di situ sambil memperhatikan mamanya sedang aku kerjai, sampai pada suatu waktu kami melihatnya dan refleks menghentikan segala aktifitas.
“Kok berhenti Mah..” aku diam dan sedikit pucat, lebih-lebih Lia, sebaliknya Ita dengan tenangnya menghampiri kami. “Mah.. tenang aja, Ita ngerti kok, Ita juga udah pernah kayak gini, sama Mas Andre.” Belakangan aku tahu Andre adalah pacar Ita. Dengan mengorbankan aku, Lia bilang, “Ini Mas Ogi mau pulang, tapi maksa Mamah untuk dicium, Mamah malu, jadi ngasihnya di sini aja (atas loteng),” Lebih terkejut lagi, aku dan Lia, “Udahlah Mah.. aku udah tahu kok kesepian, Mamah terusin aja, dan pasti aman, tapi asal aku boleh liat.”
Kami berpandangan, tapi jengah untuk meneruskan. Dengan santainya, Ita membukapakaian SMU-nya, dan terus memandangi kami. Akhirnya Lia memeluk Ita dan meminta maaf, tapi dengan halus Ita mendorong Lia dan mengalungkan tangannya ke leherku dan menciumiku. Hilang semua kekakuan, dan akhirnya Lia membantu melepaskan pakaian yang kupakai dan akhirnya melepas pakaiannya pula. Jadilah pertandingan 2 lawan 1. Gila anak dan ibu sekaligus. Ita ternyata memiliki gaya konvensional, meski dia sudah beberapa kali melakukan hubungan seks, sehingga mau tidak mau Lia harus mengalah ketika Ita kukerjai dan kulumat.
Yang paling banyak kami lakukan adalah dengan gaya telentang atau duduk dan bergantian. Lia dan Ita di atas sambil ber-rodeo di atas rudal yang berdiri kokoh. Ketika Lia menggunakan doggy style, Ita berada di atas punggungnya (tidak sampai menduduki) dan vaginanya mengarah ke mulutku dan kukerjai habis-habisan sampai berkali-kali. Ia menjerit karena klimaks prematur akibat sensitifitas rangsangannya yang begitu peka.
Lia telah bercucuran peluh, aku dan Ita juga serupa, dan permainan itu hampir 2 jam kami lakukan karena Ita cepat keluar dan cepat sekali “on”, sementara Lia terkontrol karenasedikit agak malu bersaing dengan Ita, serasa spermaku terkuras habis. Jika dengan Lia, kumuntahkan di dalam vaginanya, sedangkan dengan Ita kukeluarkan di mulutnya. Ita dengan terampil menyedotnya sampai tuntas. Sampai akhirnya kami terkulai lemas di kamar atas, ketika sedang maghrib, aku diam-diam meninggalkan kamar itu dengan lunglai. Sejak itu tidak pernah lagi Lia menghubungiku, dan aku pun segan untuk menghubunginya, namun permainan seperti ini baru sekali dalam pengalaman seks-ku. Ma’afkan dan terimakasih untuk Lia dan Ita atas pengalaman itu, karena salah sambung.
Dengan malas kuangkat gagang telepon, sambil teriak ke “OB”-ku itu. “Siapa Nang?” “Angkat aja.. Bang,” jawabnya lagi sambil teriak dari pentry (pentry dengan mejaku agak berjauhan). Pada akhirnya salah sambung ini berkelanjutan jadi menarik. Nama orang yang “salah sambung” itu adalah Lia dan dengan setia akan meneleponku setiap 2 minggu sekali setiap jam 21:00 - 24:00 dan akhirnya aku juga jadi menunggu-nunggu telepon dari Lia. Perlu kuberitahukan di sini, sejak pertama telepon, Lia (aku memanggilnya “Li”) ini bicaranya tidak jauh dari selangkangan dan pusar, dan mungkin ini juga yang membuat aku ketagihan melayaninya. Hingga pada 4 bulan berikutnya, hari Sabtu kami copy darat. Dari situlah baru aku kenal Li dengan wajah melayunya, kulitnya putih, tinggi 162 cm, berat 55 kg, payudara 36C, betis kecil, pantatnya kecil tapi pinggulnya lebih lebar (bahenol), usianya sekitar 35 tahunan. Terus terang, fisiknya dari dada ke bawah lebih meruntuhkan iman, ketimbang wajahnya. Setelah makan dan ngobrol ngalor ngidul, kami ke luar.
“Li, mau terus pulang atau ada acara lain lagi nih..?” “Aku tadi ijin keluar mau ke Bogor, tempat temen waktu SMA, jadi kayaknya kalo pulang sekarang masih kesiangan deh.. kita jalan aja yuk..!” “Kemana?” tanyaku, sambil menggoda nakal. “Ah.. kamu ngelantur deh..” sambil mencubit pinggangku. aku hanya meringis, sambil aku langsung gandeng pinggangnya menuju mobil di parkiran. Keluar dari Wendy’s, aku langsung mengarahkan mobil ke tol Jagorawi. Setelah masuk tol, “Kok, kita ke sini.. mau kemana?” “Ya.. ke Bogor lah.. paling tidak kan, kamu nggak terlalu banyak bo’ongnya.” Lia diam saja sambil merenggut manja dan memalingkan wajah ke luar.
Kupegang bahunya, “Jangan marah gitu doong, eh.. tapi kamu manis juga kalo lagi cemberut gitu..” lagi-lagi Lia mencubitku di pinggang. Kali ini kubiarkan, malah kutangkap tangannya dengan tangan kiri, dan kutaruh tangannya di pangkuanku. Lia tidak menarik tangannya, malah mengelus-elus perlahan bagian terlarangku sampai menggeliat di balik celana. Mobil memasuki jalan desa di pesisir Kali Cisadane dan berbelok masuk ke rumah yang kubeli untuk beristirahat.
“Li.. kita udah sampai, yuk.. masuk..” aku mendahului langsung masuk kamar, membuka kaos dan jeans lalu menggantinya dengan celana pendek. “Li, kalo kamu mau pakai celana pendek atau kaos, di dalam ya..” teriakku dari dalam. “Iiihh.. emangnya aku mau langsung ngamar gitu..” sambil berjalan ragu-ragu, melongokkan wajah ke pintu kamar. “Eh.. yang mau begituan siapa..?” “Aku mau berenang di kali bawah, kalo kamu mau ikut, ganti kaos dan celana pendek, nih..”
Belum lagi Lia masuk, aku sudah berlari ke luar dan di pintu bertabrakan dengan Lia yang mau masuk. Kami jatuh bertindihan dan tertawa bersama-sama. “Li, gila nih.. aku jadi kepingin banget.. tadi niatnya mau berenang, tapi jadi berubah kebelet gini..” Dengan refleks kubopong Lia ke dalam kamar dan kubimbing untuk berdiri sambil kupeluk dari belakang, mulut dan bibirku ramai dengan kecupan rangsangan yang lembut namun bergairah di telinga, tengkuk, dan leher, tanganku mengusap-usap di sekitar perut. Ketika rangsangan itu menjalar di dadanya, Lia membalik, “Gi.. Aku juga spaning, nih..” sambil bibirnya terbuka dengan gemetar sensual karena gairah, mencari-cari bibirku. Kulumat bibirnya, kukecup bibir bawahnya dan kuputar dan kulepaskan dan langsung memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Belum lagi Lia siap, aku sudah menangkap lidahnya dan menghisapnya dalam-dalam, sambil tangan kiri menopang punggung, tangan kanan menjalar di antara dua bukit kembar bergantian. Lia terlihat sangat bergetar, menahan gejolak akibat rabaan tanganku di dadanya dan sedotan mulutku pada lidahnya sembari berjalan perlahan ke belakang untuk bersandar pada dinding kamar. Kutarik lepas BH-nya, aku agak renggangkan dan mengangkat tangannya ke atas untuk melepas t-shirtnya, dan menarik turun jeans beserta celana dalam yang dipakainya.
Lia tidak ketinggalan menarik lepas celana pendek dan CD yang kukenakan sekaligus, aku pun melepas kaosku sendiri. Sehingga kami sudah berbugil ria tanpa sehelai benangpun yang melekat. Pada posisinya berdiri kujilati sekitar permukaan vaginanya, jari-jariku bermain indah menyibakkan rambut di belahan kemaluannya yang coklat kemerahan dan lembab yang beraroma khas wanita, menciumi bibir luar vagina sebelah luar dan menjepitnya dengan bibir serta menariknya dengan lembut, melepaskannya, dan berulang-ulang, terlihat Lia menggeletar dan sedikitmembungkuk, menahan geli dan gejolak yang luar biasa, “Ssshh.. ah.. Gi.. sshh.. aduuhh.. enak bangeet.. sshh.. ahh..” kumasukkan lidah ke dalam liang vagina dan mengeluar-masukkannya secara teratur. Vagina Lia sudah banjir air liur dan cairan birahi kewanitaannya.
Lia memegang rambutku dan menekan-nekan kepalaku ke arah vaginanya, sambil menceracau. “Ogi.. ahh.. sshh.. terus masukin lagi.. sayang.. aduhh.. ahh.. lebih enak oralnyaini dari pada online, sayangghh.. sshh.. ahh..” (Selama kurang lebih 4 bulan Liaselalu melakukan “bercinta/mastubrasi” selama sedang online denganku). Kubimbing Lia untuk merebah di lantai yang berkarpet, dan kuputar tubuhku 180 derajat sehingga posisi “69″, dan langsung dilahapnya kemaluanku yang sudah menegang dan mengacung melengkung ke atas, dikulum, disedot, bukan main nikmatnya, sampai-sampai tidak bisa berkonsentrasi untuk mengerjaivaginanya. “Aahh.. agghh.. sshh agghh..” Hampir 10 menit kami melakukan posisi itu, dan sambil mengangkat pantatnya dan pinggulnya, Lia mengeluarkan cairan dari vaginanya, lembut hangat terasa di ujung lidahku. Aku seka dengan lidah dan kusedot sampai kering, nikmat sekali protein itu, dan Lia berhenti sejenak untuk ketegangan dan orgasme yang dilaluinya. “Ahh.. ahh.. ayo bikin aku keluar lagi sayang..”
Kuusap lagi vaginanya dan menekan-nekan di antara lubang vaginanya yang kiri dan kanan, sambilmenarik-narik rambut kemaluannya, sambil menjepit klitorisnya dengan bibirku. Sekali-kali kujulurkan lidahku menyentuh bagian dalam vaginanya, dari kekenduran sehabis orgasme. Vaginanya mulai terlihat menegang kembali, terus kupacu sampai kembali berdenyut-denyut seperti nadi. Sementara batang penis dan “topi baja” tak henti-hentinya dikerjai dan dijilati oleh Lia, yang hampir aku tidak kuat menahan. Sebelum terlontar, ternyata Lia sudah benar-benar “siap tempur” di vaginanya. “Ayo, Gi.. masukin kontol kamu ke memekku, aku udah enggakkh shhabar.. nihh..ahh..” Kulepaskan perlahan penisku dari genggaman dan kulumannya. Posisi kami sekarangberhadap-hadapan, kuangkat/berdirikan pahanya dan posisi telapak kaki tetap pada karpet, sehingga vaginanya benar-benar terlihat dan terkuak dengan lebarnya, dan kupandangi. “Li, memek kamu seksi banget, belum pernah aku nemuin yang kayak gini..” (berbohong). “Ayoo.. dong Gi.. udah nggak nahan nih.. kok cuma diliatin aja sih,” sambil memegangi paha. Terus ke arah vagina yang sudah lembab dan licin itu, kuarahkan penis yang sudah menegang melengkung dan mengkilap kepalanya itu ke vaginanya. Perlahan-lahan masuk, dan dengan tiba-tiba kutancapkan sampai sedalam-dalamnya. “Aghh.. gila.. kamu.. asshh..” tanpa menjawab kuputar searah jarum jam berkali-kali dan ke arah sebaliknya tanpa menarik penis, baru perlahan-lahan kutarik dan tekan, mulailah ceracaunya, “Aaghh.. Gi.. ahh.. agghh..” aku juga mengalami hal yang sama, “Li.. memek kamu hangat, dan kayak ngejepit kontolku nih.. ahh.. agghh..” Peluh sudah membanjir di tubuhku dan Lia, cairan birahi telah membanjir di dinding vagina Lia, sehingga menimbulkan suara yang romantis dan binal, “SsebBH.. beebb.. sebb..” berulang-ulang.
Lebih 15 menit kutarik keluar seluruh penisku, sehingga menimbulkan bunyi, “Plob..” Lia benar-benar sedang “on” dan nyaris klimaks, dan langsung melihat ke arahku. “Kenapa dicabut sayanghh..” “Sabar, ya.. kamu udah mau keluar khan.. tahan dulu yah..” sembari ganti posisi sambil kami istirahat, biar asik klimaksnya. Tanpa menjawab Lia setuju dengan alasan yang kuberikan. Kutelungkupkan posisi merangkak (doggy style) dan kumasukkan ke vaginanya, terpeleset.. dan dengan bantuan tangan Lia akhirnya penis yang sudah mengkilap saking tegangnya itu berhasil masuk ke dalam, dan mulai menarik dan mendorong pantat untuk menikmati permainan ini sampai puncak. kuraih bukit kembar yang bergelantungan, kuusap putingnya, kutarik-tarik dan kutekan, kujilati punggungnya yang penuh dengan peluh. Terlihat Lia menegang dan aku tidak tahan lagi, kucabut penis dan kubalikkan posisi Lia menjadi terlentang, kembali kumasukkan penisku ke vaginanya terus kupertahankan irama permainan sesantai mungkin. Rupa-rupanya cara inilah wanita yang biasa tergila-gila dalam mencapai orgasme klimaksnya yang tiada tara.
“Gi.. tekan sayang.. ahh.. agghh.. sshh..” bergantian ceracau kami berdua. Kami sama-sama menegang, terus berpacu dengan kenikmatan gelora yang tiada tara, dan pada hampir menit ke-50, kubisikkan kepada Lia, “Aku.. udahh.. mau keluar.. sayangghh.. agghh.. sshh.., bagaimana dengan kamu..?” “Aku juga mau keluarhh..” jawab Lia sambil merem-melek. “Ayoo.. kita keluarin bareng yahh.. aduhh.. sshh.. agghh..” Kami menegang, Lia menjepit pinggangku dan menjambak rambutku. Kuhisap bergantian puting bukit kembarnya sambil sekali-kali kumasukkan semuat-muatnya gundukan bukit itu dan kuhisap serta dilepaskan. Lia tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak tahu mana yang lebih nikmat pada penghujung permainan seks ini, dan aku tidak tahan, hampir bersamaan kami keluarkan cairan bersamaan, seolah tidak ada kering-keringnya. Hampir 14 kali tembakan penisku menyemburkan sperma di dalam vagina Lia, demikian Lia juga kurasakan mengalir seperti mata air, air mani yang dikeluarkannya pada saat klimaks.
Pulang dari Bogor, kuantar Lia ke rumahnya. Sampai di rumah, ternyata Lia masih berhasrat lagi, kebetulan di rumah hanya ada anaknya yang sudah kelas 2 SMU sedang tidur siang dan pembantu sedang mencuci di belakang. Aku khawatir juga, karena bermain api di kandang macan. “Suamimu pulang jam berapa?” tanyaku pelan. “Dia sih jam 9 malam baru sampai,” jawab Lia sambil menyodorkan minuman marquisa dingin. “Yuk.. kita ke atas!” ajaknya sambil manarik tanganku, dan lagi-lagi aku menurut. Baru saja kami melakukan warming up dan saling membelai dan berciuman, tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan-lahan dan entah sudah berapa lama Ita anak Lia berdiri di situ sambil memperhatikan mamanya sedang aku kerjai, sampai pada suatu waktu kami melihatnya dan refleks menghentikan segala aktifitas.
“Kok berhenti Mah..” aku diam dan sedikit pucat, lebih-lebih Lia, sebaliknya Ita dengan tenangnya menghampiri kami. “Mah.. tenang aja, Ita ngerti kok, Ita juga udah pernah kayak gini, sama Mas Andre.” Belakangan aku tahu Andre adalah pacar Ita. Dengan mengorbankan aku, Lia bilang, “Ini Mas Ogi mau pulang, tapi maksa Mamah untuk dicium, Mamah malu, jadi ngasihnya di sini aja (atas loteng),” Lebih terkejut lagi, aku dan Lia, “Udahlah Mah.. aku udah tahu kok kesepian, Mamah terusin aja, dan pasti aman, tapi asal aku boleh liat.”
Kami berpandangan, tapi jengah untuk meneruskan. Dengan santainya, Ita membukapakaian SMU-nya, dan terus memandangi kami. Akhirnya Lia memeluk Ita dan meminta maaf, tapi dengan halus Ita mendorong Lia dan mengalungkan tangannya ke leherku dan menciumiku. Hilang semua kekakuan, dan akhirnya Lia membantu melepaskan pakaian yang kupakai dan akhirnya melepas pakaiannya pula. Jadilah pertandingan 2 lawan 1. Gila anak dan ibu sekaligus. Ita ternyata memiliki gaya konvensional, meski dia sudah beberapa kali melakukan hubungan seks, sehingga mau tidak mau Lia harus mengalah ketika Ita kukerjai dan kulumat.
Yang paling banyak kami lakukan adalah dengan gaya telentang atau duduk dan bergantian. Lia dan Ita di atas sambil ber-rodeo di atas rudal yang berdiri kokoh. Ketika Lia menggunakan doggy style, Ita berada di atas punggungnya (tidak sampai menduduki) dan vaginanya mengarah ke mulutku dan kukerjai habis-habisan sampai berkali-kali. Ia menjerit karena klimaks prematur akibat sensitifitas rangsangannya yang begitu peka.
Lia telah bercucuran peluh, aku dan Ita juga serupa, dan permainan itu hampir 2 jam kami lakukan karena Ita cepat keluar dan cepat sekali “on”, sementara Lia terkontrol karenasedikit agak malu bersaing dengan Ita, serasa spermaku terkuras habis. Jika dengan Lia, kumuntahkan di dalam vaginanya, sedangkan dengan Ita kukeluarkan di mulutnya. Ita dengan terampil menyedotnya sampai tuntas. Sampai akhirnya kami terkulai lemas di kamar atas, ketika sedang maghrib, aku diam-diam meninggalkan kamar itu dengan lunglai. Sejak itu tidak pernah lagi Lia menghubungiku, dan aku pun segan untuk menghubunginya, namun permainan seperti ini baru sekali dalam pengalaman seks-ku. Ma’afkan dan terimakasih untuk Lia dan Ita atas pengalaman itu, karena salah sambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar