Aku sudah menikah selama hampir 15 tahun dan dikaruniai 4 anak yang lucu-lucu. Sudah lama sebelum aku menikah dengan isteriku, ibu mertuaku sudah berstatus seorang janda yang relatif masih cantik dan memang aku akui tubuhnya menggairahkan.
Pada awal pernikahanku dengan isteriku Yanti, segalanya begitu baik. Ibu mertuaku memang selalu berpakaian sopan dan tidak pernah menunjukkan hal-hal yang tidak baik. Tingkah lakunya selalu santun penuh sabar dan banyak memberikan pemikiran yang baik dan memang ibu mertuaku banyak disukai ibu-ibu RT di sekitar rumahnya. Aku akui sampai sekarang memang aku belum mampu mempunyai rumah sendiri, sehingga sejak awal pernikahanku aku tinggal di rumah mertuaku. Isteriku adalah dua bersaudara, kakaknya juga perempuan ikut suaminya di pulau lain, sehingga memang ibu mertuaku kasihan kalau tinggal di rumah sendiri tanpa ada yang menemani.
Pada waktu itu memang aku selalu hormat pada ibu mertuaku dan aku juga cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah ibu mertuaku sehingga aku cepat diterima sebagai warga yang baik di situ. Pada waktu itu aku sudah kerja di usaha garment. Letak kantor dan rumahku yaitu rumah ibu mertuaku sangat jauh, boleh dikatakan berbeda kota, sehingga aku selalu harus berangkat ke kantor pagi-pagi subuh. Hal ini memang sudah menjadi rutinitas sehari-hari yang wajar.
Hari demi hari berjalan wajar dan isteriku mulai mengandung anakku yang pertama. Setiap pagi apabila aku bersiap-siap pergi ke kantor selalu isteriku belum bangun, bahkan sampai aku berangkat biasanya dia belum bangun. Tetapi ibu mertuaku selalu sudah bangun dan sudah rapih, dan membantuku dengan menyiapkan sarapan. Semuanya berjalan baik.
Sampai suatu pagi ketika aku bangun tidur, ibuku biasanya baru selesai mandi dan beres-beres rumah. Tetapi tidak seperti biasanya, sekali ini aku lihat ibuku keluar dari kamar mandi hanya memakai kimono yang ketat. Peristiwa itu memang tidak terlalu menjadi perhatianku karena dia adalah ibu mertuaku. Besoknya terjadi hal yang sama, ibuku keluar dari kamar mandi pada saat aku baru bangun dan duduk di ruang tengah, dan sekali ini belahan tengah kimono di dada agak sembarangan di tutup sehingga agak terbuka sedikit. Yang mengkhawatirkan adalah hal ini mulai mempengaruhi pikiranku, tetapi aku selalu berhasil mengusirnya. Anehnya peristiwa seperti ini, aku baru bangun dan ibu mertuaku yang ceroboh selalu terulang.
Dan yang lebih lagi beberapa minggu kemudian pada saat aku baru bangun, ibuku seperti biasa keluar dari kamar mandi dan seolah menjadi kebiasaan aku selalu mencuri-curi lihat ke tubuh ibu mertuaku. Tapi sekali ini ibuku hanya memakai handuk yang dilingkarkan ke tubuhnya. Dan jelas handuk tersebut terlalu pendek untuk menutupi semua kulit putih mulus milik ibu mertuaku. Aku akui memang ibu mertuaku masih terbilang muda atau orang mengatakannya awet muda.
Ibu mertuaku hanya senyum-senyum tanpa bersalah lewat di depanku dan masuk ke kamarnya. Adegan handuk ini kembali menjadi rutin yang seolah-olah berbalas-balasan antara ibu metuaku yang sedikit-sedikit seolah berusaha “menunjukkan” dan aku yang sedikit-sedikit berusaha mencuri lihat. Sampai suatu hari seperti biasa ibuku lewat di depanku dan masuk ke kamarnya dan memang pintu kamarnya tidak pernah di tutup rapat, selalu dibiarkannnya agak rengga sedikit, seolah-olah lupa.
Dan di dalam kamar ketika ibu mertuaku ganti baju di balik pintu sekali-sekali ibuku berjalan di kamarnya dari satu ujung ke ujung yang lain untuk mengambil sesuatu yang ketingalan di lemari, dengan hanya memakai celana dalam dan BH. Seolah-olah tidak ada yang melihat, tetapi kadang-kadang aku menangkap sudut matanya yang sekejap melihat seperti ingin tahu apakah aku memperhatikannya atau tidak.
Kadang-kadang di dalam kamarnya itu ibuku memijit-mijit kakinya yang memang mulus, seperti pegal atau apa aku tidak tau. Sambil duduk di pinggir tempat tidur dan masih memakai handuk di tubuhnya ibuku memijit-mijit kakinya dan kadang-kadang mengangkatnya sedikit, dan kadang-kadang seperti tidak sengaja agak merenggangkan pahanya sehingga aku dapat melihat celah-celah di antara pahanya dalam kegelapan tertutup handuk. Kadang aku seperti melihat lirikan mata ibu mertuaku sekejap dan seolah merasa puas kalau mengetahui bahwa aku berusaha melihatnya di celah pintu yang agak renggang. Kejadian ini berulang. Dan keadaan sehari-hari memang tidak ada perubahan sehingga isteriku juga tidak mengetahui apa-apa, terutama juga ibu mertuaku bertingkah laku biasa dan memang tidak ada apa-apa. Namun pikiranku melekat padanya dan tidak bisa melupakan kejadian-kejadian tiap pagi.
Kadang-kadang sambil memijit kakinya tiba-tiba ibu mertuaku mengangkat kakinya sebelah ke atas tempat tidur dalam posisi masih duduk di pinggir tempat tidur, sehingga terlihatlah segalanya walau hanya sebentar kemudian kakinya diturunkan lagi. Dan memang apabila keluar dari kamar kandi ibu mertuaku tidak pernah memakai baju dalam karena semua pakaiannya ada di kamar tidurnya. Dan setelah selesai berpakaian ibu mertuaku selalu senyum di kulum, seolah senang melihat aku setengah mati berjalan membungkuk-bungkuk dan aku melepaskan segalanya di kamar mandi.
Kejadian bermacam-macam sering terjadi dan segalanya jadi tidak wajar lagi. Kalau aku bersenggolan dengan ibu mertuaku selalu ada perasaan berdesir dan berdebar, tapi ibu mertuaku cuek-cuek saja. Demikian berlangsung terus aku sering “tidak sengaja” menyenggol ibu mertuaku dan ibu mertuaku kadang-kadang “tidak sengaja” menyenggolku, demikian terus sampai anakku lahir dan sampai ketika anakku berumur 4 bulan.
Pada suatu hari aku pulang kantor pagi-pagi karena aku akan mendapat shift malam karena ada order mendesak. Di rumah hanya ada ibu mertuaku karena isteriku sedang pergi ke rumah uwaknya bersama anakku. Dan biasanya kalau isteriku ke rumah uwaknya maka bisa sampai sore baru pulang. Aku memang berencana untuk membetulkan kabel listrik di rumahku yang masih kurang untuk lampu depan. Ketika aku berusaha memasang kabel yang ditembok di kamar ku lihat ibu mertuaku sedang memasukkan baju-baju yang baru diseterika ke dalam lemari siteriku. Secara insting saja aku mengambil kabel di tembok di belakang lemari yang bergelantungan yang sudah aku lepas dari atas dan secara tidak sengaja lenganku menyentuh bagian depan atas dada ibu mertuaku. Aku agak terkejut dan berusaha menarik tanganku tetapi batal karena anehnya ibu mertuaku tidak berusaha menggeser badannya supaya aku tidak terhalang, dan kembali sibuk dengan baju yang sudah diseterika.
Aku juga seperti pura-pura tidak tau dan menarik-narik kabel itu sedemikian rupa sehingga lenganku bergesekan dengan dada ibu mertuaku. Jantungku berdebar-debar kencang, dan ibu mertuaku juga aku lihat hanya membolak-balik baju yang sudah di lemari tanpa tujuan. Tiba-tiba ibu mertuaku memandangku tajam, hanya sebentar kemudian kembali sibuk dengan baju-baju di lemari. Perlahan-lahan aku tarik tanganku dan aku pindahkan ke pundaknya untuk merangkulnya. Aku yakin ibu mertuaku bisa mendengar betapa jantungku berdegup-degup keras dan aku agak gemetaran. Ketika perlahan aku rangkul, ibu mertuaku tidak bergeser atau berpaling, dia tetap saja sibuk dengan baju-baju di lemari.
Posisi berdiriku sekarang sedemikian rupa jadi berada agak dibelakang ibu mertuaku dengan satu tangan merangkul pundaknya. Aku memandangi leher putih ibu mertuaku dari belakang, dan aku tidak tahan tiba-tiba aku peluk ibu mertuaku dan aku ciumi tengkuknya bertubi-tubi. Aku tidak perduli ibu mertuaku merasakan tonjolan keras yang merapat di belakangnya karena aku memang sudah tinggi. Ibu mertuaku tiba-tiba bergerak menghindar dan pergi serta mengatakan “jangan Dang…,” sedikit ketus, tanpa memandangku. Ibu mertuaku kembali ke ruang tengah tempat dia sedang menyeterika bajunya.
Keadaan dalam rumah memang sepi dan semua pintu tertutup sedangkan jendela depan dengan gorden tipisnya tidak bisa dilihat orang dari luar. Aku sudah demikian tinggi dan seperti kerasukan setan sudah tidak perduli dengan kaidah apapun. aku pura-pura ke dapur seolah-olah mengambil sesuatu di dapur dan kembali ke ruang tengah dari arah belakang dari ibu mertuaku. Aku pandangi tubuh ibu mertuaku dari belakang, dan memang tubuhnya indah sekali di balik baju dan rok yang ketat yang dikenakannya.
Aku pegang pundaknya dari belakang dan pelan-pelan aku usap-usap pundaknya, dan ibu mertuaku diam saja, kemudian tanganku pelan-pelan aku lingkarkan di perutnya, ibu mertuaku aku peluk dari belakang. Aku ciumi kembali tengkuknya dengan lembut, dan sekali ini aku dapat merasakan bahwa ibu mertuaku juga berdebar-debar sama seperti keadaanku. Ibu mertuaku berkata berkali-kali “jangan Dang….,” namum sekali ini tidak ketus tetapi seperti berbisik dan suaranya agak gemetar.
Tanganku aku naikkan ke dada ibu mertuaku sambil tak henti-hentinya aku menciumi leher ibu mertuaku yang putih mulus. Aku remas-remas dadanya dan ibu mertuaku tidak melawan malahan badannya agak menggeliat-geliat dan berkali-kali berbisik “Dadaaaanng”. Dari situ tanganku terus berpindah ke bawah dan masih dalam posisi memeluk dari belakang. Keadaan itu terus memanas dan akhirnya terjadilah semuanya di situ di sofa dekat meja seterikaan, aku menyetubuhi ibu mertuaku dan ibu mertuaku membalasnya dengan lebih panas.
Demikianlah awal kejadiannya. Pada mulanya aku selalu menyesal atas perbuatan yang baru saja kami lakukan tetapi seperti daya magnet yang kuat, kejadian itu selalu berulang kembali.
Kami berkali-kali melakukan diam-diam dan selalu isteriku atau tetangga-tetangga kami tidak ada yang mengetahunya, dan ibu mertuaku begitu pandai menutupi segalanya seolah tidak ada kejadian apa-apa. Aku banyak belajar dari ibu mertuaku bagaimana menutupi dan berlatih “bersabar” untuk tidak melakukan kesalahan apapun di depan orang lain. Bagi orang luar yang melihatnya hubungan kami terlihat wajar, keluarga kecil yang hidup serasi bersama ibu mertuanya.
Pada setiap kesempatan aku hanya berdua dengan ibu mertuaku selalu saja seolah-olah kami tidak mau menyia-nyiakan waktu dan melakukannya dengan keras dan sangat cepat agar cepat selesai. Keadaan sembunyi-sembunyi ini seolah merasuki kami dan membuat ketagihan. Bahkan ketika kami semua di rumah dan isteriku pergi sebentar untuk berbelanja di ujung gang rumah kami atau pergi sebentar ke rumah teman, kami segera melakukannya dengan posisi berdiri atau di tempat cuci piring ibu mertuaku membungkuk dan posisiku dari belakang, kadang tanpa membuka baju kami dan hanya dibuka di daerah tertentu secukupnya. Bahkan kadang ibu mertuaku tidak melepas baju atau apapun dan hanya aku singkapkan celana dalamnya ke samping sedikit tanpa dilepas. Kalau aku bandingkan yang aku lakukan bersama ibu mertuaku bahkan lebih gila dari pada melakukannya dengan isteriku. Isteriku tidak pernah mau melakukan posisi 69, tetapi ibu mertuaku paling suka kalau permainan pembukaannya dengan 69. Hampir segala macam posisi sudah aku lakukan bersama ibu mertuaku, yang tidak pernah aku lakukan bersama isteriku. Tapi memang aku tidak pernah menuntut apapun dari isteriku.
Dulu kadang-kadang aku dan ibu mertuaku senyum-senyum berdua dalam kegiatan sehari-hari atau kadang aku berbisik yang agak porno dan ibu mertuaku mencubitku dengan keras. Kadang-kadang dalam kesempatan duduk bersama di meja makan, tanganku bergerilya di bawah meja tanpa setahu isteriku dan anak-anak, tetapi hal seperti ini sangat jarang aku lakukan karena aku dilatih untuk bersabar dan tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu.
Kalau dipikir-pikir aku melakukan hal itu dengan ibu mertuaku hampir di seluruh pelosok rumah pernah kami lakukan, mungkin ini karena selalu keadaanya darurat sehingga kami tidak memilih-milih tempat. Sepertinya aku menikmati itu semua, tetapi juga aku ingin lepas dari itu semua. Tapi anehnya hubunganku dengan ibu mertuaku dan isteriku sehari-hari seperti tidak ada perubahan sedikitpun.
Pada awalnya hampir setiap minggu aku dan ibu mertuaku melakukannya minimum satu kali, dan yang paling nekad adalah ketika malam hari aku terbangun dan diam-diam pindah ke kamar ibu mertuaku dan melakukan segalanya, seolah-olah aku yakin isteriku tidak akan terbangun, dan anehnya memang isteriku tidak terbangun. Kadang-kadang memang hampir ketahuan oleh isteriku tetapi selalu aku atau ibu mertuaku menemukan kata-kata yang tepat untuk alasan atau membelokkan perhatian dan menutupi kejadian sesungguhnya. Kami seperti orang yang kerasukan, bahkan dalam perjalanan ke luar kota atau di rumah saudara kami sempat melakukannya di kamar mandi atau di manapun ada kesempatan hanya berdua dan tidak mencurigakan.
Sampai sekarang anakku sudah empat tetapi sekali-sekali kalau ada kesempatan aku dan ibu mertuaku melakukannya kembali. Ibu mertuaku selalu memuji-muji aku dan mengatakan aku hebat dan dia selalu terpuaskan dan klimaks. Aku tidak tau apakah rasa puas ibu mertuaku adalah karena punyaku yang memang agak besar atau karena kondisi pesikologis kami yang melakukannya diam-diam sambil agak takut-takut yang membuat kami memang ingin cepat-cepat selesai setiap kali melakukannya. Dan kami seperti keranjingan atau ketagihan akan hal ini.
Tapi di samping itu semua aku tetap tidak bisa lepas dari rasa bersalah dan rasa berdosa yang selalu juga menghantuiku. Berkali-kali aku igin lepas dari kebiasaan semua ini. Bahkan aku pernah ketus dan tegas menolak ibu mertuaku. Tetapi selalu dia dengan lemah lembut membujukku dan mengatakan apakah aku tidak kasihan kepadanya yang selalu membutuhkan itu. Dan aku demikian lemahnya sehingga selalu kembali terjebak dengan melakukan itu lagi.
Kadang aku marah pada diri sendiri, tetapi pada saat aku ingin melakukannya selalu lupa pada segala pemikiran ini dan selalu kembali melakukannya lagi.
Pada awal pernikahanku dengan isteriku Yanti, segalanya begitu baik. Ibu mertuaku memang selalu berpakaian sopan dan tidak pernah menunjukkan hal-hal yang tidak baik. Tingkah lakunya selalu santun penuh sabar dan banyak memberikan pemikiran yang baik dan memang ibu mertuaku banyak disukai ibu-ibu RT di sekitar rumahnya. Aku akui sampai sekarang memang aku belum mampu mempunyai rumah sendiri, sehingga sejak awal pernikahanku aku tinggal di rumah mertuaku. Isteriku adalah dua bersaudara, kakaknya juga perempuan ikut suaminya di pulau lain, sehingga memang ibu mertuaku kasihan kalau tinggal di rumah sendiri tanpa ada yang menemani.
Pada waktu itu memang aku selalu hormat pada ibu mertuaku dan aku juga cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah ibu mertuaku sehingga aku cepat diterima sebagai warga yang baik di situ. Pada waktu itu aku sudah kerja di usaha garment. Letak kantor dan rumahku yaitu rumah ibu mertuaku sangat jauh, boleh dikatakan berbeda kota, sehingga aku selalu harus berangkat ke kantor pagi-pagi subuh. Hal ini memang sudah menjadi rutinitas sehari-hari yang wajar.
Hari demi hari berjalan wajar dan isteriku mulai mengandung anakku yang pertama. Setiap pagi apabila aku bersiap-siap pergi ke kantor selalu isteriku belum bangun, bahkan sampai aku berangkat biasanya dia belum bangun. Tetapi ibu mertuaku selalu sudah bangun dan sudah rapih, dan membantuku dengan menyiapkan sarapan. Semuanya berjalan baik.
Sampai suatu pagi ketika aku bangun tidur, ibuku biasanya baru selesai mandi dan beres-beres rumah. Tetapi tidak seperti biasanya, sekali ini aku lihat ibuku keluar dari kamar mandi hanya memakai kimono yang ketat. Peristiwa itu memang tidak terlalu menjadi perhatianku karena dia adalah ibu mertuaku. Besoknya terjadi hal yang sama, ibuku keluar dari kamar mandi pada saat aku baru bangun dan duduk di ruang tengah, dan sekali ini belahan tengah kimono di dada agak sembarangan di tutup sehingga agak terbuka sedikit. Yang mengkhawatirkan adalah hal ini mulai mempengaruhi pikiranku, tetapi aku selalu berhasil mengusirnya. Anehnya peristiwa seperti ini, aku baru bangun dan ibu mertuaku yang ceroboh selalu terulang.
Dan yang lebih lagi beberapa minggu kemudian pada saat aku baru bangun, ibuku seperti biasa keluar dari kamar mandi dan seolah menjadi kebiasaan aku selalu mencuri-curi lihat ke tubuh ibu mertuaku. Tapi sekali ini ibuku hanya memakai handuk yang dilingkarkan ke tubuhnya. Dan jelas handuk tersebut terlalu pendek untuk menutupi semua kulit putih mulus milik ibu mertuaku. Aku akui memang ibu mertuaku masih terbilang muda atau orang mengatakannya awet muda.
Ibu mertuaku hanya senyum-senyum tanpa bersalah lewat di depanku dan masuk ke kamarnya. Adegan handuk ini kembali menjadi rutin yang seolah-olah berbalas-balasan antara ibu metuaku yang sedikit-sedikit seolah berusaha “menunjukkan” dan aku yang sedikit-sedikit berusaha mencuri lihat. Sampai suatu hari seperti biasa ibuku lewat di depanku dan masuk ke kamarnya dan memang pintu kamarnya tidak pernah di tutup rapat, selalu dibiarkannnya agak rengga sedikit, seolah-olah lupa.
Dan di dalam kamar ketika ibu mertuaku ganti baju di balik pintu sekali-sekali ibuku berjalan di kamarnya dari satu ujung ke ujung yang lain untuk mengambil sesuatu yang ketingalan di lemari, dengan hanya memakai celana dalam dan BH. Seolah-olah tidak ada yang melihat, tetapi kadang-kadang aku menangkap sudut matanya yang sekejap melihat seperti ingin tahu apakah aku memperhatikannya atau tidak.
Kadang-kadang di dalam kamarnya itu ibuku memijit-mijit kakinya yang memang mulus, seperti pegal atau apa aku tidak tau. Sambil duduk di pinggir tempat tidur dan masih memakai handuk di tubuhnya ibuku memijit-mijit kakinya dan kadang-kadang mengangkatnya sedikit, dan kadang-kadang seperti tidak sengaja agak merenggangkan pahanya sehingga aku dapat melihat celah-celah di antara pahanya dalam kegelapan tertutup handuk. Kadang aku seperti melihat lirikan mata ibu mertuaku sekejap dan seolah merasa puas kalau mengetahui bahwa aku berusaha melihatnya di celah pintu yang agak renggang. Kejadian ini berulang. Dan keadaan sehari-hari memang tidak ada perubahan sehingga isteriku juga tidak mengetahui apa-apa, terutama juga ibu mertuaku bertingkah laku biasa dan memang tidak ada apa-apa. Namun pikiranku melekat padanya dan tidak bisa melupakan kejadian-kejadian tiap pagi.
Kadang-kadang sambil memijit kakinya tiba-tiba ibu mertuaku mengangkat kakinya sebelah ke atas tempat tidur dalam posisi masih duduk di pinggir tempat tidur, sehingga terlihatlah segalanya walau hanya sebentar kemudian kakinya diturunkan lagi. Dan memang apabila keluar dari kamar kandi ibu mertuaku tidak pernah memakai baju dalam karena semua pakaiannya ada di kamar tidurnya. Dan setelah selesai berpakaian ibu mertuaku selalu senyum di kulum, seolah senang melihat aku setengah mati berjalan membungkuk-bungkuk dan aku melepaskan segalanya di kamar mandi.
Kejadian bermacam-macam sering terjadi dan segalanya jadi tidak wajar lagi. Kalau aku bersenggolan dengan ibu mertuaku selalu ada perasaan berdesir dan berdebar, tapi ibu mertuaku cuek-cuek saja. Demikian berlangsung terus aku sering “tidak sengaja” menyenggol ibu mertuaku dan ibu mertuaku kadang-kadang “tidak sengaja” menyenggolku, demikian terus sampai anakku lahir dan sampai ketika anakku berumur 4 bulan.
Pada suatu hari aku pulang kantor pagi-pagi karena aku akan mendapat shift malam karena ada order mendesak. Di rumah hanya ada ibu mertuaku karena isteriku sedang pergi ke rumah uwaknya bersama anakku. Dan biasanya kalau isteriku ke rumah uwaknya maka bisa sampai sore baru pulang. Aku memang berencana untuk membetulkan kabel listrik di rumahku yang masih kurang untuk lampu depan. Ketika aku berusaha memasang kabel yang ditembok di kamar ku lihat ibu mertuaku sedang memasukkan baju-baju yang baru diseterika ke dalam lemari siteriku. Secara insting saja aku mengambil kabel di tembok di belakang lemari yang bergelantungan yang sudah aku lepas dari atas dan secara tidak sengaja lenganku menyentuh bagian depan atas dada ibu mertuaku. Aku agak terkejut dan berusaha menarik tanganku tetapi batal karena anehnya ibu mertuaku tidak berusaha menggeser badannya supaya aku tidak terhalang, dan kembali sibuk dengan baju yang sudah diseterika.
Aku juga seperti pura-pura tidak tau dan menarik-narik kabel itu sedemikian rupa sehingga lenganku bergesekan dengan dada ibu mertuaku. Jantungku berdebar-debar kencang, dan ibu mertuaku juga aku lihat hanya membolak-balik baju yang sudah di lemari tanpa tujuan. Tiba-tiba ibu mertuaku memandangku tajam, hanya sebentar kemudian kembali sibuk dengan baju-baju di lemari. Perlahan-lahan aku tarik tanganku dan aku pindahkan ke pundaknya untuk merangkulnya. Aku yakin ibu mertuaku bisa mendengar betapa jantungku berdegup-degup keras dan aku agak gemetaran. Ketika perlahan aku rangkul, ibu mertuaku tidak bergeser atau berpaling, dia tetap saja sibuk dengan baju-baju di lemari.
Posisi berdiriku sekarang sedemikian rupa jadi berada agak dibelakang ibu mertuaku dengan satu tangan merangkul pundaknya. Aku memandangi leher putih ibu mertuaku dari belakang, dan aku tidak tahan tiba-tiba aku peluk ibu mertuaku dan aku ciumi tengkuknya bertubi-tubi. Aku tidak perduli ibu mertuaku merasakan tonjolan keras yang merapat di belakangnya karena aku memang sudah tinggi. Ibu mertuaku tiba-tiba bergerak menghindar dan pergi serta mengatakan “jangan Dang…,” sedikit ketus, tanpa memandangku. Ibu mertuaku kembali ke ruang tengah tempat dia sedang menyeterika bajunya.
Keadaan dalam rumah memang sepi dan semua pintu tertutup sedangkan jendela depan dengan gorden tipisnya tidak bisa dilihat orang dari luar. Aku sudah demikian tinggi dan seperti kerasukan setan sudah tidak perduli dengan kaidah apapun. aku pura-pura ke dapur seolah-olah mengambil sesuatu di dapur dan kembali ke ruang tengah dari arah belakang dari ibu mertuaku. Aku pandangi tubuh ibu mertuaku dari belakang, dan memang tubuhnya indah sekali di balik baju dan rok yang ketat yang dikenakannya.
Aku pegang pundaknya dari belakang dan pelan-pelan aku usap-usap pundaknya, dan ibu mertuaku diam saja, kemudian tanganku pelan-pelan aku lingkarkan di perutnya, ibu mertuaku aku peluk dari belakang. Aku ciumi kembali tengkuknya dengan lembut, dan sekali ini aku dapat merasakan bahwa ibu mertuaku juga berdebar-debar sama seperti keadaanku. Ibu mertuaku berkata berkali-kali “jangan Dang….,” namum sekali ini tidak ketus tetapi seperti berbisik dan suaranya agak gemetar.
Tanganku aku naikkan ke dada ibu mertuaku sambil tak henti-hentinya aku menciumi leher ibu mertuaku yang putih mulus. Aku remas-remas dadanya dan ibu mertuaku tidak melawan malahan badannya agak menggeliat-geliat dan berkali-kali berbisik “Dadaaaanng”. Dari situ tanganku terus berpindah ke bawah dan masih dalam posisi memeluk dari belakang. Keadaan itu terus memanas dan akhirnya terjadilah semuanya di situ di sofa dekat meja seterikaan, aku menyetubuhi ibu mertuaku dan ibu mertuaku membalasnya dengan lebih panas.
Demikianlah awal kejadiannya. Pada mulanya aku selalu menyesal atas perbuatan yang baru saja kami lakukan tetapi seperti daya magnet yang kuat, kejadian itu selalu berulang kembali.
Kami berkali-kali melakukan diam-diam dan selalu isteriku atau tetangga-tetangga kami tidak ada yang mengetahunya, dan ibu mertuaku begitu pandai menutupi segalanya seolah tidak ada kejadian apa-apa. Aku banyak belajar dari ibu mertuaku bagaimana menutupi dan berlatih “bersabar” untuk tidak melakukan kesalahan apapun di depan orang lain. Bagi orang luar yang melihatnya hubungan kami terlihat wajar, keluarga kecil yang hidup serasi bersama ibu mertuanya.
Pada setiap kesempatan aku hanya berdua dengan ibu mertuaku selalu saja seolah-olah kami tidak mau menyia-nyiakan waktu dan melakukannya dengan keras dan sangat cepat agar cepat selesai. Keadaan sembunyi-sembunyi ini seolah merasuki kami dan membuat ketagihan. Bahkan ketika kami semua di rumah dan isteriku pergi sebentar untuk berbelanja di ujung gang rumah kami atau pergi sebentar ke rumah teman, kami segera melakukannya dengan posisi berdiri atau di tempat cuci piring ibu mertuaku membungkuk dan posisiku dari belakang, kadang tanpa membuka baju kami dan hanya dibuka di daerah tertentu secukupnya. Bahkan kadang ibu mertuaku tidak melepas baju atau apapun dan hanya aku singkapkan celana dalamnya ke samping sedikit tanpa dilepas. Kalau aku bandingkan yang aku lakukan bersama ibu mertuaku bahkan lebih gila dari pada melakukannya dengan isteriku. Isteriku tidak pernah mau melakukan posisi 69, tetapi ibu mertuaku paling suka kalau permainan pembukaannya dengan 69. Hampir segala macam posisi sudah aku lakukan bersama ibu mertuaku, yang tidak pernah aku lakukan bersama isteriku. Tapi memang aku tidak pernah menuntut apapun dari isteriku.
Dulu kadang-kadang aku dan ibu mertuaku senyum-senyum berdua dalam kegiatan sehari-hari atau kadang aku berbisik yang agak porno dan ibu mertuaku mencubitku dengan keras. Kadang-kadang dalam kesempatan duduk bersama di meja makan, tanganku bergerilya di bawah meja tanpa setahu isteriku dan anak-anak, tetapi hal seperti ini sangat jarang aku lakukan karena aku dilatih untuk bersabar dan tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu.
Kalau dipikir-pikir aku melakukan hal itu dengan ibu mertuaku hampir di seluruh pelosok rumah pernah kami lakukan, mungkin ini karena selalu keadaanya darurat sehingga kami tidak memilih-milih tempat. Sepertinya aku menikmati itu semua, tetapi juga aku ingin lepas dari itu semua. Tapi anehnya hubunganku dengan ibu mertuaku dan isteriku sehari-hari seperti tidak ada perubahan sedikitpun.
Pada awalnya hampir setiap minggu aku dan ibu mertuaku melakukannya minimum satu kali, dan yang paling nekad adalah ketika malam hari aku terbangun dan diam-diam pindah ke kamar ibu mertuaku dan melakukan segalanya, seolah-olah aku yakin isteriku tidak akan terbangun, dan anehnya memang isteriku tidak terbangun. Kadang-kadang memang hampir ketahuan oleh isteriku tetapi selalu aku atau ibu mertuaku menemukan kata-kata yang tepat untuk alasan atau membelokkan perhatian dan menutupi kejadian sesungguhnya. Kami seperti orang yang kerasukan, bahkan dalam perjalanan ke luar kota atau di rumah saudara kami sempat melakukannya di kamar mandi atau di manapun ada kesempatan hanya berdua dan tidak mencurigakan.
Sampai sekarang anakku sudah empat tetapi sekali-sekali kalau ada kesempatan aku dan ibu mertuaku melakukannya kembali. Ibu mertuaku selalu memuji-muji aku dan mengatakan aku hebat dan dia selalu terpuaskan dan klimaks. Aku tidak tau apakah rasa puas ibu mertuaku adalah karena punyaku yang memang agak besar atau karena kondisi pesikologis kami yang melakukannya diam-diam sambil agak takut-takut yang membuat kami memang ingin cepat-cepat selesai setiap kali melakukannya. Dan kami seperti keranjingan atau ketagihan akan hal ini.
Tapi di samping itu semua aku tetap tidak bisa lepas dari rasa bersalah dan rasa berdosa yang selalu juga menghantuiku. Berkali-kali aku igin lepas dari kebiasaan semua ini. Bahkan aku pernah ketus dan tegas menolak ibu mertuaku. Tetapi selalu dia dengan lemah lembut membujukku dan mengatakan apakah aku tidak kasihan kepadanya yang selalu membutuhkan itu. Dan aku demikian lemahnya sehingga selalu kembali terjebak dengan melakukan itu lagi.
Kadang aku marah pada diri sendiri, tetapi pada saat aku ingin melakukannya selalu lupa pada segala pemikiran ini dan selalu kembali melakukannya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar