Pada hari ketiga pondok sebelah-sebelah kami sudah ada beberapa yang terisi. Nampaknya tamu-tamu yang membooking pondok itu sudah datang beberapa diantaranya. Disebelah kiri pondok kami dihuni sekeluarga yang dari perkenalan kami mereka dari Batam. Selain orang tua yang ikut ada tiga orang anak dua gadis yang satu masih SMU dan yang satu baru lulus SMP dan seorang anak laki-laki yang masih balita. Dilihat dari ciri-cirinya sih mereka WNI keturunan atau Cina/Tionghoa. Kedua anak gadis mereka cantik-cantik sekalipun aku tahu itu karena pengaruh kulit mereka yang putih sehingga terlihat lebih bersih.
Sementara disebelah kanan pondok kami tidak terisi siapapun dan agak jauh dibelakang ada serombongan mahasiswi yang menyewa pondok tersebut. Ada 3 orang yang bernama Antin yang berbody aduhai namun wajahnya tidak terlalu cantik tapi lumayanlah. Lalu Riesty yang anak Jakarta dan tinggi, wajahnya cantik berkulit kuning langsat. Sementara yang terakhir Andina yang bertubuh agak kecil namun imut ditambah dengan kulit putih dan rambut lurus pendeknya membuat dia semakin imut.
Namun nampaknya Joni tidak begitu bersemangat melihat adanya dara-dara menggairahkan disekitarnya. Jelas semua ini ada sebabnya. Pada hari kedua di resort saat kami ke coffee shop, kami sempat berpapasan dengan seorang gadis cantik, cukup cantik….ah tidak, sangat cantik menurut Joni (setidaknya pernyataan ini didukung oleh Alex). Namanya Ranti, dia seorang petugas supervisor bagian pelayanan di ball-room sampai dengan coffee shop. Ditunjang dengan tinggi badan dan pakaian yang modis, pantas saja kalau Joni tergila-gila berat kepadanya. Namun sayang, kesan pertama saja sudah jauh dari bagus, sahabatku dicuekin begitu saja saat minta kenalan baru setelah Anthony yang maju gadis ini bersedia menuturkan namanya.
Mungkin karena tahu Anthony anak dari boss-nya. Kulihat-lihat tubuhnya benar-benar aduhay sekali. Ramping namun berisi dengan payudara menonjol, sekitar 36B kalau aku tidak salah tebak. Lesung pipinya benar-benar melengkapi diva ini menjadi primadona di resort.Sudahlah soal Joni dan gadis pujaannya yang berakhir dengan kasih tak sampai itu. Pada sore itu di hari ketiga, aku sendirian berjalan menyusuri sungai kecil yang memisahkan antar satu pondok dengan pondok lainnya. Jujur saja rasa ingin tahuku besar, penasaran kearah mana sungai buatan ini berakhir dan ternyata berakhir di aliran sungai yang akan kepersawahan dibelakang resort.
Saat aku kembali, aku melihat coffee shop nampak sepi pengunjung. Aku masuk saja dan memesan segelas capucino black current latte (sebuah perpaduan yang benar-benar gila, aku sama sekali tidak menganjurkan kalian yang membaca ini untuk mencoba campuran minuman ini). Belum cukup dengan keanehan ini, aku minta penyajiannya dibuat dengan shake (dikocok ala milk shake dan rum) ditambah cherry diatasnya. Jelas pramusajinya bengong mendengar pesananku namun dasar pramusaji di hotel kelas tinggi, dengan cepat dia menyesuaikan keadaan dan memberikan apa yang aku pesan dengan cepat lagi.
Baru kuminum sedikit, sudah kurasakan rasa aneh menyelimuti tenggorokanku dan hampir aku tersedak. Sialan, pikirku. “Kalau tau rasanya bakalan kayak gini, ga bakalan deh aku mau pesan aneh-aneh.” umpatku dalam hati. Nampaknya tingkahku ini mengundang perhatian seseorang yang menahan tawanya saat aku tersedak coco-granule bercampur dengan gumpalan latte-shaken. Saat aku menoleh, surprise…….ternyata yang memperhatikan aku itu adalah Ranti, gadis pujaan satu arah milik Joni. Dia lalu menghampiriku, sesaat ada rasa malu mendera wajahku. “Sialannnnnn, malu-maluin aja nih. Dah lama-lama kayak orang desa atau orang yang hidup di gua ntar.” Aku mengumpat berulang-ulang dalam hati sambil menyunggingkan senyuman untuk menutupi rasa malu.
“Baru kali ini ada orang nekat mencoba resep diluar wajar.” Ranti duduk didekatku sambil menyilangkan kakinya diatas kakinya yang lain. Senyumannya benar-benar menggoda. Jika Lina (adik pacarku) mempunyai sex appeal senilai 7 maka Ranti ini patut mendapat nilai 9. Pembawaan dirinya benar-benar sempurna, pantas dia mendapat posisi supervisor di resort mewah ini di usia muda. “Ah, mumpung disini, coba-coba dikit siapa tahu rasanya beda dengan di kampung.” Tak sengaja kalimat aneh keluar dari mulutku dan segera kusesali setelah aku melihat sesungging senyuman keluar dari mulutnya. Kalau Jakarta kampung terus kotanya mana goblok, makiku dalam hati kutujukan pada mulutku sendiri.
Sambil memanggil pelayan, dia tersenyum berkata padaku dengan dibarengi lirikan matanya yang entah kenapa kupikir semakin nakal saja, “Coba deh ini, ini resep terbaik kami di coffee shop. I treat you for this.” Dan dalam sekejap sebuah kopi aneh muncul dihadapanku. Bentuknya kurang meyakinkan namun baunya harum sekali menyejukkan pikiran yang biasanya hanya kutemukan bau jenis ini di teh hijau. Dan rasanya cukup fantastis. Aku lalu melihat daftar menu, “Sesuai harganya.” celetukku sendirian. Ranti tertawa sambil memanggil lagi pelayan, kali ini dia order untuk dirinya sendiri. Black Berry Shake kulihat dia menulis pesanannya, “Apalagi itu? Pasti bentuknya aneh.” suara itu langsung kupendam dalam-dalam agar tidak meluncur dari mulutku, takut jika aku bertambah kelihatan bego didepan Ranti.
Sembari menghirup aroma kopi yang menenangkan ini Ranti mulai bercerita tentang dirinya dan juga bertanya tentang diriku antaranya alasan aku disini dan mengenai statusku yang sekarang mahasiswa. “Hmmm, enak juga yah masih kuliah. Dulu waktu aku masih kuliah enak juga, nggak perlu mikirin cari duit.” Ranti tergelak sambil memandang langit-langit coffee shop. Jelas dia tidak mungkin mengamati lampu gantung yang ada diatas kami karena walaupun seandainya lampu gantung itu bernilai seni tetaplah lampu gantung, tak mungkin menyita pandangan dara cantik ini lama-lama.
“Masih teringat kenangan manis kuliah dulu?” tanyaku basa-basi dan dia hanya tersenyum sembari sesekali melirik kearahku. Seandainya aku memegang alat pengukur tegangan listrik mungkin sekarang jarumnya menunjuk kearah maksimum, lirikan matanya bagaikan menyetrum jantungku. “Sial, aku yang biasanya jadi buaya kok malah ambruk didepan cewek.” dalam hati aku memaki diriku lagi. “Hmmm, abis ini kamu mau kemana?” Ranti bertanya lagi, kali ini dia tidak lagi lirik-lirik kearahku tapi sibuk memainkan jarinya yang lentik disebuah communicator. Aku langsung saja menjawab bahwa aku tidak memiliki rencana untuk sore ini.
Ranti meletakkan cangkir kopi yang sudah mendekati dasar, “Bagaimana kalau kamu ikut aku sore ini, kebetulan aku mau keliling ke beberapa tempat. Itu juga kalau kamu gak sibuk.” Ini dia pikirku, ini kesempatan buat diriku agar dapat lebih dekat dengannya. Jam menunjukkan angka 6 lebih 10 menit dan kami berdua cabut dari tempat itu untuk pergi ke lokasi yang dikatakan oleh Ranti.
Sebuah lapangan squash yang berada didalam gedung utama. Aku heran kenapa aku tidak memperhatikan kalau ternyata di resort inipun terdapat sarana olah raga. Ranti mengatakan bahwa selain squash ada juga lapangan basket yang ada diluar ruangan dekat dengan sauna. Tentu saja kolam renang tetap ada. “Kukira kemana, ternyata kemari yah? Pasti kamu suka tenis?” tanyaku padanya setelah aku dan Ranti memasuki ruangan ganti untuk squash. “Tapi aku gak bisa maen, lagipula nggak bawa peralatan.” Aku mulai sadar bahwa satu-satunya alat olah raga yang kubawa kemari hanyalah ranselku yang beratnya bukan main yang pantas dijadikan barbel.
Ranti hanya tersenyum, “Jangan khawatir, pakai saja kaus itu yang kamu pakai sekarang, toh nggak ada yang mengharuskan memakai sport shirt. By the way itu juga kaus santai khan.” Ranti melirik kearahku dan menyadarkanku bahwa sekarang aku bersepatu kets (sebenarnya ini sepatu buat lari pagi/joging tapi sepertinya dia tak terlalu peduli akan itu).
Kami bermain tiga babak dan semuanya dimenangkan oleh Ranti. Jujur saja satu-satunya olah raga yang aku bisa hanyalah taekwondo, itupun juga asal-asalan. Pernah ikut tim basket di kampus hanya selama dua minggu setelah aku sadar bahwa aku sama sekali tidak punya talenta di bidang itu.
Sembari menyeka keringat dia tertawa dan memberikan sebuah handuk bersih kepadaku. “Handuk disini dijamin bersih kok. By the way, abis ini mampir kesuatu tempat dulu yah?” dia mengajakku pergi dari tempat itu. “Gila!” batinku, betapa tidak, dengan kondisi berkeringat dan belum mandi dia malah mengajakku jalan-jalan. Jujur saja meskipun aku suka berjalan bersama cewek tetapi aku tidak pede kalo disuruh berkeringat ria begini. Kami pergi ke gedung utama resort dan menaiki tangga sampai di lantai 4. “Kenapa pakai tangga? Khan ada lift.” Aku baru saja akan mengucapkan itu tapi lalu aku cepat-cepat tahan karena takut dia menganggapku orang yang gampang merengek.
“Hah? Ini bukannya kamar hotel?” aku terkejut kala Ranti membuka kamar 405, dan lebih terkejut ketika dia mengatakan bahwa kamar itu miliknya selama dia kerja di resort tersebut. “Gila! Supervisor saja dah dapat kamar mewah kayak gini, kayaknya aku salah jurusan, harusnya ikut fakultas pariwisata dan perhotelan di kampus.” Namun semua pikiran yang berkecamuk di kepalaku itu langsung hilang ketika melihat Ranti mengeluarkan sebuah kaus putih bersih dan handuk lalu memberikan padaku. “Kalau kamu mau mandi, mandi sini aja biar cepet.” Sebuah ucapan yang nyaris tak bisa kupercaya keluar dari mulut seorang Ranti.
Aku kontan gugup, “Bener? Lah kaus ini?” tanyaku padanya dan dia hanya senyum sambil mendudukkan pantatnya yang aduhai itu di kursi sofa. “Aku ada banyak kok. Lagipula itu kaus promosi dari hotel.” Ranti lalu pindah duduk di pinggiran tempat tidur sambil menawarkanku sebuah minuman kaleng dingin. “Untuk mengganti keringat.” katanya sambil tersenyum lagi.Selang beberapa setelah aku mandi, tiba-tiba pintu terbuka, “Di, kamu lupa handuk…..” Ranti tidak jadi meneruskan kata-katanya ketika melihatku telanjang bulat disirami air dari shower. Dia langsung membalikkan wajahnya, “Sori, aku kira kamu mandi di bath-tub.” Ranti kembali memerah mukanya.
Entah apa yang membuat mukanya semerah itu, karena dia telah melihat tubuhku atau karena dia merasa malu karena telah membuka pintu kamar mandi tanpa ijin atau karena setelah itu aku langsung memeluknya erat dari belakang. Ya, aku memeluk perutnya dari belakang dan menariknya masuk kekamar mandi. Entah apa yang menyihirnya, karena dia sama sekali tidak melawan bahkan ketika siraman shower sudah membasahi seluruh pakaiannya. Badannya berbalik dengan wajah penuh tanda tanya seolah-olah belum sadar benar dengan apa yang terjadi. “Ran…” ucapku pelan sambil mengecup bibirnya yang tipis itu. Pagutan demi pagutan dimulutnya akhirnya mendapatkan balasan dari sang dara cantik. Kami berciuman sangat mesra malam itu.
Disaat lidahku melakukan servis kilat ke mulut dan bibir Ranti, kedua tanganku seolah menanggapinya dengan sangat sigap. Dalam beberapa detik seluruh pakaian Ranti telah terjatuh ke lantai yang basah itu dan sekarang bukan hanya aku yang telanjang tapi juga Ranti telah bugil total. Kulihat tubuhnya yang montok tapi juga padat berisi, benar-benar luar biasa. Semakin memikirkannya semakin tegang saja penisku. Ranti tersentak ketika tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu yang terasa keras yang ternyata adalah batang kejantananku. Aku yakin dari ukurannya saja jelas dia sudah kaget sekali.
Kuremas payudaranya sambil kuciumi leher juga buah dadanya itu beserta putingnya. Ranti melenguh untuk yang pertama kalinya, desahan-desahan mulai keluar dari mulutnya tak terbendung lagi. “Jangan Di! Aku masih bau belum mandi.” Ranti coba melepaskan diri dari jeratanku namun aku malah semakin liar jadinya. Aku ambil sabun mandi cair dan aku mandikan dia seperti seorang bayi dari ujung kepala hingga ujung kaki disertai dengan cumbuan-cumbuan nan panas.
Hasilnya sudah dapat ditebak bahwa gadis seperti Ranti tidak akan tahan dengan cumbuan-cumbuanku. Dia menyerah dan akhirnya mengikuti kemana nafsuku membawanya pergi. Setelah acara mandi selesai, aku segera mulai gerilyaku didaerah vaginanya, dan benar saja cairan kewanitaannya sudah mulai bermunculan karena rangsangan dariku. “Ah, empfff, Di achhhh…..” desahan Ranti semakin menjadi saja saat tanganku memainkan bibir kemaluannya dan juga klitorisnya. Aku gesek-gesekan jari tengahku di klitorisnya yang membuat dia menjadi kalang kabut menerima luapan hasrat nafsunya sendiri. Tak butuh waktu lama sebelum akhirnya dia lemas dalam ketiadaan, orgasme pertamanya telah mencapai puncaknya dah meletus keluar seperti gunung berapi yang sudah lama menahan tekanan lahar panas.
Aku menunggu sampai dia mempunyai kembali kekuatan untuk berdiri lalu dengan perlahan aku arahkan penisku kearah bibir kemaluannya. Ranti nampak pasrah setelah tenaganya habis saat mengalami orgasme pertamanya. Dan tak lama kemudian kepala batang kemaluanku sudah berada didalam bibir vagina Ranti. “Ach, Di sakit…aku…ahhh…” desahan diiringi rintihan rasa sakit dari Ranti, ternyata dia masih perawan saat itu. Suara tersebut membuatku semakin horny saja karena jujur saja suara rintihan diselingi dengan desahan yang keluar dari mulut Ranti benar-benar seksi.
Aku dorong batang kejantananku lebih kuat kearah dalam vagina Ranti dan dara itu setengah melotot matanya menahan nyeri dan tubuhnya mengejang ketika batang kejantananku menembus hymen (selaput dara) miliknya. Gadis cantik itu kemudian menunduk lemas, tapi tak lama kemudian dia mulai mendesah lagi karena saat itu batang kejantananku sudah masuk seluruhnya kedalam liang senggamanya. “Ran, kamu masih perawan yah? Kamu cantik sekali Ran, aku sudah lama naksir kamu sejak kita bertemu di Lobby.” segala rayuan yang tak perlu lagi keluar dari mulutku bersamaan dengan sodokan-sodokan batang kejantananku kedalam liang kewanitaan Ranti. “Aku juga naksir…kamu …..Di…” Ranti mencoba menyusun kata-katanya dalam irama goyanganku yang semakin lama semakin liar saja dan cepat. Kontan desahan yang keluar dari mulut Ranti juga semakin keras dan tak kalah liar juga.
Lima belas menit kiranya aku memompakan penisku didalam vagina Ranti dalam posisi berdiri. Kuangkat tubuhnya lebih tinggi sementara kedua kakinya mengapit pinggangku dan punggungnya disandarkan ketembok. Disaat itu Ranti mendesah keras dan mencengkeram tubuhku erat-erat begitu juga dengan kakinya. Nampaknya orgasme kedua Ranti akan segera datang sebentar lagi.
“Ran, kita barengan keluarnya saja!” aku mulai mempercepat pompaanku ketika kurasakan cairan kewanitaan Ranti mulai banyak, dan akhirnya keluar juga sperma dari penisku membanjiri liang vagina Ranti. Kurang lebih 6 kali tembakan sperma keluar dari ujung batang kejantananku itu. “Ahhhh…Ran….” aku tenggelam dalam kenikmatanku. Selama kurang lebih 10 detik aku dan Ranti terdiam bagai patung, lalu aku membopongnya dengan kondisi penis masih tertancap di vaginanya. Aku bawa Ranti kekasur dan kuletakkan dia hati-hati. Ciuman-ciumanku kembali mendarat di bibir dan seluruh wajahnya termasuk leher dan buah dadanya yang menggiurkan itu. Sekilas aku melihat air mata keluar dari kedua mata Ranti namun dia cepat-cepat menyekanya. Senyumannya tampak lebih kecil dari yang tadi dan seperti dipaksakan.
Aku tersenyum padanya, ‘Ran, kamu benar-benar hebat. Alangkah senangnya bila bisa mendapatkan dirimu seutuhnya….menjadi kekasihmu maksudku.” aku memberikan sebuah penghiburan klasik padanya dan Rantipun memelukku dengan erat melupakan bahwa saat ini vaginanya masih ber-coitus dengan penis milikku. Disaat Ranti memelukku, kurasakan bahwa batang kemaluanku membesar lagi. Babak kedua dimulai, pikirku. Segera aku lakukan sodokan-sodokan kecil kedalam vagina Ranti. Gadis ini merintih dan mendesah-desah tak karuan, kali ini dia mencoba menikmatinya lebih dari yang tadi. Pompaanku berlangsung selama 20 menit sebelum akhirnya aku mengalami ejakulasiku yang kedua.
“Ran, aku mau keluar lagi. Aku crotin didalam yah?” kataku padanya namun tak dijawab mungkin karena dia sudah pasrah mengingat aku tadi juga telah berejakulasi didalam rahimnya. “Ran….” bisikku agak keras sambil mencengkeram pundaknya juga payudaranya. “Crottt….. crottt….. crottt…………..crottt…………………..crot tt” air mani begitu banyak keluar membanjiri liang senggama gadis ini. Ranti menutup matanya ketika dia merasakan bahwa ada cairan hangat disemprotkan kedalam vaginanya dan beberapa mengalir keluar dari bibir vaginanya.
Setelah semua itu terjadi, kami kembali mandi dan berpakaian lagi. Aku kenakan kaus pemberian Ranti dan keluar dari kamarnya setelah mengucapkan terima kasih special dan mencium bibirnya dengan panas. “Di, kapan kita ketemu lagi?” aku tak menyangka Ranti akan bertanya seperti itu. Aku tersenyum lepas, “Besok aku tunggu jam 10 pagi di kolam renang. Aku nggak akan melupakan malam ini Ran. Tidur yang nyenyak yah!” aku lalu pergi sambil teringat bahwa di kamar mandi Ranti terdapat cairan merah darah keperawanannya juga menempel dibeberapa bagian sprei putihnya. Ah aku tak peduli, kataku dalam hati. Ranti…….dia tak berbeda dengan gadis-gadis tempat aku bepetualang, namun jujur saja sampai sekarang aku masih mengingatnya. Mungkinkan aku jatuh cinta? Ah nggak, mana mungkin.
Sementara disebelah kanan pondok kami tidak terisi siapapun dan agak jauh dibelakang ada serombongan mahasiswi yang menyewa pondok tersebut. Ada 3 orang yang bernama Antin yang berbody aduhai namun wajahnya tidak terlalu cantik tapi lumayanlah. Lalu Riesty yang anak Jakarta dan tinggi, wajahnya cantik berkulit kuning langsat. Sementara yang terakhir Andina yang bertubuh agak kecil namun imut ditambah dengan kulit putih dan rambut lurus pendeknya membuat dia semakin imut.
Namun nampaknya Joni tidak begitu bersemangat melihat adanya dara-dara menggairahkan disekitarnya. Jelas semua ini ada sebabnya. Pada hari kedua di resort saat kami ke coffee shop, kami sempat berpapasan dengan seorang gadis cantik, cukup cantik….ah tidak, sangat cantik menurut Joni (setidaknya pernyataan ini didukung oleh Alex). Namanya Ranti, dia seorang petugas supervisor bagian pelayanan di ball-room sampai dengan coffee shop. Ditunjang dengan tinggi badan dan pakaian yang modis, pantas saja kalau Joni tergila-gila berat kepadanya. Namun sayang, kesan pertama saja sudah jauh dari bagus, sahabatku dicuekin begitu saja saat minta kenalan baru setelah Anthony yang maju gadis ini bersedia menuturkan namanya.
Mungkin karena tahu Anthony anak dari boss-nya. Kulihat-lihat tubuhnya benar-benar aduhay sekali. Ramping namun berisi dengan payudara menonjol, sekitar 36B kalau aku tidak salah tebak. Lesung pipinya benar-benar melengkapi diva ini menjadi primadona di resort.Sudahlah soal Joni dan gadis pujaannya yang berakhir dengan kasih tak sampai itu. Pada sore itu di hari ketiga, aku sendirian berjalan menyusuri sungai kecil yang memisahkan antar satu pondok dengan pondok lainnya. Jujur saja rasa ingin tahuku besar, penasaran kearah mana sungai buatan ini berakhir dan ternyata berakhir di aliran sungai yang akan kepersawahan dibelakang resort.
Saat aku kembali, aku melihat coffee shop nampak sepi pengunjung. Aku masuk saja dan memesan segelas capucino black current latte (sebuah perpaduan yang benar-benar gila, aku sama sekali tidak menganjurkan kalian yang membaca ini untuk mencoba campuran minuman ini). Belum cukup dengan keanehan ini, aku minta penyajiannya dibuat dengan shake (dikocok ala milk shake dan rum) ditambah cherry diatasnya. Jelas pramusajinya bengong mendengar pesananku namun dasar pramusaji di hotel kelas tinggi, dengan cepat dia menyesuaikan keadaan dan memberikan apa yang aku pesan dengan cepat lagi.
Baru kuminum sedikit, sudah kurasakan rasa aneh menyelimuti tenggorokanku dan hampir aku tersedak. Sialan, pikirku. “Kalau tau rasanya bakalan kayak gini, ga bakalan deh aku mau pesan aneh-aneh.” umpatku dalam hati. Nampaknya tingkahku ini mengundang perhatian seseorang yang menahan tawanya saat aku tersedak coco-granule bercampur dengan gumpalan latte-shaken. Saat aku menoleh, surprise…….ternyata yang memperhatikan aku itu adalah Ranti, gadis pujaan satu arah milik Joni. Dia lalu menghampiriku, sesaat ada rasa malu mendera wajahku. “Sialannnnnn, malu-maluin aja nih. Dah lama-lama kayak orang desa atau orang yang hidup di gua ntar.” Aku mengumpat berulang-ulang dalam hati sambil menyunggingkan senyuman untuk menutupi rasa malu.
“Baru kali ini ada orang nekat mencoba resep diluar wajar.” Ranti duduk didekatku sambil menyilangkan kakinya diatas kakinya yang lain. Senyumannya benar-benar menggoda. Jika Lina (adik pacarku) mempunyai sex appeal senilai 7 maka Ranti ini patut mendapat nilai 9. Pembawaan dirinya benar-benar sempurna, pantas dia mendapat posisi supervisor di resort mewah ini di usia muda. “Ah, mumpung disini, coba-coba dikit siapa tahu rasanya beda dengan di kampung.” Tak sengaja kalimat aneh keluar dari mulutku dan segera kusesali setelah aku melihat sesungging senyuman keluar dari mulutnya. Kalau Jakarta kampung terus kotanya mana goblok, makiku dalam hati kutujukan pada mulutku sendiri.
Sambil memanggil pelayan, dia tersenyum berkata padaku dengan dibarengi lirikan matanya yang entah kenapa kupikir semakin nakal saja, “Coba deh ini, ini resep terbaik kami di coffee shop. I treat you for this.” Dan dalam sekejap sebuah kopi aneh muncul dihadapanku. Bentuknya kurang meyakinkan namun baunya harum sekali menyejukkan pikiran yang biasanya hanya kutemukan bau jenis ini di teh hijau. Dan rasanya cukup fantastis. Aku lalu melihat daftar menu, “Sesuai harganya.” celetukku sendirian. Ranti tertawa sambil memanggil lagi pelayan, kali ini dia order untuk dirinya sendiri. Black Berry Shake kulihat dia menulis pesanannya, “Apalagi itu? Pasti bentuknya aneh.” suara itu langsung kupendam dalam-dalam agar tidak meluncur dari mulutku, takut jika aku bertambah kelihatan bego didepan Ranti.
Sembari menghirup aroma kopi yang menenangkan ini Ranti mulai bercerita tentang dirinya dan juga bertanya tentang diriku antaranya alasan aku disini dan mengenai statusku yang sekarang mahasiswa. “Hmmm, enak juga yah masih kuliah. Dulu waktu aku masih kuliah enak juga, nggak perlu mikirin cari duit.” Ranti tergelak sambil memandang langit-langit coffee shop. Jelas dia tidak mungkin mengamati lampu gantung yang ada diatas kami karena walaupun seandainya lampu gantung itu bernilai seni tetaplah lampu gantung, tak mungkin menyita pandangan dara cantik ini lama-lama.
“Masih teringat kenangan manis kuliah dulu?” tanyaku basa-basi dan dia hanya tersenyum sembari sesekali melirik kearahku. Seandainya aku memegang alat pengukur tegangan listrik mungkin sekarang jarumnya menunjuk kearah maksimum, lirikan matanya bagaikan menyetrum jantungku. “Sial, aku yang biasanya jadi buaya kok malah ambruk didepan cewek.” dalam hati aku memaki diriku lagi. “Hmmm, abis ini kamu mau kemana?” Ranti bertanya lagi, kali ini dia tidak lagi lirik-lirik kearahku tapi sibuk memainkan jarinya yang lentik disebuah communicator. Aku langsung saja menjawab bahwa aku tidak memiliki rencana untuk sore ini.
Ranti meletakkan cangkir kopi yang sudah mendekati dasar, “Bagaimana kalau kamu ikut aku sore ini, kebetulan aku mau keliling ke beberapa tempat. Itu juga kalau kamu gak sibuk.” Ini dia pikirku, ini kesempatan buat diriku agar dapat lebih dekat dengannya. Jam menunjukkan angka 6 lebih 10 menit dan kami berdua cabut dari tempat itu untuk pergi ke lokasi yang dikatakan oleh Ranti.
Sebuah lapangan squash yang berada didalam gedung utama. Aku heran kenapa aku tidak memperhatikan kalau ternyata di resort inipun terdapat sarana olah raga. Ranti mengatakan bahwa selain squash ada juga lapangan basket yang ada diluar ruangan dekat dengan sauna. Tentu saja kolam renang tetap ada. “Kukira kemana, ternyata kemari yah? Pasti kamu suka tenis?” tanyaku padanya setelah aku dan Ranti memasuki ruangan ganti untuk squash. “Tapi aku gak bisa maen, lagipula nggak bawa peralatan.” Aku mulai sadar bahwa satu-satunya alat olah raga yang kubawa kemari hanyalah ranselku yang beratnya bukan main yang pantas dijadikan barbel.
Ranti hanya tersenyum, “Jangan khawatir, pakai saja kaus itu yang kamu pakai sekarang, toh nggak ada yang mengharuskan memakai sport shirt. By the way itu juga kaus santai khan.” Ranti melirik kearahku dan menyadarkanku bahwa sekarang aku bersepatu kets (sebenarnya ini sepatu buat lari pagi/joging tapi sepertinya dia tak terlalu peduli akan itu).
Kami bermain tiga babak dan semuanya dimenangkan oleh Ranti. Jujur saja satu-satunya olah raga yang aku bisa hanyalah taekwondo, itupun juga asal-asalan. Pernah ikut tim basket di kampus hanya selama dua minggu setelah aku sadar bahwa aku sama sekali tidak punya talenta di bidang itu.
Sembari menyeka keringat dia tertawa dan memberikan sebuah handuk bersih kepadaku. “Handuk disini dijamin bersih kok. By the way, abis ini mampir kesuatu tempat dulu yah?” dia mengajakku pergi dari tempat itu. “Gila!” batinku, betapa tidak, dengan kondisi berkeringat dan belum mandi dia malah mengajakku jalan-jalan. Jujur saja meskipun aku suka berjalan bersama cewek tetapi aku tidak pede kalo disuruh berkeringat ria begini. Kami pergi ke gedung utama resort dan menaiki tangga sampai di lantai 4. “Kenapa pakai tangga? Khan ada lift.” Aku baru saja akan mengucapkan itu tapi lalu aku cepat-cepat tahan karena takut dia menganggapku orang yang gampang merengek.
“Hah? Ini bukannya kamar hotel?” aku terkejut kala Ranti membuka kamar 405, dan lebih terkejut ketika dia mengatakan bahwa kamar itu miliknya selama dia kerja di resort tersebut. “Gila! Supervisor saja dah dapat kamar mewah kayak gini, kayaknya aku salah jurusan, harusnya ikut fakultas pariwisata dan perhotelan di kampus.” Namun semua pikiran yang berkecamuk di kepalaku itu langsung hilang ketika melihat Ranti mengeluarkan sebuah kaus putih bersih dan handuk lalu memberikan padaku. “Kalau kamu mau mandi, mandi sini aja biar cepet.” Sebuah ucapan yang nyaris tak bisa kupercaya keluar dari mulut seorang Ranti.
Aku kontan gugup, “Bener? Lah kaus ini?” tanyaku padanya dan dia hanya senyum sambil mendudukkan pantatnya yang aduhai itu di kursi sofa. “Aku ada banyak kok. Lagipula itu kaus promosi dari hotel.” Ranti lalu pindah duduk di pinggiran tempat tidur sambil menawarkanku sebuah minuman kaleng dingin. “Untuk mengganti keringat.” katanya sambil tersenyum lagi.Selang beberapa setelah aku mandi, tiba-tiba pintu terbuka, “Di, kamu lupa handuk…..” Ranti tidak jadi meneruskan kata-katanya ketika melihatku telanjang bulat disirami air dari shower. Dia langsung membalikkan wajahnya, “Sori, aku kira kamu mandi di bath-tub.” Ranti kembali memerah mukanya.
Entah apa yang membuat mukanya semerah itu, karena dia telah melihat tubuhku atau karena dia merasa malu karena telah membuka pintu kamar mandi tanpa ijin atau karena setelah itu aku langsung memeluknya erat dari belakang. Ya, aku memeluk perutnya dari belakang dan menariknya masuk kekamar mandi. Entah apa yang menyihirnya, karena dia sama sekali tidak melawan bahkan ketika siraman shower sudah membasahi seluruh pakaiannya. Badannya berbalik dengan wajah penuh tanda tanya seolah-olah belum sadar benar dengan apa yang terjadi. “Ran…” ucapku pelan sambil mengecup bibirnya yang tipis itu. Pagutan demi pagutan dimulutnya akhirnya mendapatkan balasan dari sang dara cantik. Kami berciuman sangat mesra malam itu.
Disaat lidahku melakukan servis kilat ke mulut dan bibir Ranti, kedua tanganku seolah menanggapinya dengan sangat sigap. Dalam beberapa detik seluruh pakaian Ranti telah terjatuh ke lantai yang basah itu dan sekarang bukan hanya aku yang telanjang tapi juga Ranti telah bugil total. Kulihat tubuhnya yang montok tapi juga padat berisi, benar-benar luar biasa. Semakin memikirkannya semakin tegang saja penisku. Ranti tersentak ketika tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu yang terasa keras yang ternyata adalah batang kejantananku. Aku yakin dari ukurannya saja jelas dia sudah kaget sekali.
Kuremas payudaranya sambil kuciumi leher juga buah dadanya itu beserta putingnya. Ranti melenguh untuk yang pertama kalinya, desahan-desahan mulai keluar dari mulutnya tak terbendung lagi. “Jangan Di! Aku masih bau belum mandi.” Ranti coba melepaskan diri dari jeratanku namun aku malah semakin liar jadinya. Aku ambil sabun mandi cair dan aku mandikan dia seperti seorang bayi dari ujung kepala hingga ujung kaki disertai dengan cumbuan-cumbuan nan panas.
Hasilnya sudah dapat ditebak bahwa gadis seperti Ranti tidak akan tahan dengan cumbuan-cumbuanku. Dia menyerah dan akhirnya mengikuti kemana nafsuku membawanya pergi. Setelah acara mandi selesai, aku segera mulai gerilyaku didaerah vaginanya, dan benar saja cairan kewanitaannya sudah mulai bermunculan karena rangsangan dariku. “Ah, empfff, Di achhhh…..” desahan Ranti semakin menjadi saja saat tanganku memainkan bibir kemaluannya dan juga klitorisnya. Aku gesek-gesekan jari tengahku di klitorisnya yang membuat dia menjadi kalang kabut menerima luapan hasrat nafsunya sendiri. Tak butuh waktu lama sebelum akhirnya dia lemas dalam ketiadaan, orgasme pertamanya telah mencapai puncaknya dah meletus keluar seperti gunung berapi yang sudah lama menahan tekanan lahar panas.
Aku menunggu sampai dia mempunyai kembali kekuatan untuk berdiri lalu dengan perlahan aku arahkan penisku kearah bibir kemaluannya. Ranti nampak pasrah setelah tenaganya habis saat mengalami orgasme pertamanya. Dan tak lama kemudian kepala batang kemaluanku sudah berada didalam bibir vagina Ranti. “Ach, Di sakit…aku…ahhh…” desahan diiringi rintihan rasa sakit dari Ranti, ternyata dia masih perawan saat itu. Suara tersebut membuatku semakin horny saja karena jujur saja suara rintihan diselingi dengan desahan yang keluar dari mulut Ranti benar-benar seksi.
Aku dorong batang kejantananku lebih kuat kearah dalam vagina Ranti dan dara itu setengah melotot matanya menahan nyeri dan tubuhnya mengejang ketika batang kejantananku menembus hymen (selaput dara) miliknya. Gadis cantik itu kemudian menunduk lemas, tapi tak lama kemudian dia mulai mendesah lagi karena saat itu batang kejantananku sudah masuk seluruhnya kedalam liang senggamanya. “Ran, kamu masih perawan yah? Kamu cantik sekali Ran, aku sudah lama naksir kamu sejak kita bertemu di Lobby.” segala rayuan yang tak perlu lagi keluar dari mulutku bersamaan dengan sodokan-sodokan batang kejantananku kedalam liang kewanitaan Ranti. “Aku juga naksir…kamu …..Di…” Ranti mencoba menyusun kata-katanya dalam irama goyanganku yang semakin lama semakin liar saja dan cepat. Kontan desahan yang keluar dari mulut Ranti juga semakin keras dan tak kalah liar juga.
Lima belas menit kiranya aku memompakan penisku didalam vagina Ranti dalam posisi berdiri. Kuangkat tubuhnya lebih tinggi sementara kedua kakinya mengapit pinggangku dan punggungnya disandarkan ketembok. Disaat itu Ranti mendesah keras dan mencengkeram tubuhku erat-erat begitu juga dengan kakinya. Nampaknya orgasme kedua Ranti akan segera datang sebentar lagi.
“Ran, kita barengan keluarnya saja!” aku mulai mempercepat pompaanku ketika kurasakan cairan kewanitaan Ranti mulai banyak, dan akhirnya keluar juga sperma dari penisku membanjiri liang vagina Ranti. Kurang lebih 6 kali tembakan sperma keluar dari ujung batang kejantananku itu. “Ahhhh…Ran….” aku tenggelam dalam kenikmatanku. Selama kurang lebih 10 detik aku dan Ranti terdiam bagai patung, lalu aku membopongnya dengan kondisi penis masih tertancap di vaginanya. Aku bawa Ranti kekasur dan kuletakkan dia hati-hati. Ciuman-ciumanku kembali mendarat di bibir dan seluruh wajahnya termasuk leher dan buah dadanya yang menggiurkan itu. Sekilas aku melihat air mata keluar dari kedua mata Ranti namun dia cepat-cepat menyekanya. Senyumannya tampak lebih kecil dari yang tadi dan seperti dipaksakan.
Aku tersenyum padanya, ‘Ran, kamu benar-benar hebat. Alangkah senangnya bila bisa mendapatkan dirimu seutuhnya….menjadi kekasihmu maksudku.” aku memberikan sebuah penghiburan klasik padanya dan Rantipun memelukku dengan erat melupakan bahwa saat ini vaginanya masih ber-coitus dengan penis milikku. Disaat Ranti memelukku, kurasakan bahwa batang kemaluanku membesar lagi. Babak kedua dimulai, pikirku. Segera aku lakukan sodokan-sodokan kecil kedalam vagina Ranti. Gadis ini merintih dan mendesah-desah tak karuan, kali ini dia mencoba menikmatinya lebih dari yang tadi. Pompaanku berlangsung selama 20 menit sebelum akhirnya aku mengalami ejakulasiku yang kedua.
“Ran, aku mau keluar lagi. Aku crotin didalam yah?” kataku padanya namun tak dijawab mungkin karena dia sudah pasrah mengingat aku tadi juga telah berejakulasi didalam rahimnya. “Ran….” bisikku agak keras sambil mencengkeram pundaknya juga payudaranya. “Crottt….. crottt….. crottt…………..crottt…………………..crot tt” air mani begitu banyak keluar membanjiri liang senggama gadis ini. Ranti menutup matanya ketika dia merasakan bahwa ada cairan hangat disemprotkan kedalam vaginanya dan beberapa mengalir keluar dari bibir vaginanya.
Setelah semua itu terjadi, kami kembali mandi dan berpakaian lagi. Aku kenakan kaus pemberian Ranti dan keluar dari kamarnya setelah mengucapkan terima kasih special dan mencium bibirnya dengan panas. “Di, kapan kita ketemu lagi?” aku tak menyangka Ranti akan bertanya seperti itu. Aku tersenyum lepas, “Besok aku tunggu jam 10 pagi di kolam renang. Aku nggak akan melupakan malam ini Ran. Tidur yang nyenyak yah!” aku lalu pergi sambil teringat bahwa di kamar mandi Ranti terdapat cairan merah darah keperawanannya juga menempel dibeberapa bagian sprei putihnya. Ah aku tak peduli, kataku dalam hati. Ranti…….dia tak berbeda dengan gadis-gadis tempat aku bepetualang, namun jujur saja sampai sekarang aku masih mengingatnya. Mungkinkan aku jatuh cinta? Ah nggak, mana mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar