Pada waktu itu kami menempati kontakan bersama adikku yang sedang kuliah di
Suatu saat Mbak Anie memintaku mengajari komputer karena alasan dia sedang ikut kursus untuk bekal bekerja (Mbak Anie sedang melamar di Perusahaan Swasta) dan sebentar lagi ada ujian komputer. Aku menyanggupinya tapi hanya pada saat aku tidak ada kegiatan kuliah.
Hari pertama Mbak Anie belajar komputer tidak ada yang perlu diceritakan, namun pada hari-hari berikutnya terjadilah cerita-cerita erotis ini. Saat itu Mbak Anie sedang mencoba belajar Excel, aku duduk di kursi tamu yang jaraknya kira-kira 3 meter dari jarak meja komputer. “Mbak…, kapan ujiannya”, tanyaku. “Besok!, Mas!, sini dong..” “
Selanjutnya Mbak Anie segera mencoba dan berkali-kali gagal. Aku membimbing dengan memegang tangan Mbak Anie, tangan Mbak Anie memegang mouse sementara tanganku di atas tangannya. Tanpa terasa perutku menempel di bahu Mbak Anie. Aku lihat tidak ada perubahan apapun di wajah Mbak Anie dan akupun pura-pura tidak tahu. Agar lebih leluasa aku ambil kursi dan duduk di sebelahnya. Sambil mengajar, kedua tanganku ikut main, tangan kanan mainkan mouse dan tangan kiri memegang pantat Mbak Anie. Melihat tidak ada reaksi dari Mbak Anie, aku mulai berani lebih jauh, tanganku mulai meraba pinggangnya. Ia diam saja. Sambil meremas-remas pinggangnya, aku mendekatkan hidungku ke tengkuknya.
Sampai akhirnya hidungku menempel di belakang telinga kanannya. Sementara tanganku mulai merayap naik dari pinggangnya. Jari-jemariku menyusupkan ke dalam celah di bawah kemeja pendeknya, memberikan kehangatan pada pinggang dan perutnya yang langsing dan kencang, terus perlahan-lahan merayap ke atas. Mbak Aniek menarik nafas dalam-dalam hingga kedua bukit di dadanya makin membusung dan memenuhi kemeja ketatnya pada saat itu pula, tangan kananku tiba di bukit halus di dada kanannya, mengusap, memijit, dan meremas pelan, membuat nafas Mbak Anie kian memburu, ia memutar wajahnya ke kanan.
“Uhh…n Mass jangan!”, desahnya. “Kenapa Mbak, mumpung sepi, nggak ada yang lihat”. “Jangan ach, saru…, aku pulang dulu yach”, kata Mbak Anie sambil membereskan buku excel yang dibawanya. “Mbak, boleh nggak, kalau aku minta punyanya Mbak Anie?”. “Minta apa…”, tanyanya penasaran. “Aku ingin merasakan punya Mbak Anie, kalau boleh Mbak ke sini hari Rabu, kira-kira jam 10.00 pagi, Kutunggu”. Aku sengaja memilih jam tersebut, karena saat-saat seperti itu di lingkungan kami relatif sepi, karena ditinggal sekolah anak-anak, sementara ibu-ibu sibuk di dapur. Tak ada jawaban dari bibirnya yang aduhai, maka kuulangi lagi. “Bagaimana Mbak?”. “Ach…, Aku pulang dulu yach”, hanya itu jawaban darinya.
Hari Rabu yang kutunggu datang juga, aku minta ijin pada boss seolah-olah ada keperluan keluarga. Hatiku rasanya berdebar-debar menunggu kedatangan Mbak Anie, ada rasa was-was kalau ternyata yang ditunggu-tunggu ternyata tidak datang. Berkali-kali aku lihat keluar, dia belum juga keluar dari rumahnya. Kulihat lagi…, uch dia keluar, hatiku berdebar, jantungku berdetak lebih cepat, semakin dekat jarak kami rasanya detak jantung ini makin cepat pula.
“Masuk Mbak”, bisikku mempersilakan. “Mass, aaku geemetaar”. “aakuuu juga”, sambil kutarik tangan Mbak Anie ke kamarku. “Mass”. Tiba-tiba kata-katanya terhenti dan nafasnya tertahan, saat kupeluk dan kuciumi lehernya yang jenjang itu. Dan selang beberapa detik kamipun tenggelam dalam ciuman yang sangat bernafsu itu beberapa menit. Dan tangankupun mulai menggerayangi seluruh tubuhnya. Sambil berdiri kami berdua masih saling melumat dan tangankupun mulai menggerayangi dari leher, ke bahu dan pada akhirnya bertumpu di dua gunung kembar milik Mbak Anie.
Kini jari-jariku telah menemukan puting kecil di puncak bukit kenyal di dada kanannya dan mulai mengusap-usapnya. Ibu jariku mengusap puting dadanya yang kanan, sementara jari tengah aku melakukan hal yang serupa di dadanya yang kiri. Tangan kiriku membuka kancing dan ritsluiting celana kulotnya, menyusup ke dalam, menemukan rambut-rambut ikal. Mbak Anie memejamkan matanya dan menahan nafas, ekspresinya menunjukkan rasa geli dan birahi. Secara refleks, tangannya membuka kancing-kancing kemejanya, hingga dua bukit yang dari tadi berdesakan dalam ruang sempit itu terbebas. Indah sekali, aku dapat melihat bahwa ibu jari dan jari tengah tangan kananku kini sedang memijit-mijit dua buah puting yang tegang, berwarna coklat muda.]
Kemejanya tersingkap di sebelah kanan, menunjukkan pundak yang sangat halus dan indah, aku langsung mengoleskan lidahku di situ berkali-kali. Tangan kiriku terus menggali ke dalam rambut-rambut ikat itu hingga celana Mbak Anie melorot sedikit demi sedikit dan akhirnya jatuh di bawah kakinya. Jari tengah tangan kiriku pun langsung menyentuh sesuatu yang hangat dan lembab, mengusapnya, menjentik-jentikkannya. Membuat tubuh Mbak Anie yang cukup jangkung itu bergetar, sulit berdiri tegak, kakinya goyah, dadanya naik turun mengikuti nafasnya yang terengah, keringat membasahi keningnya, dan sesuatu mulai membasahi jari tangan kiriku di tengah selangkangannya, berdirinya semakin goyah, tangan tangan dan mulutku makin giat bekerja, tungkai indahnya makin gemetar.
“Ohh…, Massss.., ohh…, aku nggak tahan geli”, rintihnya sambil terengah. Aku segera menelentangkan tubuhnya di atas ranjang. Kuulangi menghisap putingnya bergantian. Tangan kananku menggosok-gosok vaginanya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, kuping leher, dada, perut, pusar, paha, vagina, betis sampai ke jari dan telapak kakinya. Tubuh Mbak Anie bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan. Mulutku naik lagi ke atas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti di vaginanya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan bulu vaginanya. Kulihat belahan vaginanya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bau vaginanya membuat sensasi yang aneh. Dengan hidung kugesek-gesek belahan vagina Mbak Anie sambil menikmati aroma bahunya. Erangan dan gelinjangan tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah menggairahkan.
“aahhk…, eeekhh…, nikmat sekali Mass, Teruuuss”, rintih Mbak Anie. Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan vaginanya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Mbak Anie. “Akkhh…, akkkhh…, akkkhh…, ngghh”, Mbak Anie terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas jariku lalu membawanya ke payudaranya. Aku tahu dia ingin yang meremas payudaranya adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku meremas payudaranya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap, menyedot vaginanya, sementara tangan kiriku menyentik-nyentik clitorisnya. Diapun bergelinjang-gelinjang kenikmatan.”Masss aduuh…, enaak sekalii”, erang Mbak Anie. “Nggghh…, nggghh…”, Aku hanya bisa mendesah, kakinya yang tadinya belum terbuka lebar, tanpa dia sadari dia telah merenggangkan kedua pahanya sambil kakinya ditekuk. Maka semakin lebar kemaluannya terbuka aku semakin leluasa memainkan vaginanya.
Setelah menyedot bibir vagina milik Mbak Anie, lalu aku mulai menjulurkan lidahku ke dalam vaginanya yang mulai basah itu. Kujilati clitoris milik Mbak Anie yang merah itu, terkadang lidahku kujulurkan masuk ke dalam lubang vaginanya. Diapun mendesah terus menerus, “aaccch, oooccchh, aaccchh, oooccchh”. Mendengar desahan Mbak Anie aku semakin beringas menjilatinya hingga vaginanya basah. “Masss…, nggghh..”, Mbak Anie mendesah sambil tangannya menggapai mencari-cari penisku.
Aku bangkit dan kuletakkan penisku di lembah diantara dua bukit yang kenyal itu, lalu kugesek-gesekkan penisku, sementara Mbak Anie menggeliat-liat sambil tangannya ikut mengusap-usap kepala penisku. “Masss…, nggghh..”, desah Mbak Anie. Tangannya menarik penisku, sementara lidahnya menjilat-jilat bibirnya yang sensual. Kusorongkan penisku ke bibir Mbak Anie, Dia mulai mengelus-elus, menjilati dari kantung yang berisikan dua biji pelir hingga sampai pada kepala penisku. Setelah puas dia menjilati lalu dia memasukan penisku ke mulutnya, menghisap dan mengocok-ngocok dengan mulutnya seirama dengan desahan Mbak Anie.
Lama sekali dia mempermaikan penisku hingga aku secara tidak sadar menggeliat-geliat sambil mendesah, “Ooohh, ooohh, yaacch, yaacch”. Aku sudah tidak tahan, penisku yang sedang di kulum-kulum di mulut Mbak Anie, kucabut. Aku mengangkat kedua tungkainya, meletakkannya di bahuku, dan pelahan-lahan dengan hati-hati kupegang penisku dan kugesek-gesekkan di belahan bibir vaginanya beberapa kali, kemudian kutekan ke dalam dan…, “Bleeess”, penisku memasuki vaginanya dan segera kusodokkan dalam-dalam dengan kencang. “Aduuhh…”, Mbak Anie menjerit pelan. “Sakit Mbak..”, tanyaku dan Mbak Anie kulihat hanya menggelengkan kepalanya sedikit dan ketika dia menciumi di sekitar telingaku kudengar dia malah berbisik, “enaak…,
Kuciumi wajahnya dan sesekali kuhisap bibirnya sambil kumulai menggerakkan pantatku naik turun pelan-pelan, dan makin lama semakin cepat. Tangan Mbak Anie mencengkeram dan menekan pantatku. Wajahnya tampak memelas, matanya terkatup rapat, bibir tipisnya terbuka, namun giginya terkatup, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang kini bergerak terkocok dalam kecepatan tinggi. Aku merasakan jepitan vaginanya sungguh luar biasa. Begitu lembab, lengket, licin, namun ketat mencengkeram mengurut-ngurut kejantananku. Ia pun merasakan nikmat yang luar biasa, vaginanya terjejali dengan benda yang keras dan hangat dengan ukuran yang tepat, menggesek dinding liang vaginanya, tiap gesekan makin membuatnya melayang-layang.
Aku menurunkan kaki kanannya dari bahu kiriku, dan memutar tubuhnya ke kiri, sehingga posisi kami jadi menyilang, penisku kini menyentuh bagian yang lebih dalam dari vaginanya. Mbak Anie kian histeris, menggeliat-geliat, punggungnya terangkat-angkat dari kasur, matanya terpejam makin rapat, dan mulutnya mendesis, mengerang, dan mengaduh tidak menentu. Tangan kanannya kini memegangi tanganku yang sedang mencengkeram pinggulnya. Aku membungkukkan badan dan mulutku menangkap puting kanan Mbak Anie, mengolesinya dengan lidahku, menghisap-hisapnya, namun puting itu tidak dapat menjadi lebih tegang lagi karena sudah begitu tegang. Tubuh kami terus saling berhempasan, penisku terasa menyodok-nyodok ujung liang vaginanya. Sampai tiba-tiba kedua tangannya mencengkeram sprei, wajahnya meringis, dan tubuhnya meregang sampai punggungnya terangkat tinggi dari ranjang, “Uggghh…, Masssh…, ohh”, rintihnya.
Beberapa detik tubuhnya meregang seperti itu, otot-otot vaginanya terasa kuat sekali menggenggam penisku, lalu tiba-tiba tubuh langsingnya terkulai lunglai, seperti tak berenergi.
“Mbak Anie, bisa tahan sebentar saja?”, tanyaku. Ia mengangguk lemah sambil tetap lunglai seperti orang mau pingsan. Aku segera dengan cepat mengocokkan penisku, kutekankan dalam-dalam, dan kutarik dengan cepat, begitu terus. Hingga ekspresi Mbak Anie menunjukkan rasa ngilu kesakitan, namun ia diam saja, membiarkanku mencapai klimaks. Dan akhirnya, aku merasa sesuatu keluar dari penisku, “crottt…, crottt…, crottt…, ach”.
Aku mencabut penisku dari vagina Mbak Anie dan berbaring di sampingnya. Mendekapnya, memeluknya. Ia pun memelukku dengan mesra, seolah kami merupakan suami istri yang saling memiliki.
Sejak kejadian itu kami jarang ketemu apalagi ngobrol, karena Mbak Anie sudah lulus kursus, apalagi setelah Mbak Anie mulai kerja, sementara aku disibukkan dengan urusan kuliah dan pekerjaan, praktis kami tidak sempat ketemu lagi.
Pengalamanku dengan Mbak Anie membuat aku sering tergoda jika melihat ibu-ibu seksi. Aku ingin pengalamanku terulang, tapi tidak bisa. Mbak Anie sudah pindah menempati rumah sendiri bersama suaminya yang kebetulan belum ada jaringan telepon. Aku ingin nekat ke rumahnya, namun tidak berani, malu kalau tidak ada alasan yang jelas.
Suatu saat tanpa diduga aku bertemu dengan suami Mbak Anie, kami ngobrol dan dengan basa-basi kutanyakan apa sudah ada jaringan telepon di rumahnya, ternyata sudah ada dan di rumahnya juga sudah dipasang. Dengan berbekal nomor yang dikasihkan, aku mencoba menghubungi Mbak Anie, berdebar juga rasanya jantung ini. “Hallooo”, terdengar suara yang sudah saya kenal baik itu. “Ini Mbak Anie, yaa?”, tanyaku. “Och…, Mas Feby toch”, sahut Mbak Anie dengan nadanya yang renyah. Kami ngobrol lama, aku gunakan kesempatan ini untuk membangkitkan kenangan masa lalu. Aku rayu dia, supaya sewaktu-waktu ada kesempatan kami bisa mengulang masa laku kami. Namun sayang Mbak Anie mengaku sudah insaf dan dulu merupakan kekhilafan yang jangan sampai diulang. Akhirnya aku menyerah, tapi sudah kepalang basah, aku menceritakan terus terang dan minta tolong pada Mbak Anie.
“Mbak, kalau toch Mbak Anie nggak mau lagi, baiklah nggak apa-apa, tapi aku minta tolong…, tolong bantu aku Mbak!” “Apa yang bisa ku bantu Masss!” “Begini Mbak.., terus terang sejak kejadian itu, aku sering melamun dan sering tergoda jika melihat ibu-ibu yang kelihatan seksi, aku akhirnya hanya bisa menahan dan kalau toch terpaksa kuambil sabun dan main sendiri. Mbak tolonglah aku…, jika Mbak punya kenalan yang kebetulan kesepian dan menginginkan kenikmatan, kenalkan padaku yaach, aku ingin memberikan kenikmatan seperti yang pernah aku berikan kepada Mbak Anie”. “Mas, kok jadi begini…, tapi yach, akan aku usahakan, tapi aku nggak berani menjanjikan lho!”
Sampai sekarang Mbak Anie tidak pernah memberi kabar. Aku juga tahu diri mungkin Mbak Anie tidak setuju apa yang akan aku perbuat, sehingga dia tidak pernah memberi kabar apapun. Akhirnya akupun sampai sekarang tidak pernah menghubungi lagi Mbak Anie. Aku menganggap Mbak Anieku hilang, yah Mbak Anieku sayang, Mbak Anieku yang hilang. Namun aku masih tetap mengharap menemukan Mbak Anie yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar