Selasa, 03 Juni 2008

Terperangkap

Nama saya, sebut saja Linda, married, belum punya anak. Saya dan suami kebetulan keturunan Chinese. Bedanya saya lahir di salah satu kota di Jawa, sedangkan suami saya lahir China sana. Cerita ini terjadi saat misoa saya sehabis bulan madu 3 bulan, langsung tugas ke Abroad (sampai saat itu sudah hampir 4 bulan) jadi total 7 bulan after married kejadiannya. Tidak ada dia puyeng rasanya kepala (biasa bermesraan, maklum baru).

Di suatu siang saat saya naik taksi ke arah Senen dari Megaria tiba-tiba di radio terdengar Jakarta rusuh. Sopir panik, akhirnya setelah di pertigaan Salemba tidak jadi ke kiri langsung ke arah perempatan Matraman. Tanpa pikir lagi taksi dibelokkan ke arah Pramuka. Untungnya saat itu terdengar di radio bahwa perempatan Rawamangun (by pass) terjadi pembakaran. Akhirnya taksi dibelokkan ke satu hotel besar di Jl. Pramuka (Hotel S). Sesampai di sana sopir minta maaf dan lapor satpam, saya diturunkan di situ, satpam marah. Namun seseorang menghampiri, orangnya gagah, necis, berjas, hitam tinggi besar, educated, sopan. Dia bilang sesuatu ke satpam akhirnya satpam membolehkan saya sementara waktu beristirahat sambil memantau keadaan lalu lintas.

Saya diberikan tempat/kamar di lantai 10, bersih. Ngeri juga, mana sendirian lagi. Tapi mendingan daripada di luar. Tak terasa sudah sore, ada yang mengetuk, pelayan menanyakan mau makan apa? Saya bilang tidak usah, mau pulang saja. “Di luar masih rusuh Bu, tuan bilang tinggal aja dulu di sini, sampai keadaan aman,” sahut pelayan. Dalam hati, tuan siapa? Saya diberi handuk dan peralatan mandi. Ragu juga mau mandi, takut ada yang mengintip. Ah ada akal, saya matikan lampu kamar mandi terus mandi buru-buru yang penting bersih plus gosok gigi. Tak lama hari mulai gelap, makanan datang disertai pelayan dan lelaki hitam yang simpatik itu. Dia tersenyum mensilakan saya mencicipi hidangan bersamanya, pelayan disuruh pergi. Karena memang sudah lapar saya makan, sambil sesekali menjawab beberapa pertanyaannya. Mukanya berubah saat saya menjawab bahwa sudah bersuami dan sedang ditinggal tugas hampir 4 bulan. Selesai makan kami tetap ngobrol kesana kemari, sampai pelayan datang lagi membersihkan meja, dan pergi lagi dengan meninggalkan kami berdua. Saya ingin cepat-cepat keluar dan tiba di rumah.

Seperti mengetahui jalan pikiran saya dia menghampiri dan mencoba menenangkan, “Tenang saja dulu di sini, kalau perlu nginap semalam, lebih aman.” Tangannya menggenggam jemari saya. Besar sekali dan terkesan kuat/kekar. Dia bilang, “Panggil saya Marvin saja!” “Bolehkah saya panggil Linda saja? Biar akrab?” tanyanya. Terpaksa saya mengangguk. Merinding tubuh saya disentuh lelaki lain selain suami. Dia mengelus-elus lembut tangan saya. Mendesir seluruh peredaran darah saya. Antara ingin menepiskan dan keterpesonaan pada penampilan fisiknya yang sangat seksi menurut penilaian saya. Ah, tapi sepertinya dia orangnya baik juga, mungkin dia turut prihatin atas keadaan saya. Dilihat dari pakaiannya dan bau parfumnya jelas pria asing ini dari kalangan berduit. Tampangnya perpaduan orang India, Arab, Afrika, atau Negro Amerika. Rambutnya agak plontos. Giginya putih. Tingginya antara 185 sampai 190 cm. Lebih mirip bodyguard.

Tiba-tiba saya merasakan agak pening, tanpa sadar saya memijit-mijit kening sendiri. “Are you Ok?” katanya, sesekali memang dia bicara Inggris, meskipun telah fasih bahasa Indonesia (sudah 10 tahun katanya di Jakarta). Saya tak bisa menolak saat, dia membantu memijit-mijit kening saya, lumayan juga agak mendingan. Saya disuruh istirahat dulu dan dibimbingnya ke kamar tidur. Spreinya warna biru muda polos, tembok kamar kuning muda, sangat kontras. “Tiduran dulu aja,” katanya. Saya takut. Tapi demi menyadari bahwa itu percuma, saya hanya berharap semoga tak terjadi apa-apa. Saya berbaring, sementara dia duduk di pinggir tempat tidur. Sangat riskan karena sewaktu-waktu dia dapat menyergap dengan mudah. “Lin, telungkup aja!” katanya. Yach, untunglah agak mendingan, begini. “Biar lebih enakan, saya pijitin punggung kamu yach,” katanya. “Tidak usah Mister, eh Marvin..” kata saya.

Tapi dia telah mulai memijit tengkuk saya, bahu, oouhh enak sekali, pintar juga dia. Punggung saya mendapat giliran. Saking enaknya tak terasa dia juga memijit bokong saya, paha, betis sampai mata kaki dan telapak kaki. Segar rasanya tubuh ini.

Dia minta saya buka baju (kurang ajar orang ini!). Dia bilang mau dikasih lotion biar tidur enak dan tambah segar. “Marvin, saya ini orang baik-baik dan bersuami, kamu tidak akan macam-macam kan?” tanya saya. “Tidak dong Lin,” katanya. Dia membantu membuka baju saya, dan eehh celana saya dijambretnya sekalian. Saya tinggal ber-BH dan CD. Sementara dia masih berjas. Terakhir baru dia melepas jasnya, tapi tetap berkemeja dan celana panjang. Dia melumuri bagian belakang tubuh saya dengan lotion yang enak baunya. Saya tambah keenakan dipijit begitu. Hilang rasanya semua stres. Saya diminta berbalik/baring. Nach, ini masalahnya. Dia senyum seperti cuek, memijit kening dan kepala, leher, dada (ough tidak menyangka termasuk kedua payudara saya (yang masih ber-BH) diputar-putarnya. Saya kaget, tapi belum sempat protes dia telah pindah ke perut dan pinggang, seolah itulah prosedurnya. Kembali saya terdiam, dan sekarang sampai ke paha, dia juga memijit-mijit CD saya.

“Stop Marvin..!” Tapi dia diam, terus pindah ke kaki. “You are so beautiful Linda,” katanya sambil menduduki betis saya. “Oh God, help me please..” dalam hati. Tapi dia tidak memaksa, lembut, sopan, dia buka kemeja dan kaos dalam. Wow, sangat menggiurkan, kokoh, atletis, otot-ototnya terlihat, bulu dadanya itu, seksi sekali. Kelihatannya dia orang yang peduli dengan keindahan tubuhnya. Mirip binaragawan. Ah, saya tersadar saya bersuami.

“Marvin jangan..!” teriak saya. “Apa Babe..? katanya sambil kedua tangannya menggenggam kedua tangan saya. Oh, dia mulai mengecup mata saya (saya dipaksa), pipi saya, bibir saya, tapi saya tutup mulut saya rapat-rapat, saya tersinggung, saya tak rela lidahnya menjilat-jilat lidah saya. Agak kesal dia turun ke leher, dan tampaknya siap mencupang. “Ohh jangan Marvin, nanti kelihatan orang, pleasee..” Dia berhenti. “Kalau gitu yang tidak terlihat ini dong..” katanya. Dia membuka BH saya, dan mulai menghisap puting kiri saya. “Ooughh..” mendesir sekujur tubuh saya sampai ke kemaluan saya. Tangan saya melemas tak berdaya, apalagi jemari kirinya yang kokoh memilin-milin puting kanan, tangan kanannya meremas-remas pantat saya.

Mulutnya kemudian saling berpindah dari puting kiri ke kanan dan sebaliknya. “Payudaramu indah sekali Lin, I like it, not too big. Yes, it’s really an asian taste,” katanya. Tak tahan saya menerima permainannya, sangat lain, beda, pintar sekali. Payudara saya langsung mengeras. Kedua puting saya kontan meruncing, tegak. Kombinasi antara lembut dan terkadang agak kasar ini, belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya sering dihisap begini oleh suami tapi tak pernah senikmat ini. Apakah karena sudah terlalu lama menganggur? Terbengkalai? Gersang? Perlu siraman? atau birahi saya yang memang terlampau besar? Tak terasa tahu-tahu dia telah meninggalkan beberapa cap merah di sekeliling kedua payudara saya yang telah kencang. Jemarinya mulai merasuk ke belahan kemaluan saya, tangan satunya meremas-remas pantat saya. Ogh! dia menggesek-gesek liang kemaluan saya dengan jemarinya. Ooouuww, serangan bersamaan di lubang kemaluan dan hisapan puting menyebabkan saya orgasme, yang pertama setelah 4 bulan lebih libur panjang. Tanpa sadar mulut saya terbuka menahan nikmat. Dasar dia canggih, tahu kesempatan, mulutnya menyumpal mulut saya, dan lidahnya saat ini berkesempatan menari-nari mencari lidah saya. Saat ini tak sanggup saya menolaknya. Oouuh, enak sekali.

Saya tanpa sadar membalas jilatannya. Sementara kemaluan saya membanjir dengan CD yang telah terlepas entah kapan. Jari tengahnya mulai menusuk-nusuk perlahan ke dalam lubang kemaluan saya. Ouugh, semakin dalam, dalam sekali, belum pernah saya ditusuk sedalam ini, oouugh nikmatnya. Jarinya saja panjang begini apalagi “burung”-nya. Sejenak saya tersentak,
“Marvin, cukup.. saya tidak mau kamu melakukan itu,” kata saya. “Itu apa?” katanya. “Itumu jangan dimasukkan, Marvin.” “Why?” tanyanya. “Your thing is too big,” jawab saya. “Ahh, ini cuma jari,” katanya lagi. “Janji ya.. Marvin, dan tolong pintunya dikunci dulu nanti ada yang masuk.” Dia malah menyahut, “Tidak ada yang berani ganggu saya, kamu aman sama saya,” kata Marvin meyakinkan.

Saya agak tenang, untuk selanjutnya kembali menikmati permainannya yang sangat spektakuler. Saya lupa bahwa telah bersuami. Marvin mulai membuka celana panjangnya. Belum sempat protes, dia telah menyergap mulut saya lagi, yang sekarang sudah hilang kekuatan untuk menghindarnya. Saya jelas saat ini telah telanjang bulat, dia tinggal ber-CD. Mulut dia kembali menghisap puting saya terus ke pusar, dan serta merta dia menjilati lubang kemaluan saya dengan kecepatan tinggi. Wooww, nikmat. Seolah dia menemukan permainan baru tangan dan mulutnya berkecimpung di sana. Saya hanya bisa mendesah, mendesis, melenguh. “Uuueehhggh.. Oh! Oh! Oh! Oouughh..” Selagi asyik begitu dia langsung stop! dan mendekap saya, seraya berbisik di telinga, “Enak tidak Babe,” saya mengangguk. “Mau lagi?” katanya. Saya mengangguk. “Kalau mau lebih enak, dimasukin ya?” “I’m afraid Martin, please.. help me. Ooogghh..”

Saya sudah tak kuasa menahan dorongan yang sangat aneh dari dalam tubuh ini. Belum pernah senelangsa ini, benar-benar pasrah. “Ooohh, Marvin..” Sepertinya dia ingin menyiksa saya dalam kehausan saya. “Punya suamimu berapa panjangnya?” tanyanya. “Lima belas,” jawab saya. “Wow so panjang, 15 inch?” tanyanya lagi. “No, Marvin.. 15 cm,” jawab saya. “No problem, punya saya cuma selisih sedikit, nanti kalau kepanjangan tidak usah dimasukin semuanya yach..?” “And supaya tidak kaget you kenalan dulu, pegang dulu, kulum dulu, Ok? Don’t worry Babe,” hiburnya.

Dia kembali melakukan serangan dengan menjilati kemaluan saya. “Ooouughh,” kemudian menghisap puting saya. “Ouuggh,” sambil tangannya melepas CD-nya. Lidah kami saling mencari saling membutuhkan, dan tampaknya ada sesuatu yang lembut agak keras, besar, panjang menempel di atas paha saya. “Honey, saya tahu you sudah tidak tahan, dan seandainya saya pergi, terus ada lelaki lain masuk mau ngegantiin saya, you pasti mau juga ‘kan?” “No.. Marvin, please entot saya Marvin..” pinta saya. Meskipun dalam hati membenarkan apa yang dikatakannya karena sudah terlampau berat dorongan ini, pingin segera dicoblos pakai apa saja, punya siapa saja. Ah, saya dipaksa duduk melihat punyanya. Woow, besar sekali dan panjang. Hitam sekali, agak ungu, biru, kokoh, mana mungkin bisa masuk. Saya dipaksa untuk memegangnya, saking besarnya tidak cukup satu tangan, harus dua. Diameternya lebih panjang dari pergelangan tangan saya. “Gede mana sama punya suamimu?” tanyanya.

Saya diam karena ngeri. Panjangnya hampir 2 kali barang suami saya. “Ayo dikulum dulu!” Saat itu entah kenapa mungkin karena saya sedang terangsang, saya turuti saja apa maunya. Mulut saya hanya mampu menerima kepalanya saja, itupun harus membukanya lebar-lebar. “Sudah ah..” kata saya. “Kamu siap ya..” katanya. “Sebentar aja ya!” kata saya lagi. Marvin sangat memperhitungkan kondisi saya, dia tidak terburu-buru, dengan mesra dia mencumbui saya lagi, menghisap puting, kemaluan, meremas bokong, dan kombinasi lainnya termasuk menjilati lidah saya bolak balik. Tibalah saatnya, kedua paha saya direnggangkan lebar-lebar. Saat itu saya merasakan nikmat tiada terkira yang diakibatkan oleh serangannya yang seolah terukur dapat mengantar saya ke puncak birahi. Sesaat saya lupa kalau saya bersuami, yang saya ingat cuma Marvin dan barangnya yang besar panjang. Sudah mendongak ke atas, lebih mirip terompet tahun baru. Ada rasa takut, ada pula rasa ingin cepat merasakan bagaimana rasanya dicoblos barang yang lebih besar, lebih panjang, lebih hitam. “Ooouugghh,” tak sabar saya menunggunya.

Marvin memegangi kedua paha saya yang telah terbuka lebar-lebar, dia masih menjilati terus kemaluan saya yang entah sudah berapa kali orgasme. “Babe, biar nikmatnya selangit kedua jemarimu coba memilin-milin kedua putingmu bersamaan sambil saya melakukan ini,” katanya.
Dan, oh ternyata benar-benar enak. Mengapa suami saya tak pernah memberitahu saya.

“Cepat.. Marvin.. please.. masukkan..” Kepala burungnya yang besar hitam sudah menempel pelan di bibir kemaluan saya. “Do you need this big black cock, Linda?” “Ya, masukkan sedalam-dalamnya, saya tak tahan lagi Marvin, please.. entot saya..!” kata saya. “Wait.. wait Lin, pintunya ‘kan belum dikunci?” katanya. “Biarin..” kata saya benar-benar sudah melayang tak tahan. “Nanti orang lain atau suamimu lihat?” katanya. “Biarin,” kata saya lagi. Dan.. “Bleessh” kepalanya susah payah sudah masuk. “Wooww sakit.. sakkiitt.. Marvin..” erang saya.
“Sebentar ya..?” katanya terus menggenjot pelan. “Ooougghh stop.. Marvin!” saya benar-benar merasa kesakitan tetapi campur nikmat.

Saya heran, kok seperti masih perawan saja, padahal sudah diterobos Misoa, cuma memang barangnya kecil. Marvin sebenarnya tinggal napak tilas saja. Ternyata harus membuka jalan baru di sampingnya dan di kedalamannya. “Bagaimana sayang.. masih sakit?” tanyanya. Saya terdiam sebab kadang sakit kadang nikmat. Dia mendorong perlahan sampai kira-kira seperlima panjangnya. Maju mundur, oh mulai agak nikmat. “Babe, lubangmu ternyata gede juga.. cuma selama ini ‘idle’ aja..” “Iya.. Ooouuww sekarang ‘full capacity’ Marvin.. Oh..” Marvin terus memperdalam jelajahnya dengan cara menarik sekitar 2-3 cm dan memasukkan kembali 4-5 cm, sampai kira-kira mencapai 50 persen panjangnya. Rasanya kalau suami saya sudah full segini. Marvin terus melakukan itu, sekarang dia mulai berani mengocok agak keras cepat, sehingga, “Oougghh, Oh.. Oh.. Oh. Oh..” Dia mulai mengisi ruang baru yang tak tersentuh sebelumnya. Sangat terasa sumpalannya, kokoh, kuat, bertenaga, jantan! Fantastis hampir semua miliknya yang panjang itu tertelan, tinggal sedikit. Dan di sinilah keahlian Marvin.

Dia kembali menarik sebagian barangnya, dan mempermainkan kocokan dengan cepat tambah cepat antara kedalaman 30%-60% kira-kira 5 sampai 6 kocokan diakhiri tusukan lembut seluruhnya (100%) terus diulang berkali-kali. Sehingga menghasilkan irama desahan dari mulut saya, “Oh! Oh! Oh! Oh! Oh! Ooouugghh.. Oh! Oh! Oh! Oh! Oh! Oouugffhh..” Mana tahan saya orgasme lagi. Marvin sangat memegang kendali, pada saat dia menancapkan seluruh rudalnya, dia diamkan sesaat digoyang-goyang pantatnya, dan berbisik, “Lan.. lihat tuh di kaca..” Oh, tubuh besar hitam kekar sedang menindih tubuh kecil putih mengkilat karena lotion. “Siapa itu Lin?” katanya, saya diam dia mengocok. “Siapa Lin? kalau kamu diam saya stop nih,” kata dia.
Terpaksa saya jawab, “Marvin!” “Sama siapa?” tanyanya. “Saya.. Linh.. daah.. ah..” “Who is Marvin?” Ough, belum dijawab dia mengocok lagi, nikmat sekali permainan ini selama 3 bulan lamanya bulan madu paling saya mengalami orgasme hanya 3 kali. Ini belum semalam saja sudah lebih 5 kali. “Bandingkan saya dengan suamimu, Ok? Kalau tidak saya berhenti,” katanya.
“Oh.. no.. jangan berhenti Marvin, terusshhkan lebih kerass lebih dalammhh.” “Tapi jawab dong!” bentaknya. “Iyyaahh.. Marvin,” sambil dia menghantam-hantamkan rudalnya sepenuh tenaga, saya merasakan kedua bijinya menyentuh-nyentuh kemaluan luar saya menambah sensasi kenikmatan.

Tak tahan dengan kenikmatan yang amat sangat, saya mencoba menyongsong setiap hantaman rudalnya dengan cara mengangkat pinggul/pantat setinggi mungkin. Pada saat dia menekan, menusuk saya songsong dengan mengangkat pinggul, sehingga hantamannya yang keras semakin keras cepat, dan nikmat. Tubuhnya saya terguncang-guncang naik turun seirama hentakan perkasanya. Sekilas terlihat dari cermin, latar belakang tembok kuning muda, sprei biru muda, tergolek pasrah wanita putih mulus mungil ditindih seorang pria hitam besar dengan penuh nafsu. Tak ada pancaran ketakutan sedikitpun dari wajah si wanita, selain pancaran wajah penuh birahi.

Sambil menikmati kocokannya, saya berusaha menjawab pertanyaannya. “Marvin lebih kuat.. Oh!” Dia menyeringai dan mempercepat kocokannya. “Marvin lebih gede.. Ouugghh.. Haa!”
Dia menahan untuk kemudian menghentak dengan satu dorongan kuat. “Marvin lebih pintarr.. ouwww..” Dia menusuk dengan perlahan namun pasti sampai masuk semuanya. “Marvin lebih panjaanngh.. Hoh.. Hohh.. Aw!” “Marvin lebih lamaa.. aahh.. Oh!” “Marvin.. lebih.. jantaanhh.. usfgghh! perkasaa.. Oh.. Oh.. Oh.. uuhh!” “Marvin sangat nikamatth.. ennakhh terussh sayang.. teruszhh.. oouugghh mmhh..” “Lin, aku mau keluar, di dalam nggak apa-apa atau dicabut?” “No, jangan dicabut, keluarin di dalam saja Sayang..” “Enak mana sama punya suamimu?” katanya. “Enak inni.. hh.. Marvin!” kata saya jujur.

Pada saat itu saya juga akan mencapai orgasme yang kesekian kalinya. Marvin tiba-tiba merenggut, menjambak rambut saya. Dihentak-hentakkan. Oh, ternyata mampu mempercepat orgasme saya. “Ooouughh..” “Seerr..” Semprotannya kencang sekali. Dibarengi dengan semburan cairan kewanitaan saya tanda pengakuan akan kenikmatan yang diberikan Marvin. Marvin masih terus mengocok pelan-pelan, setelah agak lama baru dikeluarkan rudalnya, dan saking penuhnya isi kemaluan saya, terdengar bunyi “Plop!” saat barangnya dicabut. “Berapa sih panjangnya Marvin?” “Cuma 23 cm.” Oh, pantas sampai sesak rasanya. Saya tersadar, “Oh.. Marvin saya takut hamil!” “Nungging aja, biar sperma saya balik lagi.” Terpaksa saya menungging. Melihat saya begini, dasar nafsu dan tenaganya memang Ok, Marvin menghajar saya lagi dari belakang. Dasar barangnya memang kuat, besar dan panjang tidak ada kesulitan sedikitpun menyelusup dari arah bawah belakang. Yang ada cuma saya dengan kenikmatan baru seolah tanpa akhir. Mimpi apa semalam, kok dapat pengalaman yang aneh begini, tapi nikmat sekali. Sulit untuk disesali.

Tidak ada komentar: